***
Hari sudah gelap ketika Lisa mengemudikan mobil sewaannya ke stasiun. Ke tempat ia meninggalkan mobilnya di sana. Dalam perjalanan itu, ia tidak membicarakan Toil. Tidak juga menyinggung panggilan pria itu. Sepanjang perjalanan, Lisa hampir tidak bicara. Setelah berkata kalau dirinya lelah, ia berhenti bicara. Menghemat energinya untuk menyetir sampai rumah.
Tiba di rumah, setelah beberapa jam menyetir, Lisa menghentikan mobilnya di depan rumah. "Masuklah, aku mau menjemput Toil dulu," katanya kemudian.
"Sesuatu yang buruk terjadi padanya? Aku bisa ikut-"
"Tidak," potong Lisa. "Istirahat saja di rumah, aku dan Toil akan pulang larut hari ini," tolaknya, membuat Jiyong tidak bisa bersikeras lagi.
Pria itu turun, lalu ditinggalkan. Sedang Lisa langsung melaju pergi begitu pintu mobilnya ditutup. Secepat yang ia bisa, ia melaju ke kantor hukumnya. Mendatangi Toil yang masih ada di sana, untuk melihat semua pekerjaan yang sudah pria itu lakukan.
Toil ada dalam ruang kerjanya. Nama pria itu ada di pintunya, di atas nama Lisa yang juga masih ada di sana. Tanpa mengetuk, Lisa mendorong pintunya, melihat Toil berdiri dengan beberapa lembar kertas ditangannya. Lengan kemeja pria itu digelung, kerah kemejanya tidak dikancingkan, kancing lain di atasnya pun tidak. Sebentar Lisa mematung melihat suaminya di sana, memperhatikan Toil dari atas kepalanya sampai ke bawah.
"Kenapa kau datang? Ya! Kenapa melihatku begitu? Kau terpesona padaku?" tegur Toil, sebab Lisa hanya berdiri menilainya.
"Tadinya ingin aku foto," Lisa akhirnya sadar. "Fansmu pasti senang melihatmu begini, keren. Tapi celanamu belum diresleting. Celana dalam kuningmu kelihatan jelas sekali, mengganggu," susul Lisa, disusul sederet umpatan yang sudah jadi makanan Toil sehari-hari.
Pria itu memasang resleting celananya. Menyembunyikan celana dalam kuning yang malam ini dipakainya. Sembari mengeluh kalau set celana dalam yang Lisa belikan jelek—warnanya jelek. Gadis itu berdecak, menyuruh Toil untuk membeli sendiri celana dalamnya, kalau tidak mau memakai pilihannya.
Lantas Lisa langkahkan kakinya masuk. Menutup pintu yang tadi ia buka dan duduk di atas kursi kerjanya—yang sekarang dipakai Toil. Ia melihat-lihat berkas yang ada di sana lalu Toil menggeser beberapa foto, menunjukan foto luka memar di lengan dan paha seorang wanita. Juga foto luka lecet di dahi wanita itu, ibunya Jiyong.
"Ayahnya Jiyong yang melakukannya?" tanya Lisa lalu Toil menggeleng. "Dia melakukannya sendiri?" Lisa bertanya sekali lagi, dan kali ini Toil mengangguk.
"Dan dia melakukan itu di depan suaminya."
"Kenapa?!" Lisa membulatkan matanya karena terkejut. Menatap heran pada Toil yang sepertinya juga sakit kepala sekarang.
"Mengancam Tuan Kwon, agar mau bercerai, agar mau menyetujui semua syarat perceraiannya juga."
"Aku pikir semuanya akan selesai dengan Bibi Anna terbukti membunuh orangtuaku, di hukum, lalu Tuan Kwon dan Pamanku yang menutupi kasusnya dihukum juga. Tapi kenapa ibunya Jiyong sampai begini? Kenapa dia melakukan ini? Dia harus begini agar Tuan Kwon dan Pamanku dihukum?" tanya Lisa dan Toil menggeleng.
"Dia sudah cukup membantu dengan semua bukti rekaman yang dia berikan. Tapi, ibunya Jiyong tidak mau hanya menghukum mereka. Harga saham perusahaan suaminya pasti turun kalau suaminya dihukum karena memalsukan bukti. Tapi itu belum cukup untuknya. Dia ingin mengambil perusahaannya juga. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi dia marah sekali, pada Tuan Kwon. Dia ingin mengambil semuanya."
"Kalau Jiyong tahu ibunya melakukan ini-"
"Karena itu, tadi siang aku saja hampir menangis melihatnya datang ke sini. Dia babak belur," potong Toil. "Bagaimana pendapatmu tentang menyuruh Jiyong pergi?"
"Membohonginya?"
"Hanya tidak mengatakan apapun? Seperti yang dia lakukan. Bagaimana?" tanya Toil. "Tapi, orang itu tidak akan pergi kecuali kau pergi bersamanya. Dia bilang begitu, setelah terakhir kali kau memarahinya karena dia bilang dia mau pergi. Dia bilang padaku, dia tidak akan meninggalkanmu lagi," susulnya, memberitahu tentang janji yang Jiyong ucapkan saat mabuk.
Tidak ada keputusan apapun sampai mereka berdua pulang ke rumah. Keduanya melaju dalam mobil masing-masing, membisu dalam dalam jalanan malam yang sepi, tiba ke rumah hampir tanpa suara apapun. Begitu masuk, Jiyong ada di ruang tamu, berbaring di sofa dengan TV menyala namun tidak menontonnya. Pria itu menoleh saat dua temannya datang, berpaling dari handphonenya sebentar lalu menatap lagi ke layar menyala itu. Bicara dalam bahasa Prancis, namun tidak menyapa mereka yang datang.
"Apa katanya? Dia mengumpat?" tanya Toil, bertanya pada Lisa yang ada di belakangnya.
"Warnanya ternyata jelek, ganti jadi abu-abu," jawab Lisa, membuat Jiyong menoleh ke arahnya. Tidak tahu kalau Lisa akan memahami ocehannya. Gadis itu tidak membalas tatapannya, melangkah mendahului Toil, berjalan ke dapur.
"Aku pikir dia mengumpat," komentar Toil. Ikut pergi ke dapur, lalu berdiri di belakang Lisa, mengantri di depan lemari es. Lisa mengambil segelas es batu, mengisinya dengan air dingin lalu menenggaknya. Membawa gelasnya ke lantai dua, sedang Toil masih mengacak-acak lemari es, mencari makanan. "Jiyong-ah! Kau tidak punya makanan untukku?" tanya Toil, masih sembari mencari-cari makan malam yang ia inginkan.
"Aku sedang bekerja," balas Jiyong, sebelum ia kembali bicara dalam bahasa lain. Pria itu menolak menyiapkan makan malam untuk Toil.
"Dasar tidak berguna," gerutu Toil, yang kemudian membanting pintu lemari es, setelah ia ambil sebuah apel di sana. "Lisa! Ayo pergi makan!" serunya kemudian, berlari naik ke lantai dua setelah mengigit apelnya. Mengajak Lisa untuk pergi lagi, meski tahu saat itu sudah tengah malam.
Tidak berselang lama, Toil turun dengan gadis yang ia tarik bersamanya. Lisa sudah mengganti pakaiannya ketika turun, mengeluh tidak mau ikut tapi tetap mengekor karena Toil menariknya pergi. Mereka sudah berdamai sekarang—nilai Jiyong.
"Dia tidak diajak?" tanya Lisa. "Ajak dia saja! Aku lelah!" keluhnya, menunjuk-nunjuk Jiyong yang masih sibuk dengan panggilan videonya.
"Bergabung lah setelah urusanmu selesai," suruh Toil, yang hanya memberikan kunci mobilnya pada Jiyong. Melempar kunci mobil itu sampai jatuh di atas perut Jiyong.
Selanjutnya, Lisa kembali dibuat menyetir. Mengemudi ke restoran yang sebenarnya tidak seberapa jauh dari sana. Jaraknya hanya sepuluh menit berjalan kaki, namun Toil menolak untuk berjalan. Mengeluh kalau kakinya lelah setelah berdiri hampir seharian. Mengeluh karena lelah bekerja sepanjang hari.
"Padahal ada kursi, kau tidak bisa membaca sambil duduk?" heran Lisa, yang juga sama lelahnya karena baru saja pergi seharian.
Begitu tiba, Toil yang turun lebih dulu. Mencari tempat duduk lalu memesan makan malam untuk mereka. Lisa menyusul setelah mengirimi Jiyong alamat restorannya, bergabung di meja itu, duduk di sudut dan bersandar ke dinding. Bercerita tentang harinya tadi—mulai dari sengaja terlambat sampai naik kereta.
"Jiyong bodoh sekali," komentar Toil, setelah mendengar berapa lama Jiyong menunggu Lisa di stasiun tadi. "Tapi dia berbakat jadi perebut istri orang, perusak rumah tangga orang lain. Iya kan? Bisa-bisanya dia terang-terangan menyukaimu di depanku? Kau istriku? Meskipun kita bertiga pernah dekat, tapi sudah sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu. Kenapa dia tidak merasa sungkan? Sama sekali?" herannya kemudian.
"Itu karena kita tidak terlihat seperti suami istri," balas Lisa. "Kalau kau tidak berkencan di depannya, dia tidak akan berani mendekatiku."
"Aku pernah bilang padanya, kalau aku baru saja tidur denganmu, lalu wajahnya merah padam. Dia kelihatan marah sekali. Aku hampir tertawa melihatnya. Seandainya dia tahu kalau kau-"
"Kau akan mati kalau memberitahunya," potong Lisa, sembari menodongkan garpu pada pria yang duduk di depannya itu. Malam ini Toil juga perlu dinding untuk bersandar.
"Setidaknya minta tanggung jawabnya," balas Toil. "Ya! Aku tidak bisa merasakan nikmatnya bercinta karenamu, tanggung jawab, jadi budakku- heish! Ini kemejanya Jiyong! Sialan!" sebal Toil, sebab Lisa baru saja menekan botol saus di depannya, sampai sausnya keluar dan mengenai Toil, di bagian dagu juga bahu pria itu. Lisa tidak berencana menyemprot pria itu dengan saus, ia berencana melempar botol itu ke wajah Toil. Tapi sekarang gadis itu pun terkejut melihat sausnya tumpah, kemudian terkekeh, karena kemejanya jadi semakin kotor saat Toil mencoba untuk mengusapnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...