28

242 53 6
                                    

***

Jiyong tidak benar-benar menganggur. Meski tidak pergi kemanapun, ia tetap bekerja. Ia tetap butuh uang untuk melanjutkan hidupnya, setidaknya untuk membayar tagihan teleponnya. Di rumah itu, Lisa pergi saat pagi dan pulang tidak lama setelah matahari terbenam, harusnya Jiyong punya kesempatan untuk berbincang dengannya, tapi gadis itu mengabaikannya dan terus berada di kamarnya, di lantai dua. Sedang Toil, satu-satunya teman yang bisa Jiyong ajak bicara, justru bangun di siang hari lalu pergi dan kembali setelah lewat tengah malam.

Jiyong tidak bisa mengikuti rutinitas keduanya. Ia merasa tidak bisa tinggal di sana. Mungkin Toil dan Lisa sudah terbiasa, tinggal bersama tanpa bicara, tanpa makan bersama, tanpa berbincang. Hanya meninggalkan beberapa pesan lewat kertas memo. Tapi Jiyong merasa mereka tidak bisa hidup seperti itu. Ia merindukan hubungan mereka. Ia rindu bagaimana biasanya mereka bercengkrama, meski tidak banyak mengobrol, mereka biasa bekerja bersama di ruang tamu— dulu, saat masih sekolah.

Melihat ruang tamu yang kosong, kadang-kadang membuat Jiyong berkhayal. Dulu, saat mereka masih sangat dekat, di ruang tamu rumahnya, atau rumah Toil, juga rumah Lisa, mereka akan duduk bersama. Lisa akan menggambar di meja, duduk di karpet dengan puluhan pensil warnanya. Ia akan mengerjakan tugasnya di depan gadis itu, sedang Toil berbaring di atas sofa, sibuk membalas pesan gadis-gadis yang menyukainya.

Sesekali mereka akan tertawa, mendengar cerita Toil tentang kekasihnya, atau mendengar gosip yang Lisa bawa dari kelas sebelah. Sesekali mereka akan bertengkar, karena Jiyong menghilangkan pensil warna Lisa. Atau karena Lisa menyalin tugasnya. Bisa juga karena Toil mengejek gambar yang Lisa buat. Bercanda, atau bertengkar, mereka bertiga tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan waktu itu.

Jiyong tahu keberadaannya di rumah itu membuat Lisa merasa tidak nyaman. "Dia memang selalu ada di kamarnya," meski Toil berkata begitu, tapi Jiyong tetap merasa kalau Lisa terus tinggal di ruang pribadinya karena keberadaannya. Jiyong berfikir kalau ia harus pergi dari sana, agar bisa Lisa bisa tinggal di rumah itu dengan nyaman seperti biasanya. Namun pergi, juga akan membuktikan kalau ucapan Lisa tempo hari itu benar—Jiyong akan kembali pergi, meninggalkannya.

Tali dengan simpul yang rumit mengikat Jiyong di rumah itu. Membuatnya menyesali keputusannya tempo hari. Harusnya aku tidak menginap di sini, harusnya aku tinggal di hotel saja—penyesalan Jiyong, jadi semakin besar tiap harinya. Penyesalan itu, membuat dirinya sendiri merasa sesak berada di sana.

Hari ini, perasaan itu jadi semakin mengganggu. Lisa sudah pulang sejak sore tadi, tapi seperti hari-hari lainnya, gadis itu langsung masuk dan menutup pintu kamarnya. Jiyong hanya bisa melihat punggung Lisa melangkah pergi, naik ke lantai dua lalu menghilang. Ia tidak bisa melakukan apapun setelahnya, hanya duduk di meja makan, menunggu Lisa yang mungkin saja turun untuk minum—meski hal yang seperti itu tidak pernah terjadi. Lisa hampir tidak pernah turun setelah masuk ke kamarnya.

Lama Jiyong menunggu, hingga akhirnya ia menghubungi Toil yang belum juga tiba di rumah. Ia menunggu Toil pulang, berharap pria itu akan segera pulang, lalu mengajak Lisa makan bersama mereka di sana. Tapi begitu datang, Toil pun langsung berlari naik ke lantai dua.

"Oh, hai," hanya itu yang Toil katakan padanya saat tiba. "Lisa! Lisa!" begitu yang selanjutnya keluar dari mulut Toil, bersamaan dengan langkahnya naik, lalu masuk ke kamar utama.

Jiyong hampir tidak pernah naik ke atas. Tidak pernah ia masuk ke kamar Lisa— kecuali saat Toil masih tinggal di rumah sakit tempo hari. Ia penasaran, luar biasa penasaran, bagaimana pembagian kamar di lantai dua itu. Apa Lisa dan Toil tidur bersama? Atau Toil tidur di ruangan yang waktu itu terkunci? Jiyong sangat ingin mengetahuinya, namun tidak pernah berani ia menanyakannya. Tidak juga ia berani untuk naik dan mengintipnya.

Sekarang, Jiyong duduk di ruang tamu. Menghadap pada TV yang tidak ia nyalakan. Sembari menatap bayangannya di TV, pria itu memasang telinganya tajam-tajam, fokus untuk menangkap suara dari lantai dua. Ia menebak-nebak, apa yang Lisa dan Toil lakukan di atas. Meski hanya suara pintu yang dibuka dan ditutup yang terdengar olehnya, pria itu tetap berusaha untuk menguping.

Ini bukan kali pertama Jiyong melakukannya. Ini bukan kali pertama Jiyong penasaran dengan aktivitas di lantai dua. Ia ingin bersikap seolah dirinya hanyalah tamu di sana, hanya seorang pendatang yang tidak berhak ikut campur urusan tuan rumah. Ia berusaha untuk bersikap begitu, berfikir begitu, tapi itu tidak mudah. Ia penasaran, dan terus merasa begitu. Ia ingin tahu apa yang teman-temannya lakukan tanpanya, berharap kalau semua angan-angannya selama ini tidak akan terjadi—Toil terus berkencan dengan gadis lain, entah sudah berapa gadis yang pria itu kencani, Lisa tidak akan jatuh cinta padanya. Lisa tidak akan bercinta dengan Toil— Jiyong terus meyakinkan dirinya sendiri, menghapus angan yang dirasa akan melukai perasaannya.

Empat jam, Jiyong berusaha menguping aktivitas di atas—meski hasilnya nihil— sampai akhirnya ia dengar suara pintu yang dibuka, lalu ditutup lagi. Selang beberapa menit, Toil melangkah turun dari lantai dua, dengan rambut yang basah juga pakaian yang sudah diganti—pria itu baru saja selesai mandi.

"Kau tidak lapar?" Toil bertanya, sembari melangkahkan kakinya ke dapur.

"Lisa tidak turun?" tanya Jiyong, penasaran, juga berharap angan-angannya salah.

"Tidak, dia kelelahan," santai Toil. "Dia baru saja tidur," susul Toil, sebelum pria itu berkata kalau ia akan memasak mie instan untuk dirinya sendiri. Kalau Jiyong belum makan malam, Toil akan memasak dua bungkus mie instan malam ini, namun Jiyong menolak tawaran baik itu. Menolak sebuah kesempatan langka, sebab Toil tidak setiap saat mau memasak mie untuk orang lain.

"Ah... Pekerjaannya berat hari ini?"

"Entahlah," sembari menunggu airnya mendidih, Toil mengangkat bahunya. "Dia tidak mengatakan apapun tentang pekerjaannya," susul pria itu, membuat Jiyong kembali diam. Tidak berani bertanya lebih banyak lagi. Khawatir kalau jawaban Toil tidak akan menyenangkan hatinya. Takut kalau kata-kata yang Toil lontarkan nanti, justru akan membuatnya kesal. "Malam ini dia lelah karena baru saja aku ajak berolahraga," dan benar saja... ucapan Toil membuat Jiyong luar biasa kesal sekarang.

"Kalian melakukannya?" tanya Jiyong, baru saja mengigit kail yang Toil lempar.

"Menurutmu kami tidak melakukannya? Setelah bertahun-tahun menikah dan tinggal bersama? Kenapa kau berfikir begitu? Naif sekali," susul Toil, sengaja membuat angan-angan Jiyong jadi semakin liar. Toil merasa ia perlu melakukan sesuatu, agar Jiyong berhenti bertingkah bak putri kecil yang haus akan perhatiannya. Ingin Toil dapatkan kembali kebebasannya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang