***
Jiyong ada di dalam kamar tamu lain ketika Toil pulang. Sejak ia menjatuhkan tubuhnya ke kolam, basah lalu pergi meninggalkan Lisa di sana, Jiyong tidak lagi keluar dari tempat itu. Kamar tamu itu sekarang dipenuhi peralatan menjahit. Studio menjahit kecil yang dulu Lisa punya di rumahnya, kini dipindahkan ke kamar tamu, di sebelah kamar Jiyong. Di pakai Jiyong untuk menjahitkan kemeja kerja Toil.
Begitu Toil pulang, Lisa menyambutnya dari dapur. Baru saja selesai memasak mie instan. "Aku juga mau!" seru Toil, bergegas pergi ke meja makan, menghampiri panci mie instan yang baru Lisa letakan di sana.
Lisa kembali ke dapur, mengambil dua mangkuk untuk mereka. Memberikan satu mangkuk pada Toil sementara ia kembali ke lemari es untuk mengambil beberapa makanan lainnya. "Es krim, keluarkan juga es krimnya," suruh Toil dan gadis itu menurutinya. Meletakan satu kotak es krim yang masih sekeras batu di atas meja makan. Baru setelah semua siap, mereka bisa makan, namun Toil menahan garpu Lisa bergerak. Menahan garpu itu agar tidak mengambil mienya lebih dulu.
"Jiyong tidak diajak?"
"Sudah aku ajak, tapi dia tidak mau," jawab Lisa, membuat Toil langsung menaikan bahunya lantas mempersilahkan Lisa untuk melanjutkan gerakannya. Sama-sama mulai mengambil mie instan itu dari panci dan menikmatinya. "Tadi aku berenang," susul gadis itu, memberitahu Toil cerita hari ini, termasuk reaksi Jiyong saat diajak ke Paris tadi.
Sembari makan, Toil mendengarkannya. Juga sembari menunggu gilirannya, bercerita tentang kejadian dikantor seharian tadi. "Saat kau sakit, dia yang memintaku untuk berpisah denganmu dan pergi dengannya. Tapi tadi, aku mengajaknya ke Paris, dan dia pergi! Aneh kan? Dia tidak punya pendirian, plin-plan," komentar Lisa sedang lawan bicaranya terkekeh, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana bisa kau menjahilinya begitu?" heran Toil di tengah-tengah tawanya. "Bisakah kau membawaku pergi bersamamu?—kenapa kau bilang begitu? Siapapun yang mendengarnya pasti akan menganggap serius ucapanmu," komentarnya, tetap tertawa. Terus tertawa sampai ia tersedak kuah mie instannya. Sampai Lisa harus buru-buru memberinya minum, buru-buru membantunya.
"Aku memang serius bilang begitu," kata Lisa membela dirinya sendiri. "Kau yang menyuruhku pergi dengannya ke Paris," susulnya, sedang wajah Toil memerah karena tawanya tadi.
"Aku memang bilang begitu, tapi aku tidak menyuruhmu berakting seperti tadi. Hanya... ajak saja dia liburan? Atau seperti mengajaknya ke minimarket," Toil ikut membela dirinya sendiri, tidak mau disalahkan karena sudah membuat Jiyong merasa buruk.
"Bukannya itu justru lebih aneh? Kenapa aku mengajaknya liburan? Di saat begini?" Lisa terus mendebatnya, seperti bagaimana mereka biasa bicara. Seperti bagaimana mereka biasa mengobrol. Namun gadis itu langsung berhenti bicara, Toil pun berhenti bicara ketika pintu kamar tamu baru saja dibuka. Jiyong baru saja membukanya, menutup lagi pintunya, lalu membuka pintu lainnya dan menutupnya lagi. Jiyong baru saja keluar dari tempatnya menjahit dan kembali ke kamarnya.
"Dia menghindar sekarang?" tanya Toil, setelah kesunyian sempat datang lalu pergi lagi.
"Tidak tahu, mungkin dia sedang berfikir akan membawaku pergi atau tidak?" balas Lisa.
Lagi-lagi suara pintu di buka terdengar dari kamar tamu. Lagi-lagi Lisa dan Toil harus dibuat membisu, berhenti membicarakan Jiyong dibelakang punggung pria itu. Kali ini Jiyong berjalan menghampiri mereka, dengan mantel dan handuk di tangannya, pria itu meminta Toil untuk meminjamkan mobilnya.
"Kenapa? Kenapa kau membawa handuk?" tanya Toil, sembari merogoh sakunya, mencari kunci mobilnya. "Dimana kunciku tadi?" pelannya, masih mencari-cari kuncinya.
"Kau terluka?" Lisa ikut bicara, memperhatikan tangan kiri pria yang terbungkus handuk itu.
Toil ikut menoleh, melihat ke arah tatapan Lisa tertuju. Pria itu menarik handuknya, ingin melihat luka yang mungkin Jiyong sembunyikan di sana. Jiyong tidak menolak, tidak memberontak, meski tetap merasa canggung karena perhatian itu.
Handuknya di buka, oleh Toil lalu darah segar banyak merembes dalam handuk putih itu. Jiyong melukai telapak tangannya, pada jeda panjang antara ibu jari dan telunjuknya. Ia tidak sengaja melukai tangannya sendiri dengan cutter.
"Ya! Bawa dia ke rumah sakit!" suruh Lisa, menunjuk pada Toil. "Augh... Sepertinya perlu dijahit? Pasti sakit. Dia tidak akan bisa menyetir dengan tangan begitu," komentar Lisa.
Awalnya Lisa akan ikut ke rumah sakit, mengantar Jiyong yang terluka ke sana. Tapi pria itu menolaknya. Lisa dilarang untuk ikut. Hanya Toil yang ia beri izin untuk pergi bersamanya ke rumah sakit.
Dalam perjalanan, hampir tidak ada pembicaraan apapun. Toil menyetir secepat yang ia bisa sedang Jiyong menunggu di sebelahnya. Luka itu parah, tapi tidak sampai mengancam nyawanya. Jiyong tidak perlu rawat inap. Setelah mendapat penanganan di UGD, pria itu diizinkan untuk pergi.
Dalam perjalanan pulang, Jiyong meminta Toil untuk menemaninya pergi minum-minum. Membuat Toil langsung sadar alasan Jiyong melarang Lisa ikut bersama mereka. Jiyong ingin membicarakan ajakan Lisa tadi sore—yakin Toil.
Toil menerima ajakan itu. Mengemudikan mobilnya sampai ke bar, lalu mengajak Jiyong berkunjung ke tempat langganannya. "Lisa akan mengomel kalau tahu kau minum-minum sepulang dari rumah sakit begini," komentar Toil, namun tetap melangkah masuk ke dalam bar itu. Duduk di meja barnya, berhadapan langsung dengan si bartender.
"Kalau begitu jangan beritahu dia," kata Jiyong mengekor.
"Kita tidak pulang malam ini? Yang benar saja, aku masih harus bekerja besok," balas Toil, duduk lalu memberi tanda agar bartendernya memberi mereka minuman yang biasa Toil pesan.
"Kali ini Nona Jung tidak datang bersamamu, tuan?" kata si bartender, sedikit berbasa-basi.
"Telepon dia kalau kami mabuk," santai Toil, lalu berbisik kalau mereka mungkin akan mabuk berat malam ini.
Mereka mulai minum, tanpa banyak obrolan berarti. Hanya basa-basi tentang kemeja dan jas yang sedang Jiyong buat. Satu gelas habis, lalu Toil mengaku kalau ia sudah lama sekali tidak mabuk. Bekerja di firma hukum membuatnya kehilangan banyak waktu untuk bersenang-senang. Untuk bertemu teman-temannya, untuk minum-minum bersama mereka, juga untuk menulis lagu-lagunya, Toil tidak punya waktu lagi.
"Kau menyukai Lisa, iya kan?" Jiyong bertanya, pada lawan bicaranya yang tidak akan mabuk hanya dengan segelas whiskey.
"Tentu saja," dengan santai Toil menjawab pertanyaan itu. "Aku tidak akan menikah dan tinggal dengannya kalau tidak menyukainya," susul pria itu, memperjelas perasaannya.
"Maaf," pelan pria itu kemudian.
Toil menoleh untuk melihat Jiyong yang duduk di sebelahnya. Dilihatnya pria itu tengah menyesap minumannya. Menahan canggung. "Aku tahu, aku harusnya tidak merasa begini," susul pria itu, sebab Toil hanya diam di tempatnya. "Aku datang setelah bertahun-tahun meninggalkan kalian, aku tahu aku harusnya tidak merasa begini, tapi... Makin lama, makin sulit untuk menahannya. Aku menyukainya, juga. Aku masih menyukainya. Maaf, tapi aku janji, aku tidak akan melangkah lebih jauh, akan aku-"
"Aku tahu, kalau kau menyukainya," potong Toil. "Tapi, apa yang membuatmu masih menyukainya? Lisa bukan lagi gadis yang dulu kau sukai. Sekarang, dia tidak lebih dari cangkang kosong yang terluka. Kau masih menyukainya? Meski dia begitu?" susulnya.
"Dia jadi begitu karenaku. Karena Bibiku, ayahku."
"Ah... Kau hanya merasa bersalah? Jiyong-ah, aku tidak keberatan kalau kau menyukainya, bahkan kalau dia juga menyukaimu dan kalian ingin berkencan. Aku tidak keberatan. Tapi, kalau perasaanmu itu muncul karena rasa bersalah, jangan melanjutkannya. Kau hanya akan kelelahan dan Lisa akan terus jadi cangkang yang kosong."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...