***
"Kau tinggal di sini? Tempatnya manis," komentar Lisa, sembari memegangi koper kuningnya, baru saja keluar dari taksi dengan dua pria lainnya. Bangunan bergaya eropa itu terlihat sama seperti bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Tingginya kira-kira lima lantai, Lisa bisa menghitung jumlah lantainya dari jendela-jendela yang terlihat di luar.
"Kau membeli gedung ini? Untuk kau tinggali sendirian?" Toil ikut berkomentar, mengatakan kalau Jiyong punya bakat investasi. "Aku kira bakatmu hanya merebut istri orang," celetuknya kemudian, sembari melihat-lihat gedung batu dengan pintu merah itu.
Ada tiga anak tangga kecil, dengan pagar pendek yang membatasi rumah itu dengan trotoarnya. Tidak ada halaman di depan gedung itu. Pagarnya tidak jauh, janya sejarak jendela yang terbuka. Hanya batas antara tanah si pemilik dengan trotoar milik pemerintah. Di balik pagar besi yang jarang-jarang itu, ditaruh beberapa pot bunga, warna-warni dan kelihatan manis. Cocok untuk menarik perhatian turis. Terlebih dengan tulisan "ada kamar disewakan" di dindingnya.
"Kau mengelola hotel juga di sini? Aku pikir kau hanya designer," kata Lisa, mengambil foto dirinya sendiri di depan bangunan itu. Gadis itu tersenyum pada kameranya, lalu menepuk bahu Toil, meminta Toil untuk melihat juga ke arah kamera sedang Jiyong disuruh menyingkir. "Untuk aku kirim ke ibu-ayah mertuaku, bukti kalau kami benar-benar ke Paris," kata Lisa, setelah selesai berfoto.
"Berfoto lah, aku akan naik sebentar lalu mengantar kalian ke hotel," kata Jiyong, akhirnya membuka pintu merah di depannya itu.
"Kenapa ke hotel?" Lisa bertanya, namun Toil yang lebih dulu menarik kopernya, mengekor masuk ke dalam bangunan batu tadi.
Begitu masuk, ada sebuah lobby kecil yang menyambut mereka. Sebuah ruang kosong yang hanya cukup menampung enam orang, lalu tangga dan dua pintu kaca di kanan kirinya. Jiyong akan mengatakan sesuatu, akan memberitahu dua temannya itu kalau ia bukan tuan tanah di sana, tapi Lisa dan Toil sudah lebih dulu berkeliaran. Melihat-lihat sesuka mereka tanpa memperhatikannya.
Lisa mengintip ke pintu di sebelah kiri yang ternyata dapur, dengan meja makan bulat dan lemari es kuno. "Konsepnya vintage? Cantik," katanya. Sedang Toil akan mengintip ke pintu lainnya tapi hampir tidak bisa melihat apapun di sana. Pintunya terkunci, dan kacanya di cat agar tidak ada yang bisa melihat ke dalam.
"Ruangan apa ini? Di mana kamarmu?" Toil bertanya, sembari mencoba membuka pintu terkunci itu.
Dari dalam pintu itu kemudian terbuka. Seorang pria tua keluar dari sana. Pria itu kelihatan bingung, lalu bicara dalam bahasanya, bertanya apa Lisa dan Toil adalah turis yang ingin memesan kamar tapi Jiyong membantahnya. Mengatakan kalau dua orang itu adalah rekan kerjanya, yang hanya akan mampir sebentar.
"Kenapa kita hanya mampir? Kau tidak mau kami menginap di sini?" tanya Lisa, memahami obrolan tadi.
"Kenapa? Kau mengencani seseorang di sini?" tebak Toil, sedang si tuan tanah mengatakan kalau kamar kosongnya hanya ada di lantai lima, di sebelah kamar Jiyong—flat besar dengan tiga kamar tidur di dalamnya, yang bisa di sewa per kamar atau satu flat sekaligus.
"Menginap di sini saja," Lisa memutuskannya, setelah ia dengar ucapan si tuan tanah. "Kami akan menginap di sini, tuan, satu flat," begitu katanya kemudian, berkata langsung pada si pemilik gedung itu, dalam bahasa Prancis sederhana yang ia kuasai. Jiyong melarangnya, tapi teman-temannya itu bersikeras.
Toil yakinkan temannya itu, kalau ia dan Lisa juga bisa hidup sederhana seperti yang Jiyong lakukan selama ini. Mereka tidak harus menginap di hotel bintang lima, mereka bisa tidur di motel, atau apapun sebutannya di sana. Mereka bisa tinggal di gedung yang sama dengan Jiyong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...