30

187 51 2
                                    

***

Seolah bertengkar dengan Jiyong saja tidak cukup untuk merusak akhir pekannya, di hari yang sama Lisa menerima sebuah telepon dari ibu pria itu. Ibunya Jiyong, meminta Lisa untuk datang menemuinya. Mereka membuat janji untuk bertemu di jam sebelas siang. Bertemu di sebuah restoran, akan bicara sembari makan siang bersama.

Karenanya, sekarang Lisa melangkah turun dari kamarnya. Di ruang tamu, ia melihat Toil dengan rokok dan kopi favoritnya. Tengah menonton film akhir pekan yang sudah berulang kali diputar di TV. "Aku akan pergi makan siang di luar," pamit Lisa, melangkah keluar dengan celana pendek juga kausnya. Ia bawa kunci mobilnya, topi serta handphonenya, sementara Toil hanya mengangguk, berlaga peduli.

Sedang di dapur, pria yang tengah mencoba menunjukan rasa bersalahnya, pria yang tengah berniat meminta maaf dengan memasakan makan siang favorit Lisa, langsung meletakan pisaunya. Di sofa Toil menghela nafasnya, karena suara pisau yang dibanting ke papan pemotongnya. Pria itu meninggikan volume TV-nya, enggan untuk mendengar gerak kasar dari pria di dapur. Pria yang baru saja gagal membuatkan Lisa makan siang.

"Sudah aku bilang tidak usah memasak, bilang saja kalau kau minta maaf, effort jadi tidak berguna kalau terlambat," gumam Toil, tidak berencana mencibir, meski akhirnya ocehannya terdengar seperti itu.

Lisa pergi dengan mobilnya. Mengemudi selama beberapa menit sampai akhirnya ia tiba di restoran tujuannya. Begitu masuk, pelayan memberitahunya kalau Nyonya Kwon sudah menunggunya di ruang VIP. Lisa di antar ke ruangan itu, di persilahkan masuk dan langsung bertemu dengan wanita yang mengundangnya datang.

"Maaf, Bibi," kata Lisa kemudian. "Rumahku berantakan sekali, Toil baru saja mengundang teman-temannya semalam, jadi aku tidak bisa menjamumu di rumah," susulnya sebelum ia bergerak duduk. Lisa sengaja berbohong, sebab ada Jiyong di rumahnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi sampai Jiyong diusir dari rumahnya, namun merasa perlu merahasiakan keberadaan pria itu.

Mereka berbincang sembari makan. Nyonya Kwon bertanya bagaimana Lisa hidup akhir-akhir ini, bertanya apa Lisa kesusahan belakangan ini. Ia pastikan, putri temannya itu baik-baik saja, sebelum ia lemparkan bom mematikan ke arahnya. Kira-kira tiga puluh menit, Lisa bisa menikmati makan siangnya. Ia suka makanan yang Nyonya Kwon pesan, ia juga suka minuman dan berbincang dengan wanita paruh baya itu cukup menghibur, cukup membantunya untuk mengurangi emosinya pagi tadi.

"Jiyong benar-benar kekanakan," kata wanita itu, membicarakan putranya sendiri. "Dia berjanji padaku kalau dia akan pergi ke kantor. Dia akan bekerja di agensi ayahnya. Aku sudah membelikannya mobil, pakaian, semua yang dia butuhkan. Tapi kau tahu apa yang dilakukannya? Dia justru bersembunyi di kamar rawat Toil, sepanjang hari, benar-benar keterlaluan, aku tidak tahu bagaimana otaknya itu bekerja," keluh Nyonya Kwon, membuat Lisa sedikit terkekeh karenanya. Selama beberapa bulan tinggal di rumahnya, Jiyong memang terlihat kekanakan.

"Dia terus menempel pada Toil, seperti adik kecil yang tidak mau berpisah dari kakaknya," balas Lisa, mengingat bagaimana kesalnya Toil karena diganggu Jiyong.

Lisa pikir mereka akan membicarakan lebih banyak hal menyenangkan lainnya. Lisa suka setiap kali diajak bernostalgia, mengingat lagi masa-masa paling bahagia dalam hidupnya. Tapi sayang, Nyonya Kwon justru melakukan sesuatu yang tidak pernah Lisa bayangkan sebelumnya. Sial, alih-alih diajak bernostalgia ke kenangan-kenangan indah, Nyonya Kwon justru mengingatkannya pada semua mimpi buruk yang Lisa benci.

Kini senyum gadis itu lenyap. "Tidak apa-apa, Bibi, aku mengerti," katanya, dan setelah mengatakan omong kosong itu, Lisa langkahan kakinya pergi dari sana.

Lalu, kira-kira pukul dua, Lisa mendorong sebuah pintu kaca di depannya. Lonceng di atas pintu itu berbunyi. Seorang barista di balik meja kasir menyapanya. Lisa tersenyum menjawab sapaan itu, lalu bertanya kemana pemilik cafe itu pergi.

"Dahee eonni ada di atas, mau aku panggilkan?" tanyanya, namun Lisa menolak. Ia katakan kalau dirinya akan naik sendiri ke atas— atap bangunan itu, tempat Dahee biasanya bersantai sembari merawat kebun kecilnya.

Lisa naik ke atap bangunan itu. Berjalan menghampiri Dahee di sudut, lantas memeluknya. Dahee sedikit terkejut, hampir berteriak karena berpikir ada orang asing yang menyergapnya. "Lisa-ya! Kau membuatku kaget!" seru Dahee, meski tetap membalas pelukannya. "Pekerjaanmu sibuk? Kenapa baru mampir sekarang?" susulnya kemudian, memprotes Lisa yang sudah beberapa minggu tidak mengunjunginya.

"Maaf, eonni," balas Lisa, seadanya tanpa punya alasan untuk mendukung permintaan maafnya.

"Kau datang sendiri? Mana Toil?" tanya Dahee, setelah Lisa melepaskan pelukannya, lalu duduk di tepian atap bangunan itu. Sesekali Dahee pun suka duduk di sana, namun kini gadis itu merasakan sesuatu yang berbeda.

Dahee bergerak mendekat, berdiri tepat di depan Lisa, memperhatikan gadis yang ia pastikan ada dalam jangkauannya. Lisa datang dengan kaus yang basah karena keringat. Rambutnya pun basah berkeringat, namun nafas gadis itu beraturan. Ia tidak terengah-engah, tidak seperti seorang yang baru saja jogging.

"Toil ada di rumah, sakit kepala setelah mabuk-mabukan," balas Lisa. "Sepertinya dia lupa, kalau kepalanya baru saja bocor dan dia hampir mati," katanya. "Tapi... Kalau jadi Toil, aku juga tidak akan tahan. Hidup dengan seorang pasien sakit jiwa bertahun-tahun, dia pasti akan ikut gila kalau tidak minum-minum, iya kan?"

"Lisa-ya, ada apa? Kau bertengkar dengan Toil?" tanya Dahee, tidak bisa membaca air wajah lawan bicaranya. Segala perasaan tergambar di sana, bercampur aduk hingga Dahee tidak mampu memutuskan mana yang dominan. Ketika orangtuanya meninggal, raut wajah Lisa pun sama seperti ini.

"Tidak," geleng gadis itu. "Toil satu-satunya keluargaku, untuk apa aku bertengkar dengannya?" kata Lisa, tetap datar seperti ketika ia datang tadi. "Aku tidak punya siapa-siapa kalau dia meninggalkanku juga. Aku tidak boleh bertengkar dengannya," susul Lisa, membuat Dahee jadi semakin khawatir.

"Lalu? Kenapa kau kelihatan sedih? Sesuatu yang buruk baru saja terjadi?" tanya Dahee, berhati-hati sebab Lisa terlihat sangat mengkhawatirkan sekarang. Toil memberitahunya, kalau saat kuliah dulu, Lisa beberapa kali hampir membunuh dirinya sendiri. "Kenapa kau berkeringat? Kau demam?" tanya Dahee sekali lagi, berharap ia bisa menghubungi seseorang sekarang. Berharap ada orang lain di sana.

Lisa mengangkat bahunya. Tidak memberitahu Dahee apa yang baru saja ia dengar dari Nyonya Kwon. Semakin membuat Dahee khawatir, Lisa justru menoleh ke belakang. Melihat ke bawah, seolah tengah penasaran bagaimana jadinya kalau dirinya jatuh dari tempatnya duduk sekarang.

"Ayo masuk saja," Dahee berlaga tidak mengkhawatirkannya. " Aku baru saja membeli biji kopi baru, kau harus mencobanya. Kita bisa mengobrol sambil minum kopi," ajak wanita itu, berharap Lisa tidak menyadari rencananya. Tidak menyadari kekhawatirannya juga.

"Beberapa orang penasaran," Lisa mengabaikan ajakan Dahee. "Kenapa aku bertahan dengan pria kasar seperti Toil. Bahkan Jiyong mengasihaniku. Kenapa kau tetap tinggal dengan pria seperti Toil? Dia kasar, dia bahkan memukulmu. Terakhir kali, Toil bahkan menjambak rambutku di kolam renang, kasar sekali. Tapi eonni... Aku rasa aku tidak bisa hidup tanpanya. Orang-orang membuatku takut, kecuali Toil," akunya.

"Aku tahu," Dahee mencoba menyetujui perasaan Lisa, mencoba untuk memvalidasi ucapan gadis itu. "Meski kasar, aku tahu Toil orang baik. Dia hanya nakal, bukan orang jahat, aku tahu itu. Ayolah, kita bicara sambil minum kopi saja," ajak Dahee sekali lagi.

"Tapi eonni... Bahkan Toil membuatku takut sekarang," kini air matanya jatuh. Setelah sedari tadi ia tidak bisa mengeluarkan bulir menyakitkan itu. Sekarang, Lisa menangis, tersedu hingga pegangannya tanpa sengaja tergelincir, jatuh bersama air matanya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang