***
"Kita sudah setengah jalan sekarang, bagaimana cerita ini akan berakhir?" seorang dengan kaus merah dan celana jeans bertanya pada anak-anak kecil di depannya.
Rambut orang itu panjang, tergerai sampai ke punggungnya. Di undak-undakan tangga antara taman bermain dan trotoar ia duduk, dikelilingi anak-anak dengan baju kotor mereka yang penuh keringat. Di tangannya ada sebuah buku cerita. Buku yang katanya ia tulis sendiri, dibacakan pada anak-anak sekolah dasar yang kebetulan bermain di taman.
"Anak laki-laki itu menemukan monsternya?" seorang bocah laki-laki menyela ceritanya. Bicara sembari ia keluarkan permen loli dari mulutnya. Permen loli yang jadi sogokan agar tiga anak itu mau mendengarkan ceritanya.
"Bagaimana menurutmu?" si pencerita balas bertanya. "Apa dia akan mewujudkan mimpinya? Menemukan monster itu lalu mendapatkan kekuatan? Atau... apa dia akan menolak kekuatan itu dan percaya pada dirinya sendiri sampai semuanya benar-benar berakhir? Aku rasa dia sedang kebingungan sekarang," katanya, seolah ragu pada dirinya sendiri. Tengah mempertanyakan cerita anak yang ia buat itu pada anak-anak disekelilingnya.
"Aku tidak ingin dia jadi penjahat," seorang gadis kecil berkomentar. "Dia akan jadi monster juga kalau mengambil kekuatan monster itu," susulnya.
"Kenapa? Monster juga keren," anak lainnya ikut berkomentar. Ikut sibuk membicarakan akhir cerita buatan si nona berkaus merah.
"Dia anak baik, kenapa anak baik jadi monster? Kenapa anak baik punya cita-cita jadi monster?" heran si gadis kecil.
Nona dengan kaus merah itu kemudian menutup bukunya. Sibuk mendengarkan anak-anak kecil di depannya berdebat tentang akhir ceritanya. Ia sudah tahu bagaimana akhir ceritanya, namun mendengar bocah-bocah di sekitarnya berdebat, terasa lebih menyenangkan daripada menerbitkan bukunya.
"Kenapa tidak boleh punya cita-cita jadi monster?" Si kaus merah sekarang bertanya. "Memang apa cita-citamu, Lisa?" susulnya ingin tahu.
"Aku? Cita-citaku? Apa ya? Uhm... Apa cita-citamu eonni?" balas si gadis kecil yang ditanyainya. "Kwon Ji, apa cita-citamu? Toil, kau mau jadi apa saat besar nanti?" katanya lagi, bertanya pada dua teman yang hari ini membawanya pergi.
"Aku? Aku ingin jadi penyanyi. Rose dari kelas satu suka penyanyi."
"Whoa... Anak sekolah dasar sekarang sudah tahu caranya menggoda perempuan? Apa Rose cantik, Kwon Ji?"
"Tidak lebih cantik dari noona, noona yang paling cantik," bocah lainnya berkomentar. Masih sembari memasuk-keluarkan permennya dari mulut. "Aku tidak mau jadi penyanyi, gajinya kecil. Aku mau jadi pengacara, seperti ayahku," susulnya kemudian, lantas membanggakan seberapa kaya ayahnya. Memamerkan mainan barunya.
"Ahn Toil, kau harus pintar kalau ingin jadi pengacara! Jangan pamer terus!" si kaus merah lantas terkekeh, tapi ia ulurkan juga tangannya, membelai rambut bocah yang berkeringat itu. "Jadi Lisa, apa cita-citamu?" susulnya penasaran.
"Uhm... Membuat baju untuk boneka? Apa aku harus pintar kalau mau jadi pembuat baju?" balas gadis kecil itu, balas bertanya namun tidak sempat terjawab karena sebuah mobil sudah lebih dulu berhenti di depan mereka.
"Kwon Jiyong, Ahn Toil, Lalisa Jung, waktunya pulang," kata si pengemudi mobilnya, tanpa turun dari mobilnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
Hayran KurguOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...