***
Pukul enam, menjelang waktunya makan malam, Jiyong berhasil mendapatkan seluruh barang belanjaannya. Sekarang dilihatnya Lisa kelelahan, jadi ia ajak gadis itu masuk ke sebuah restoran, tidak jauh dari stasiun. Restoran burger, cepat saji yang kebetulan tidak terlalu ramai. Lisa dibiarkan duduk, sedang ia memesan dan membayar makan malam mereka.
Begitu Jiyong duduk, bergabung bersamanya, Lisa langsung membuka mulutnya. Mengatakan kalau ia akan menagih Jiyong atas semua uang yang sudah dikeluarkannya untuk belanja tadi. "Aku tidak pernah berencana memelihara sugar baby, kembalikan semua uangku tadi," kata Lisa, mengejutkan namun cukup membuat Jiyong terkekeh. "Kenapa? Kau tidak punya uang? Padahal pernah ikut fashion week, kau benar-benar miskin?" tanya Lisa, menanggapi raut terkejut lawan bicaranya.
"Tidak," ia menggeleng, masih terkekeh, menganggap lucu komentar gadis di depannya itu. "Tidak ada apa-apanya dibanding saat aku masih hidup dengan orangtuaku, tapi bisa mengganti semua uangmu tadi," katanya, entah bermaksud menenangkan Lisa atau justru mencoba pamer pada gadis itu. "Kau sendiri bagaimana? Kau miskin sekarang? Sampai harus menagih semua uangmu tadi?" Jiyong balas bertanya, lalu tawa angkuh terdengar dari mulut gadis di depannya.
Sengaja pamer, Lisa mengatakan kalau ia punya lebih banyak uang daripada sebelumnya. Ia dapat bagian dari keuntungan firma hukum, digaji juga karena bekerja di sana, sesekali ayah dan ibunya Toil pun memberinya uang. Sekedar hadiah atau permintaan maaf atas sikap kekanakan putra mereka. Belum lagi uang sewa dari beberapa gedung yang dimilikinya. Lisa punya banyak uang, meski tidak terlihat terlalu sering membelanjakannya.
"Kalau tahu kau akan menagih semuanya, harusnya biarkan aku menawar-"
"Apa orang yang membeli bajumu, juga menawar harga yang kau tawarkan? Saat membeli pakaian itu, yang kau pakai sekarang, kau menawar harganya? Jangan terlalu pelit, mereka perlu uang untuk bayar sewa tokonya," potong Lisa. "Tapi, kau hanya membuat pakaian pria?" susulnya, kali ini penasaran karena semua kain yang Jiyong beli hari ini berwarna gelap. Bahan untuk membuat beberapa jas juga kemeja.
"Kadang-kadang?"
"Kau juga membuat pakaian wanita?"
"Biasanya aku membuat pakaian wanita," jawab Jiyong. "Tapi Toil terus meminjam setelanku. Aku bilang padanya akan membuatkan setelan untuknya," katanya. "Oh, mesin jahitmu, kau masih menyimpannya?" kali ini pria itu balik bertanya, namun Lisa menggelengkan kepalanya. Mesin jahit itu ada di rumah lamanya, mungkin ada di gudang rumah itu, kalau keluarga pamannya belum membuang semuanya.
Pesanan mereka sudah jadi. Nomor antriannya dipanggil dan Jiyong bangkit untuk mengambilnya. Pertanyaan yang pria itu tanyakan tadi terjeda sekarang. Memberi Lisa waktu untuk mencari jawabannya. Sedang Jiyong pergi mengambil makanan mereka, Lisa menelepon dengan handphonenya.
"Halo, Bibi?" sapanya, pada pembantu rumah tangga yang sampai hari ini masih bekerja di rumah peninggalan orangtuanya. Sebentar mereka bertukar sapa, menanyakan kabar satu sama lain, setelah lama tidak berhubungan. Sesekali pembantu rumah tangga itu masih menemui Lisa, datang ke rumah Lisa dan Toil untuk mengirim lauk, atau sekedar bahan-bahan makanan untuk isi lemari es. Sesekali juga diminta memata-matai Lisa, memberi informasi pada bos barunya—pamannya Lisa.
"Tidak, aku tidak mau ke sana," tolak Lisa, pada kepala pelayan yang ia telepon itu. "Aku hanya ingin tahu, peralatan menjahitku, apa masih ada di rumah?" tanyanya kemudian.
"Studiomu sudah dijadikan kamar tamu," kata si kepala pelayan, si pembantu rumah tangga yang masih menyayangi putri dari mantan majikannya. "Tapi semua peralatannya, masih aku simpan. Kau mau menjahit lagi, sayang?"
"Tidak," pelan gadis itu, sembari menundukan kepalanya, tanpa sadar menyembunyikan senyum kecutnya sendiri. Ia merasa sedikit getir, mengingat dirinya tidak lagi melakukan hal-hal yang dulu disukainya. "Ada orang lain yang mau memakainya, bisa Bibi suruh seseorang untuk mengantar semuanya ke rumahku? Atau Bibi saja yang datang mengantarnya, akan aku beritahu beberapa gosip," tawarnya, membuat lawan bicaranya sedikit terkekeh. Sebentar mereka berbincang, mengatur jadwal untuk mengirim barang-barang yang Lisa butuhkan, sedang Jiyong sudah kembali. Meletakan semua makanan di atas meja, menggeser sebagiannya tepat di depan Lisa lalu mulai mengigit burgernya sendiri.
"Besok sore Bibi Kim mau mengantar semua peralatan jahitnya ke rumah," kata Lisa, memberi tahu Jiyong hasil pembicaraannya tadi. Gadis itu meletakan handphonenya sekarang, akan mengambil burger di depannya, namun handphonenya kembali berdering. Toil yang sekarang menelepon.
"Hm? Halo," Lisa menjawab telepon itu sambil membuka kertas burgernya. "Aku di restoran, ini speaker, jaga mulutmu," susulnya sebelum Toil menanggapi.
"Kau di restoran? Dengan siapa?" tanya Toil. "Aku perlu membicarakan masalah penting, pergilah ke tempat sepi," suruhnya kemudian.
"Ish! Aku lapar," gerutu Lisa, kali ini meraih lagi handphonenya. Gadis itu bangkit, dengan handphone yang ia tempelkan ke telinganya. Sedang sebelah tangannya yang senggang meraih gelas soda dengan es krimnya, cola float.
Tanpa berpamitan pada Jiyong, Lisa membawa handphone dan gelasnya keluar dari restoran itu. Pergi ke jalan sepi di luar restoran. Melangkah ke sudut yang tidak seberapa gelap, namun cukup tenang. Berdiri di sana untuk bicara.
"Kau pergilah dengan Jiyong ke Paris," suruh Toil, begitu Lisa bilang kalau ia sudah bisa bicara sekarang.
"Tidak mau," tolak Lisa. "Kau mau menyuruhku pergi agar tidak perlu menyelesaikan kasus orangtuaku, kan? Bajingan."
"Bukan begitu!" seru Toil. "Situasinya tidak mudah sekarang. Akan berisik sekali. Aku percaya kau akan baik-baik saja, tapi Jiyong sedikit membuatku khawatir," susulnya terdengar serius.
"Kenapa? Ada apa?"
"Kasus orangtuamu berjalan seperti seharusnya. Tidak mudah tapi ada harapan. Kasusnya berjalan ke arah yang kita mau, tapi-"
"Tapi?"
"Ada kasus lain."
"Apa? Gadis itu berulah lagi?"
"Tidak," jawab Toil disusul helaan nafasnya yang terdengar lelah. "Orangtuanya Jiyong akan bercerai. Sama sekali tidak mengejutkan, itu sudah diprediksi. Tapi, ibunya Jiyong menuntut banyak hal. Akan jadi perebutan kekuasaan, antara ayah dan ibunya Jiyong. Ibunya Jiyong terlihat seperti orang lain. Aku tahu dia tegas, dia sering memarahiku dan Jiyong dulu, aku tahu bagaimana sinisnya dia kalau marah. Tapi kali ini, lebih buruk, lebih menakutkan. Seperti... Hancurkan perusahaannya, kalau aku tidak bisa memilikinya. Kenapa dia jadi begitu, kenapa dia jadi sangat marah, aku tidak tahu. Ibunya Jiyong sangat menyukaimu? Sampai dia bersikap sejauh ini hanya untuk membantu kasusmu? Aku tidak tahu kalau dia sangat peduli padamu," oceh Toil.
"Kenapa dia melakukannya?" Lisa pun tidak tahu alasannya.
Ia tahu kalai ibunya berteman dekat dengan ibunya Jiyong. Namun rasanya merusak sebuah istana penuh emas untuk seorang teman yang sudah meninggal tetaplah aneh. Bukan sesuatu yang bisa, bukan sesuatu yang umum dilakukan orang-orang.
"Aku merasa seperti ini perang antara ayah dan ibunya Jiyong, kau tidak terlibat sama sekali. Ini tentang orangtuamu, tapi ibunya Jiyong terlihat lebih marah darimu. Rasanya aneh," kata Toil. "Aku juga mengkhawatirkan Jiyong, bagaimana pun ini tentang orangtuanya. Dia menangis saat kita bertengkar, menurutmu bagaimana perasaannya saat tahu orangtuanya jadi begini? Menyuruhnya pergi, akan lebih baik kan?" tanya pria itu, membagi keraguannya pada sang istri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...