46

227 42 2
                                    

***

Sore ini, Jiyong melihat Lisa berendam di kolam renang. Gadis itu memakai pakaian santainya, kaus dengan celana jeans-nya. Tanpa pakaian renang, gadis itu bergerak di kolam, sesekali berenang, sesekali hanya menenggelamkan dirinya lalu muncul lagi ke permukaan. Jiyong sempat heran, kenapa Lisa tidak memakai pakaian renangnya. Pria itu yakin, Lisa punya banyak pakaian renang. Maka mendekat lah ia ke kolam, menghampiri Lisa yang tengah menyelam di dasar.

"Apa yang kau lakukan? Berenang dengan celana jeans?" heran Jiyong, berdiri di tepian kolam dengan model pakaian yang sama.

"Apa?" Lisa balas bertanya, setelah ia dapatkan lagi kesadarannya. Setelah ia singkirkan bulir-bulir air di wajahnya. Gadis itu mendongak, menatap pada pria yang berdiri tinggi di depannya. "Baju untuk Toil sudah jadi?" tanyanya kemudian, masih dalam posisi yang sama.

Jiyong menggeleng. Ia tarik celananya, lalu berjongkok di depan Lisa. "Kenapa kau terus bertanya? Daripada hanya bertanya, lebih baik bantu aku," katanya, menanggapi pertanyaan tadi.

"Aku sudah lupa caranya, sudah lama sekali aku berhenti," santai Lisa, lalu kembali bergerak untuk berenang, menjauhi Jiyong.

Kedatangan pamannya minggu lalu, akhir-akhir ini mulai mengganggunya. Pamannya di pecat, karena terbukti memalsukan laporan kasusnya. Toil bermaksud untuk menuntut pria itu, tapi pengadilan terus menunda-nunda tuntutannya. Rasanya tidak akan mudah, meski sudah menyerahkan kasusnya pada pengacara-pengacara terbaik di kantor.

"Aku bisa mengajarimu," tawar Jiyong namun Lisa mengabaikannya. Tidak benar-benar mendengarkan pria itu sebab dalam kepalanya, ada segumpal benang kusut sekarang. Lisa kesulitan mengurai benang itu, ia tidak bisa memutuskan bagaimana perasaannya sekarang.

Ia seharusnya marah, atas apa yang terjadi pada orangtuanya. Ia marah, namun akhir-akhir ini baru disadarinya kalau marah pun perlu tenaga. Ia tidak punya tenaga untuk terus marah. Harusnya ia lakukan sesuatu untuk orangtuanya. Meluruskan kecurangan, menghukum mereka yang bersalah pada orangtuanya. Namun itu pun perlu tenaga, dan ia tidak memilikinya.

Satu waktu, Lisa merasa dirinya sudah melakukan sesuatu yang benar—menyerahkan kasus orangtuanya pada mereka yang bisa menyelesaikannya, pada Toil dan ayahnya, pada Bohyun si kartu as firma hukum, pada ibunya Jiyong yang entah kenapa jadi begitu agresif. Namun di waktu lainnya, gadis itu meragukan keputusannya—bolehkah ia diam saja? Hanya menunggu kemajuan kasusnya di rumah?

"Temuilah orangtuamu," Toil berkata begitu setelah mendengar bagaimana rumitnya isi kepala gadis itu. Namun Lisa tidak benar-benar tahu bagaimana caranya. Apa cukup dengan mendatangi makamnya? Atau ia pun harus mati agar bisa benar-benar bertemu kedua orangtuanya? Pilihan-pilihan yang rumit, berbelit dalam kepalanya, sulit untuk diurai.

"Ya! Lisa!" Jiyong memanggil, sebab gadis yang berenang menjauh itu kini mengabaikannya. Tengah tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri.

Berkali-kali Jiyong memanggil namun Lisa tetap mengabaikannya. Sampai suara riak lain terdengar, sekarang Jiyong masuk ke air. Melompat, lalu menghampiri Lisa, menarik gadis yang tidak kunjung muncul ke permukaan. Ia tarik bagian belakang baju Lisa, mengeluarkan gadis yang tengah menenggelamkan dirinya sendiri.

Lisa terkejut, ia memberontak ketika tubuhnya di tarik ke tepian, baru setelah mereka berdua naik, keluar dari air Lisa berseru. "Ya! Apa yang kau lakukan?! Kau mau membunuhku?!" seru gadis itu, memukul Jiyong yang pucat. Jiyong tidak pernah bermaksud membunuh siapapun, pria itu melompat karena Lisa tidak juga muncul ke permukaan. Karena dipikirnya, Lisa tenggelam, dalam kolam yang hanya 1,7 meter.

Mendengar teriakannya sendiri, melihat juga wajah pucat lawan bicaranya. Lisa langsung menutup mulutnya sendiri. Kau mau membunuhku?!—mendengar dirinya berkata begitu, seketika menyadarkannya. Aku tidak mau mati—begitu yang sekarang muncul dalam kepalanya. Baru ia sadari kalau dirinya sempat ketakutan, dirinya belum siap untuk menghadapi kematian.

"Aku pikir kau tenggelam!" Jiyong balas berteriak, setelah ia dapatkan kembali nafasnya. Setelah sebelumnya pria itu terjerat dalam kepanikan, panik sebab lawan bicaranya tidak segera muncul ke permukaan. Sebab kolam renang di depannya tiba-tiba saja terlihat tenang, terlihat begitu gelap, sangat menakutkan. Sebab ingatannya akan Lisa yang akan melompat dari atap di cafe, tiba-tiba saja meledak di kepalanya.

"Tidak, maaf," pelan Lisa, lantas menjatuhkan dirinya sendiri, berbaring di atas lantai basah di tepi kolam.

Jiyong ikut berbaring. Keduanya menatap langit biru yang perlahan-lahan menggelap. Cahaya oranye berbaur dengan birunya langit, mulai menggelap, mulai menenggelamkan sinarnya. "Kenapa kau berenang dengan pakaianmu? Tidak berat?" tanya Jiyong, sembari mengatur nafasnya sendiri.

"Berat," pelan Lisa. "Toil bilang berenang bisa membantuku berfikir," susulnya.

"Kau benar-benar tidak bisa hidup tanpanya?" tanya Jiyong, sebab perasaan itu terasa semakin berat baginya—cemburu. Perasaan yang lama kelamaan membuatnya merasa harus pergi, berhenti mengganggu pasangan yang saling membutuhkan itu. Berhenti berada ditengah-tengah dua sahabatnya yang dianggapnya sama-sama penting.

Lisa sempat diam. Tanpa Toil, jika tidak ada pria itu di sisinya, mungkin ia tidak lagi bisa bertahan—Lisa harus mengakuinya, seberapa bergantungnya ia pada Toil. "Toil benar," pelan gadis itu kemudian. "Kau benar-benar berbakat merusak rumah tangga orang. Jangan menggoda wanita bersuami, dia benar-benar bisa bercerai karenamu," susulnya kemudian.

Jiyong menoleh, tidak pernah ia dengar komentar seperti itu sebelumnya. Tidak juga ia duga Lisa akan bilang begitu. Jawaban yang Lisa berikan, sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Maka Lisa pun balas menoleh, menatap pria yang berbaring di sebelahnya. "Apa? Kau tersinggung? Kau berbakat jadi orang ketiga, itu pujian," kata Lisa tetap menatap lawan bicaranya. "Bisakah kau membawaku pergi dari sini?" susulnya, dengan raut sendu yang justru Jiyong balas dengan tatap bingungnya. Pria itu terkejut sekarang.

Ia tidak tahan lagi. Jiyong bangun lebih dulu. Merasa kalau Lisa baru saja mengatakannya—aku goyah, aku ingin pergi bersamamu. Merasa kalau ia baru saja melakukan sebuah kesalahan besar pada Toil. "Ke Paris, bawa aku ke Paris," Lisa kembali bicara, kali ini sembari menarik kaus yang Jiyong kenakan. Menggoyang-goyangkan ujung kaus itu, menuntut perhatian. Menuntut jawaban.

"Jangan asal bicara," Jiyong membalasnya. Menyingkirkan juga tangan Lisa dari bajunya, lantas bangkit dari sana. Melangkah lebih dulu, masuk ke dalam rumah.

"Ada apa dengannya? Dia duluan yang menyuruhku bercerai lalu datang padanya? Dia berubah pikiran sekarang? Dia sudah gila?" heran Lisa, tetap berbaring namun bibirnya mulai melengkung, tersenyum lantas terkekeh melihat sikap Jiyong barusan.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang