***
Di hari keberangkatannya ke Paris, ia sendirian. "Hati-hati di jalan, aku ada janji pijat dan kelas memasak hari ini. Kalau sempat, akan aku antar ke bandara nanti. Tapi sepertinya tidak sempat, sorry, telepon Toil untuk mengantarmu ke bandara," begitu pesan yang Lisa tinggalkan di lemari es. Sedang Ahn Toil meninggalkan kunci mobilnya di atas meja makan dengan sebuah pesan lain di sana.
"Aku harus ke kantor, pakai mobilku untuk pergi ke bandara. Bawa saja kuncinya. Aku punya kunci cadangannya. P.s sejak kapan Lisa ikut kelas memasak? Menakutkan," begitu pesan yang Toil tinggalkan.
Jiyong berdecak membaca pesan-pesan itu. Pesawatnya terbang jam satu siang nanti, dan sekarang sudah pukul sepuluh. Ia bangun terlambat karena semalam Toil membuatkan pesta selamat jalan untuknya. Mereka sempat minum-minum, menikmati beberapa wine yang Lisa beli, tapi tidak sampai mabuk. Lisa hanya mengizinkan mereka membuka satu botol wine tadi malam, untuk bertiga.
Ia kembali ke kamar setelah membaca pesan-pesan itu. Lalu meraih handphonenya, mengetik sebuah pesan di sana. "Tidak perlu mengantarku, aku bisa pergi sendiri naik taksi," begitu pesan yang ia ketik, lalu dikirimnya kepada dua temannya.
Di tempat lain, Lisa membaca pesan itu sembari menarik sebuah koper. "Katanya tidak usah mengantar," kata Lisa, memberitahu Toil isi pesannya. "Aku mau koper yang ini," susulnya, mendorong koper yang ia pilih di pusat perbelanjaan, mengoper koper kosong itu pada Toil.
"Bukan kah ini terlalu kecil?" tanya Toil, mengabaikan pemberitahuan Lisa tadi. Ia juga sudah melihat pesannya—lewat pop up yang muncul di notifikasinya.
"Tapi lucu, warnanya kuning," balas Lisa.
"Tidak akan muat untuk semua barangmu," komentar Toil, sekali lagi, mengingat barang-barang yang baru saja Lisa beli tadi, di toko lain.
"Bisa aku titipkan ke kopermu, kan?" santai gadis itu. "Aku mau yang ini, ya?" bujuknya kemudian.
"Tidak ada koper kuning yang besar?"
"Yang besar tidak lucu," geleng Lisa, menolak membeli koper lain. "Aku mengerti kenapa kita harus beli koper. Tapi kenapa kita harus beli baju juga? Kita bisa mengemasi baju yang ada di rumah," komentarnya kemudian.
"Kapan lagi kita bisa liburan bertiga? Kita belanja untuk merayakannya."
"Jiyong pasti terkejut," komentar Lisa. "Tapi aku benar-benar ikut kelas memasak, tanya Jiyong kalau tidak percaya, dia yang menemaniku mendaftar ke kelasnya," susulnya, menanggapi pesan lain yang Jiyong kirim.
Jiyong memberitahunya, kalau Toil tidak percaya Lisa ikut kelas memasak. Padahal, Lisa benar-benar ikut kelas memasak. Ia benar-benar berencana belajar memasak, untuk mengisi waktu luangnya selama menganggur. Meski ia baru ikut kelasnya dua kali, itu pun terlambat.
"Kalau begitu, kita tidak bisa ke Paris?" tanya Toil kemudian. "Nanti bagaimana dengan kelasmu?" susulnya.
"Bolos saja," santai gadis itu. "Kau tidak pernah membolos? Lagi pula berapa lama kita akan di sana? Seminggu? Paling lama dua minggu. Kau harus kembali ke kantor sebelum Ahn Bohyun kesal karena ditinggalkan terlalu lama. Kau tidak bisa terus-terusan menjadikanku alasan. Lisa ingin sekali ke Paris, tapi dia tidak bisa pergi tanpaku, aku kasihan melihatnya terus melamun di rumah—sampai kapan kau mau menjadikanku alasan untuk bolos kerja?"
"Aku sudah berminggu-minggu bekerja keras, sampai sakit," kata Toil, ingin membela diri. "Tidak bisakah kau membiarkanku liburan sebentar saja? Tsk... Jahat sekali. Kau tidak kasihan melihatku sakit kemarin?" susulnya kemudian, ingin menumbuhkan rasa bersalah pada diri gadis di depannya. Sengaja, ingin memanipulasi perasaan gadis itu.
Tapi Lisa justru berdecak. Ia ketahui maksud pria itu. Ia menyadari rencananya. "Kau sakit karena mabuk-mabukan," komentar Lisa kemudian, sebelum ia kembali bersikeras ingin membeli koper kuning pilihannya. Toil mengizinkannya, tidak benar-benar peduli karena sekeras apapun ia melarang, gadis itu tidak akan menyerah. Lepas membeli koper, keduanya melangkah memasuki toko lain.
Toil ingin membeli sepasang sepatu baru. Ia sudah menelepon toko itu, meminta mereka menyimpan sepasang sepatu ukurannya. Namun di tengah langkah mereka menuju toko itu, Lisa berhenti. "Ya! Ahn Toil, Jiyong pasti punya peralatan mandi kan? Tidak perlu membeli peralatan mandi kan?" tanya Lisa, menatap ke toko perawatan tubuh yang mereka lewati.
"Kalau pun dia tidak punya, kita bisa membelinya di sana," santai Toil. "Kita pernah terbang ke Jepang tanpa membawa apapun. Jangan seperti turis sungguhan begitu," susulnya.
"Kenapa waktu itu kita pergi ke Jepang?" tanya Lisa, mengingat-ingat sembari mengurungkan niatnya membeli beberapa barang di toko perawatan tubuh.
"Menyusul Donghyun? Atau saat kau tiba-tiba ingin matcha?"
"Ah! Menyusul Donghyun, kau ingin mengajaknya ke toko mainan," ingat Lisa. "Lalu kita dimarahi ibunya karena ternyata itu sex toys, bukan mainan normal, bodoh sekali," susulnya, mengoceh sambil mengekor pada pria yang menarik dua koper kosong di depannya.
"Aku memang berencana membelikannya sex toys," santai Toil. "Walaupun bagian dimarahi ibunya memang diluar rencana," katanya, sama sekali tidak merasa bersalah. Tidak peduli meski komentarnya membuat Lisa mengatainya dungu.
Mereka makan siang bersama setelah selesai belanja. Menikmati beberapa potong sushi di restoran dalam pusat perbelanjaan itu, juga menyesap beberapa gelas teh. Lama mereka mengobrol, merencanakan liburan yang tiba-tiba Toil usulkan—kemarin lusa, sesaat setelah Jiyong memberitahunya tentang tiket yang pria itu beli. Toil beritahu Lisa semua tempat yang ia kunjungi, begitu pun sebaliknya.
"Kalau Jiyong hanya punya dua kamar di apartemennya, aku mau menginap di hotel saja," Toil berkata begitu. "Aku tidak mau berbagi kamar dengannya. Ah! Atau kau saja yang berbagi kamar dengannya? Kalian bisa-"
"Tidak mungkin dia hanya punya dua kamar," potong Lisa. "Uangnya banyak. Setidaknya dia pasti punya tiga kamar di rumahnya. Lihat saja pakaiannya, apa dia kelihatan miskin untukmu?"
"Siapa tahu? Dia tinggal sendirian, untuk apa punya tiga kamar?"
"Kita hanya berdua, untuk apa punya lima kamar di rumah?" balas Lisa, sukses membuat Toil menganggukan kepalanya, menyetujui pendapatnya. Keduanya yakin, Jiyong punya sebuah rumah yang layak. Mereka tidak perlu mengkhawatirkannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...