***
Lisa tiba di stasiun dalam dua puluh menit. Namun tidak ia hampiri pria yang menunggunya. Awalnya Lisa berencana menunggu sepuluh menit, sembari memperhatikan Jiyong dari jauh. Lalu kemudian, gadis itu penasaran—berapa lama Jiyong bisa menunggunya?
Ia menghentikan mobilnya beberapa meter dari stasiun. Memarkir mobilnya di depan sebuah toko tanpa turun dari sana. Dari tempatnya berhenti sekarang, Lisa bisa melihat Jiyong. Tidak sampai bisa melihat ekspresi wajahnya, tapi gerak-gerik pria itu, Lisa bisa melihatnya dengan jelas.
Jiyong berdiri di depan stasiun, menunggunya sembari menatap layar handphonenya. Lama pria itu berdiri di sana. Lebih dari tiga puluh menit Lisa melihat Jiyong menunggu di depan stasiun. Lalu setelahnya, mungkin karena ia lelah berdiri, Jiyong berjalan ke sudut. Ia duduk di sana, lagi-lagi sembari memperhatikan handphonenya. Seolah akan menghubungi seseorang.
Lisa menatap handphonenya dalam mobil. Menunggu Jiyong mungkin akan menghubunginya. Ia sudah terlambat dua puluh menit dari waktu yang Jiyong putuskan tadi. Tapi Jiyong tidak menghubunginya. Sekali pun, Jiyong tidak meneleponnya. Apa lagi mengiriminya pesan.
Satu jam setelah waktu yang diputuskan, Lisa masih duduk di mobilnya. Masih memperhatikan Jiyong yang duduk sendirian di bangku panjang depan stasiun. Bahkan setelah satu jam, Jiyong masih menunggunya di sana. Dan kali ini sebuah pesan masuk.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya Jiyong, lewat pesannya.
"Ya, aku hanya sedikit terlambat," begitu yang Lisa balas. Jiyong membalas pesan itu, mengatakan kalau ia akan menunggu.
Lalu, sampai di tengah hari, Lisa tidak juga datang dan Jiyong tetap menunggu di sana. Di jam makan siang, Lisa tidak seberapa lapar. Tetap ia perhatikan Jiyong di stasiun sana, melihat pria itu tersenyum, berbincang dengan seorang bibi tua penjual nasi kepal. Lisa melihat Jiyong membeli nasi kepal itu. Mengisi perutnya sambil menunggu Lisa yang tidak juga datang.
Lisa bermaksud datang, saat Jiyong memutuskan untuk pergi. Tapi sampai lewat jam makan siang, Jiyong tetap menunggunya di sana. Bersama nasi kepal dari bibi tua di dekat sana, lalu minuman dari mesin penjualan, Jiyong menunggu Lisa. Sudah setengah hari mereka ada di sana. Lisa dalam mobilnya, menunggu Jiyong yang ada di depan stasiun untuk menyerah.
Gadis itu yang akhirnya lebih dulu menyerah. Setelah lewat pukul dua, Lisa membawa mobilnya ke depan stasiun. Berhenti tepat di depan Jiyong. Pria itu mengenali mobilnya, langsung menghampiri Lisa dan mengetuk kaca mobilnya. Kunci pintu mobil itu di buka, Jiyong membuka pintu besi di depannya, namun tidak ia langkahkan kakinya naik.
"Parkir mobilnya di sana, lewat sana," Jiyong menunjukan sebuah pintu dengan portal di sebelah stasiun itu. Lalu kembali menutup pintunya.
Sekarang Lisa menurunkan kaca mobilnya. Ia tidak ingin memarkir mobilnya. Ia ingin Jiyong yang naik ke mobilnya. Namun pria itu menolak, mengatakan kalau mereka harus naik kereta. Tidak sempat berdebat karena mobil di belakang sudah menunggu, Lisa akhirnya menurut.
Butuh sepuluh menit sampai Lisa kembali ke depan stasiun itu. Butuh sepuluh menit bagi Lisa untuk menemukan tempat parkirnya. Sekarang gadis itu berdiri di depan Jiyong, dengan celana pendek dan kausnya. Begitu datang, Lisa langsung membuka mulutnya.
"Kenapa masih di sini?" tanya gadis itu, penasaran kenapa Jiyong masih menunggunya yang terlambat hampir lima jam.
"Menunggumu," jawab Jiyong. "Ayo," ajak pria itu, memberi tanda agar Lisa mengikutinya masuk ke dalam stasiun. Pria itu melangkah ke loket tiket, akan membeli dua tiket untuk mereka sementara Lisa mengekor dengan banyak pertanyaannya.
"Kenapa kita naik kereta? Kita bisa naik mobil. Lewat jalan tol-"
"Tidak banyak tempat parkir di sana. Daripada buang-buang waktu mencari tempat parkir, lebih baik naik kereta," potong Jiyong, setelah selesai membeli tiket untuk mereka, lewat sebuah loket otomatis di sana.
Ia terdiam. Kalau mencari tempat parkir saja pria itu anggap membuang-buang waktu, lalu kenapa ia mau menunggu berjam-jam di depan stasiun? Lisa yang terdiam dengan wajah ketusnya kemudian di tegur. "Kenapa? Kau tidak mau masuk?" tanya Jiyong, akan melangkah masuk ke peron namun Lisa hanya memandanginya. Larut dalam pikirannya sendiri.
Lalu, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran gadis itu, Jiyong melangkah, berdiri tepat di depan Lisa kemudian menatap wajahnya. "Kau bilang kau akan terlambat, karena itu aku menunggu," kata Jiyong, menjawab pertanyaan yang sempat ia abaikan tadi.
"Itu tadi pagi."
"Nyatanya kau datang sekarang, jadi apa masalahnya?"
"Kau menunggu hampir enam jam."
"Lalu apa masalahnya? Aku tidak keberatan," balas Jiyong. "Keretanya sebentar lagi datang, masuk dulu, kita bisa bicara di dalam," susulnya, dengan tangan yang terulur, mengajak Lisa untuk masuk. Menawarkan diri untuk menggandeng tangan gadis itu.
Lisa tidak menerima uluran tangan Jiyong. Ia tetap melangkah, mendahului Jiyong akan masuk ke peron, melewati sebuah palang yang harus di buka dengan tiket. Lisa mendorong palang itu, berlaga mengetahui caranya. Namun palangnya tidak bergerak, sampai Jiyong menempelkan tiket yang ia beli ke pemindainya.
Senyum tipis tergambar di wajah Jiyong. Sekarang Lisa terlihat lucu di matanya. Gadis sok tahu yang kesal itu melangkah di depan Jiyong. Lagi-lagi berlaga kalau ia tahu segalanya. "Peron tiga," Jiyong memberitahunya, masih membiarkannya memimpin jalan.
Tiba di depan peron, Lisa terdiam. Berdiri di belakang garis kuning. Sesekali gadis itu menundukan kepalanya, sesekali juga ia menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan sekitarnya, tapi menghindari Jiyong dari jarak pandangnya. Tidak sampai dua menit mereka berdiri di sana, lalu kereta datang. Sekarang Jiyong mengambil tempat ke sebelah Lisa, mengajak gadis itu bergerak ke arah pintu keretanya.
Tanpa menunggu Lisa menerima uluran tangannya, Jiyong menggenggam tangan gadis itu. Ia pegang pergelangan tangannya, menarik Lisa masuk ke dalam kereta lalu berdiri di tengah-tengah kursinya. Siang ini kereta sepi, jadi Jiyong bisa mengajak gadis itu untuk duduk. "Jaraknya enam stasiun dari sini," kata Jiyong, memberitahu gadis yang seketika pucat. Ketika pintu kereta tertutup, Lisa meremas ujung kausnya sendiri. Kaus kebesaran itu menutup sampai ke pahanya, membuatnya jadi satu-satunya tempat Lisa bisa menggenggam sesuatu.
"Kau takut?" tanya Jiyong, berhati-hati meraih tangan Lisa untuk menggenggamnya. Menyelipkan jemari tangannya diantara jari-jari gadis itu. "Toil bilang kalian pernah naik trem, ini tidak berbeda dengan trem. Tidak perlu takut, kau akan baik-baik saja," tenang Jiyong sementara Lisa tidak bisa bicara. Hanya bisa ia remas tangan Jiyong. Menahan dirinya agar tidak terlalu takut di sana.
Angannya telah berlabuh pada skenario sebuah kecelakaan. Gerbong yang ia naiki, menabrak gerbong lain. Dilihatnya supir gerbong itu terguling di jalan, berdarah-darah. Orang-orang di sekitarnya terluka, penuh darah dan menatap tajam padanya. Semua itu hanya halusinasi, hanya khayalannya, Lisa tahu itu. Tapi tubuhnya tetap bereaksi. Keringat tetap muncul dan gemetar tetap datang.
"Jadi, kau kesal karena aku menunggumu?" tanya Jiyong, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka. Lisa mengangguk. Mencoba untuk masuk dalam obrolan itu, merasa kalau ia akan baik-baik saja jika mengobrol. Jika pikirannya bisa teralihkan.
"Aku tidak keberatan menunggumu. Sungguh, kau pasti punya alasan bagus kenapa datang terlambat. Kau juga sudah bilang kalau akan datang terlambat, jadi itu bukan masalah, hanya menunggu," katanya, meski Lisa tidak bisa memahami kata demi kata yang ia katakan. Lisa tengah sibuk dengan kepalanya sendiri sekarang.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...