1

483 59 7
                                    

***

Lampu-lampu dimatikan, tanda kalau acara malam ini akan dimulai. Dengan lembut, musik mulai mengalun. Seorang pemain keyboard muncul di atas panggung yang gelap, berdiri di bawah sorot lampu, bersinar seorang diri sembari menekan tuts-tuts keyboardnya. Detik selanjutnya, lampu sorot kedua menyala, kali ini pada si gitaris. Gitarnya berwarna tosca, menyala cantik di bawah lampu sorot itu. Kemudian drum ditabuh, lampu sorot di atas sang drummer pun ikut menyala. Menyinari ia yang sedang memukul-mukul drumnya.

Saat suara bass mulai terdengar, lampu lain dinyalakan. Menyorot terang pada seorang bassist di tengah-tengah panggung. Riuh penonton kini terdengar lebih berisik dari sebelumnya. Sang bassist lah tokoh utama malam ini. TOAST— nama acara malam ini. Konser kecil dengan Toil dan Gist yang jadi bintang utamanya. Ahn Toil sang produser dan Gist si penyanyinya.

Riuh kembali terdengar, ketika suara Gist mengudara. Menyanyikan lagu yang Toil buat di studionya, beberapa tahun lalu. "Seperti saat kita pertama kali bertemu, berpura-pura lah tidak mengenalku lagi," nyanyi Gist, mengikuti alunan musik dari pria-pria lain di belakangnya. Para pemain instrumen. "Aku tidak khawatir jika kita berpisah. Aku sudah tidak berminat lagi, jadi aku berkata begitu. Foto kita berdua, aku sudah membuangnya. Tapi aku berbohong, dengan banyak alasan. Kau tahu? Aku tidak merasa bersalah karena sudah mengecewakanmu. Mengapa aku jadi tidak berperasaan begini? Kau sudah mengetahuinya, tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginanmu," diiringi para pemain instrumen, Gist terus bernyanyi, mengulurkan tangannya, sesekali juga mengajak penonton bernyanyi bersamanya.

Penonton tentu menikmatinya. Bernyanyi bersama sang idola, mengangkat tangan mereka dan menikmati lagu-lagu yang dibawakan. Itu alasan mereka membayar tiket konser kecil malam ini. Namun di tengah-tengah ramainya para penonton yang bergembira, ia duduk di tengah-tengah.  Kursinya berada di baris paling depan, tepat di tengah jadi ia dapatkan pemandangan terbaik acara malam ini.

Tapi, meski ia dapat tempat duduk terbaik, bibirnya tidak mengulas sedikit pun senyuman. Ia hanya mengenakan kaus dan celana jeansnya malam ini. Rambutnya diikat seadanya, bertingkah seolah dirinya tidak ingin berada di sana. "Aku tidak suka lagu pembukanya," begitu katanya, beberapa minggu sebelum tracklist konser malam ini di setujui.

"Kenapa? Kau yang menulis liriknya," balas Toil, waktu itu. "Kau harus menganggap ini kehormatan, lagu yang kau tulis liriknya, aku jadikan lagu pembuka," pria itu bersikeras.

"Justru karena itu aku tidak menyukainya," kata Lisa, gadis yang mendapat spot duduk terbaik itu.

Meski begitu, meski Lisa tidak menyukainya, Toil tetap tidak merubah keputusannya. When We First Met, tetap menjadi lagu pembuka konser malam ini. Di susul lagu-lagu lain yang membawa Toil pada penghargaan Produser Hip Hop terbaik akhir tahun lalu.

Tapi, mendekati tengah malam, saat konser kecil malam itu akhirnya selesai, Lisa justru tidak bisa menghapus senyumannya. Gadis itu tersenyum, tertawa bahkan terbahak-bahak, lepas konsernya selesai. Di belakang panggung, orang-orang memberi Toil dan Gist berbagai ucapan selamat. Menunjukan dukungan mereka dengan senyum dan beberapa ejekan kecil. Mereka bersenang-senang sampai di akhir acara.

"Aku akan pulang dengannya," Toil berkata, menolak tawaran beberapa staff agensi yang ingin mengantarnya pulang.

Satu persatu orang disana meninggalkan venue konsernya. Pergi dengan kendaraan masing-masing, setelah bertukar sapa dan beberapa ejekan. "Ayahmu tadi datang," Lisa berkata, dalam rangkulan tangan Ahn Toil.

"Apa katanya?"

"Dia berhenti hanya untuk ini?" kata Lisa, yang umumnya akan menyakiti siapapun pendengarnya.

"Dan yang kau katakan?"

"Iya, putramu yang gila itu berhenti jadi pengacara hanya untuk tertawa di sana," kali ini Lisa mengatakan lagi kalimat yang beberapa jam lalu ia katakan, pada Ayah Toil, Ahn Gilkang.

"Kau benar-benar bilang begitu?!" Ahn Toil berseru, sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi Lisa justru tertawa, mengatakan kalau ia tidak akan berani bilang begitu pada bosnya di kantor.

Ahn Gilkang punya sebuah firma hukum. Sebuah kantor besar dengan puluhan karyawan dan Lisa jadi salah satunya. Sudah sejak empat tahun terakhir, Lisa bekerja di Ahn & Jung Law Firm, tempat ayahnya, Jung Woosung juga bekerja.

Malam ini menyenangkan untuk Toil, sebab ini adalah konser pertamanya. Sepanjang acara ia terus berdiri di panggung, menyapa para penggemarnya dan hampir gila karena terlampau senang. Lisa ikut senang untuknya, ikut bangga sebab Toil bekerja sangat keras untuk hari ini. Namun di perjalanan pulang, Toil tiba-tiba berkata, "apa menurutmu Jiyong akan melihatnya?" ucapnya.

"Aku sedang senang sekarang, jangan menyebut namanya," balas Lisa, lantas membuat pria di sebelahnya itu menutup lagi mulut besarnya.

Tidak lama. Mulut Toil, tidak tertutup terlalu lama. "Tapi kalau Jiyong melihatnya, apa dia akan tahu lagu itu untuknya? Maksudku, lagumu," katanya, yang selanjutnya mengerang. Berseru kesakitan, sebab kepalanya baru saja di pukul, cukup mengejutkan hingga pria itu hampir terbentur dashboard di depannya.

Di tempat lain, jauh di belahan bumi bagian lain, seorang pria tengah duduk sendirian di dalam bar. Paris terasa hangat sore ini, tapi pria kesepian itu sudah duduk di dalam bar langgannya. Menatap pada gelas whiskey yang sudah setengah kosong. Seorang bartender berdiri di depannya, sedang mengelap gelas dengan handuk putihnya. Sudah satu jam pria itu tidak bicara, sang bartender pun tidak mengatakan apapun. Keduanya diam, larut dalam alunan musik dalam bar.

"Bourbon whiskey-nya pahit," kata pria itu akhirnya bicara. "Orang bilang, whiskey akan terasa manis kalau hidupmu pahit, tapi bagiku rasanya tetap pahit," susulnya, lebih dulu mengajak bartender di depannya bicara.

"Dan kau tetap memesannya setiap hari," komentar sang bartender.

"Ya, lalu hari ini, aku ingin memesan lebih banyak," pria itu kembali bicara. Setelah ia tenggak semua whiskey-nya, ia ulurkan gelasnya pada sang bartender. Meminta bartender itu mengisi ulang gelasnya.

"Ada masalah dengan pekerjaanmu?" tetap sembari menuangkan lagi whiskey pahit ke gelas tamunya, sang bartender bertanya.

"Tidak. Semuanya justru lancar, terlalu lancar," jawabnya, disusul helaan nafas panjang yang berat. "Aku akan pergi ke Bellis minggu depan, kau mau ikut?" tawarnya kemudian. Tanpa maksud yang benar-benar jelas— sungguhan mengajak, atau hanya berbasa-basi.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang