***
Jiyong meragukan saran Toil, tapi setelah hampir dua jam ia berkeliling di sekitaran rumah itu, mencari Lisa dan tidak menemukan apapun, ia arahkan mobilnya ke perpustakaan kota. Pria itu berkeliling, sedang Toil dihubungi seorang rekan kerjanya, diajak untuk pergi ke studio dalam agensinya, mengerjakan musiknya di sana.
Tiba di perpustakaan kota, Jiyong mengeluh. Tempat itu luas sekali! Dari tempat parkir sampai ke rak-rak penuh buku, Jiyong berlarian, mencari Lisa seperti yang Toil katakan. Di tengah pencariannya, Toil menelepon. "Kau sudah menemukannya?" tanya Toil, sedang Jiyong masih berlarian, mencari gadis itu.
"Belum, dia belum pulang?"
"Belum. Cepat cari dia, aku harus bekerja-"
"Apa katamu?!" Jiyong menghentikan langkahnya. Sangat wajar kalau Jiyong merasa luar biasa kesal sekarang. Pria itu sangat kesal hingga ia tidak sadar kalau beberapa orang tengah menatap kesal padanya. Jiyong berteriak di tengah-tengah perpustakaan, orang-orang tentu merasa terganggu karenanya. "Meski kau tidak mencintainya, kau benar-benar serius dengan ucapanmu sekarang?! Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padanya!" sebal Jiyong, tetap menunjukan emosinya, meski suaranya tidak lagi sekeras sebelumnya. "Pekerjaanmu lebih penting dari ini?! Bajingan sialan, kau benar-benar keterlaluan!" omel Jiyong, dengan bulir-bulir keringat di tubuhnya.
"Sudah bertahun-tahun aku melakukannya, sekarang giliranmu menjaganya, bukan begitu?" balas Toil. "Aku sedang memberimu kesempatan sekarang, kalau kau tidak mau melakukannya, pulang saja. Atau kembali ke Paris, seperti yang kau katakan tadi pagi," susulnya kemudian, dengan nada bicaranya yang ketus.
"Bagaimana?! Bagaimana aku bisa menjaganya?! Aku bahkan tidak tahu dia ada dimana!" Jiyong jadi luar biasa marah sekarang. Pada Toil, terlebih pada dirinya sendiri. Ia sudah terlalu lama pergi, hingga saat ini ia tidak tahu apapun tentang gadis yang sangat disukainya itu. Selain kamar tidurnya, Jiyong tidak tahu kemana Lisa biasa pergi. Selain melihat punggung gadis itu menghilang di ujung tangga, Jiyong tidak tahu apapun tentangnya. Ironis sekali.
"Dimana kau sekarang?"
"Perpustakaan."
"Section mana?" tanya Toil dan Jiyong menoleh, melihat dimana ia berdiri sekarang.
Jiyong ada di antara rak-rak novel juga buku-buku sastra. Section bacaan yang menurutnya akan Lisa kunjungi. Namun Toil mengatakan kalau Lisa tidak akan ada di sana. "Kenapa tidak sekalian mencari ke rak buku komik? Kau pikir dia ada di sana untuk mencari hiburan?" cibir Toil. "Pergilah ke rak buku-buku hukum, dia mungkin ada di sana," suruhnya kemudian, lantas berpesan agar Jiyong segera mengirim foto Lisa kalau ia menemukannya.
"Kenapa kau tidak bilang daritadi?!" sebal Jiyong, tentu sembari bergegas pergi ke deretan rak yang Toil katakan.
"Karena kau perlu kelihatan berusaha agar tidak ditolak," santai Toil. "Cepat temukan dia, jadi aku bisa pergi," susulnya kemudian.
Lisa ada di sana. Duduk diam dengan tangan yang bergerak cepat. Gadis itu sedang menulis ketika Jiyong menemukan punggungnya. Di atas selembar kertas, Lisa menulis beberapa paragraf panjang. Punggungnya berkeringat, meski perpustakaan hari ini tidak seberapa panas. "Aku menemukannya," kata Jiyong kemudian, memberi tanda kalau Toil sudah bisa pergi dengan tenang sekarang.
Lepas panggilan itu berakhir, Jiyong mengatur nafasnya. Ia tenangkan dirinya yang terengah-engah. Memberanikan dirinya untuk kemudian duduk di sebelah Lisa. Handphone gadis itu menyala, menunjukan sebuah pesan yang baru saja masuk dari Toil. "Jangan sedih. Tenangkan dirimu, kita bicara besok," begitu yang Toil tulis dalam pesannya, membuat Jiyong hampir berdecak karenanya—siapa yang tidak akan bersedih jika berada di posisi Lisa? Toil benar-benar keterlaluan, dalam posisinya sekarang, wajar saja kalau Lisa bersedih, dia boleh bersedih, begitu yang Jiyong pikirkan.
Pria itu kemudian berdeham, menunjukan kehadirannya pada Lisa. Ia menoleh, melirik untuk melihat siapa yang duduk di sebelahnya. Tapi setelah Lisa tahu kalau Jiyong yang ada di sana, gadis itu mengabaikannya. "Aku minta maaf," bisik Jiyong, namun Lisa hanya menunjuk tanda dilarang berisik yang ada di dinding dengan penanya. Ia suruh Jiyong untuk diam.
Tanpa banyak memprotes, Jiyong melakukannya. Tiga jam pria itu duduk di sebelah Lisa. Tidak mengatakan apapun, bahkan hampir tidak bergerak. Berusaha untuk tidak mengganggu gadis yang sedang membolak-balik buku bacaannya. Sampai akhirnya Lisa menutup buku itu kemudian mengembalikannya ke rak, melangkah keluar saat langit sudah gelap dan membiarkan Jiyong mengekorinya.
Lisa terus berjalan, meski jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Jiyong tidak tahu kalau perpustakaan di sana buka sampai tengah malam. Pria itu terus mengekor, ikut berjalan di belakang Lisa, menatap punggungnya. Sedari dulu orang-orang tahu kalau Jiyong memang pendiam, tapi ini kali pertama pria itu benar-benar diam, selama berjam-jam. Ia bahkan tidak menyentuh handphonenya. Mengabaikan semua getar benda dalam sakunya itu.
Terlalu larut dalam langkahnya, larut dalam pemandangan punggung gadis di depannya, Jiyong sampai tidak sadar kalau Lisa berhenti berjalan. Pria itu menabraknya. Membuat Lisa hampir jatuh ke depan, tapi beruntung refleks Jiyong cukup cepat untuk menahannya. "Maaf," ucapnya, setelah ia memastikan Lisa tidak jatuh, tidak terluka.
"Sampai kapan kau akan mengikutiku?" tanya Lisa, menatap tajam pada pria di depannya.
"Melihat punggungmu benar-benar tidak menyenangkan," balas Jiyong. "Karena itu, aku minta maaf, karena terus memperlihatkan punggungku padamu. Hari ini, aku berusaha mencarimu. Tapi aku tidak bisa menemukanmu. Aku pergi ke taman tempat kita bertiga dulu bermain, ke rumah pohon tempatmu dulu sembunyi, aku datangi semua cafe dan restoran di dekat rumah. Aku pergi ke makam orangtuamu juga, lalu ke kantormu, aku pergi ke semua tempat tapi kau tidak ada di sana. Aku tidak bisa menemukanmu. Sekarang aku tidak tahu apa-apa tentangmu, karena itu aku sedih. Ah... Aku sudah pergi terlalu lama, aku sudah meninggalkanmu terlalu lama, sampai aku tidak bisa mengenalimu lagi. Hari ini aku baru menyadarinya, maaf," katanya kemudian.
"Bahkan saat Toil bilang kau mungkin ada di perpustakaan, aku tidak bisa menemukanmu. Ironis sekali, aku bilang aku menyukaimu, aku bilang aku ingin kembali, aku bahkan membenci Toil karena caranya memperlakukanmu, aku bilang Toil tidak pantas untukmu, tapi ternyata, selama ini aku yang tidak pantas untukmu. Toil yang selalu ada di sisimu, tapi dengan tidak tahu malu, setiap malam aku berharap agar kalian berpisah. Hari ini aku baru menyadarinya, sekali lagi aku minta maaf, Lisa," ucapnya, lagi.
"Okay," Lisa mengangguk sekarang. "Kalau kau sudah menyadarinya, baiklah," susul gadis itu, lantas berbalik, kembali melangkah meninggalkan Jiyong.
Kali ini Jiyong tidak mengikutinya. Merasa kalau Lisa sedang menyuruhnya berhenti. Menyuruhnya untuk pergi, tidak lagi mengikutinya, tidak lagi hadir dalam hidupnya. Pria itu tetap diam di sana, memandangi punggung Lisa yang pergi menjauh. Lisa memintanya untuk berhenti mengekor, jadi Jiyong diam saja.
"Ya! Aku akan menunggu di sana! Bawa mobilmu ke sini!" suruh Lisa kemudian, terpaksa harus berteriak karena Jiyong berada jauh di belakangnya. Gadis itu menunjuk sebuah halte, tidak jauh dari mereka, mengatakan kalau ia akan menunggu Jiyong di sana.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...