9

254 56 2
                                    

***

Kepergian Toil membuat suasana jadi sangat canggung di sana. Sebelum benar-benar pergi, Ahn Toil mematung di pintu. "Aku bisa meninggalkan mereka kan?" ragunya, berfikir untuk kembali duduk tapi tetap memutuskan untuk pergi. "Anggap saja memberi mereka waktu untuk bicara," pelannya, menatap pada punggung Lisa yang hanya menyesap minumannya.

Jiyong menyukai Lisa, sangat menyukainya hingga pria itu memutuskan untuk jadi designer seperti mimpi Lisa— Ahn Toil menyadarinya sesaat setelah memukul Jiyong tadi. Saat ia lihat buku gambar yang persis seperti milik Lisa dulu, ketika gadis itu bersiap untuk masuk ke sekolah fashion. Sekarang Toil memang ragu, apakah perasaan Jiyong itu masih sama, atau sudah berubah setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Hampir sepuluh tahun, sejak Jiyong tiba-tiba menghilang. Perasaan pria itu mungkin sudah berubah sekarang.

"Meskipun sekarang sudah berubah, setidaknya mereka punya kesempatan untuk menyelesaikan kesalahpahaman," gumam Toil, meyakinkan dirinya sendiri kalau meninggalkan Lisa dan Jiyong berdua adalah pilihan yang tepat.

Sementara itu, di cafe suasananya berubah canggung setelah Toil melangkah pergi. Lisa memegangi kopinya, menyesap es kopi itu sembari memandangi tiramisu cake di atas meja. Sedang Jiyong masih menunduk, memandangi kunci mobil Lisa di atas meja. Lisa sudah pernah membayangkan ratusan skenario pertemuan mereka. Ia sudah membuat berbagai rencana saat bertemu dengan Jiyong— memukulnya, memeluknya, memarahinya, banyak sekali rencananya tapi tidak satupun bisa ia lakukan sekarang.

Bahkan pertanyaan, "kemana saja kau selama ini?" tidak bisa Lisa lontarkan sekarang.

Lama mereka diam, lalu Jiyong membuka pembicaraannya lebih dulu. "Dimana mobilmu?" tanya pria itu, sembari mengulurkan kunci mobil Lisa. Hanya memberi tanda kalau ia ingin mengecek mobil gadis itu.

"Tempat parkir supermarket tadi," kata Lisa, masih sembari memegangi gelasnya, meminum kopi yang sekarang hampir habis.

"Kita ke sana sekarang?" Jiyong kembali bertanya, merasa kalau Lisa tidak ingin bicara dengannya sekarang. Merasa kalau Lisa tidak lagi bisa menerimanya, bahkan sebagai teman sekali pun. Berbagai skenario terburuk dalam hubungan mereka, berkembang di kepala Jiyong sekarang.

Lisa membencinya. Lisa sangat membencinya. Gadis itu terus melemparkan tatapan kebencian padanya. Lisa tidak membutuhkannya. Lisa hanya butuh Toil. Hanya Toil yang selalu berada di sisinya. Meninggalkan gadis itu, tidak lama setelah kematian orangtuanya, benar-benar jadi sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Kesalahannya tidak akan pernah Lisa maafkan— Jiyong terus mengatakan itu dalam kepalanya. Dan tatapan Lisa sekarang, terlihat seolah gadis itu sedang mengiyakan segalanya.

"Aku belum menghabiskan makananku," kata Lisa, kali ini sembari menunjuk pesanannya yang masih ada di meja, dengan gerak dagunya.

"Ah... Baik-"

"Kalau kau harus pergi, pergilah," potong Lisa. Seolah sedang mengisyaratkan hal lainnya.

Sekarang Jiyong membisu. Tidak lagi bisa ia keluarkan suaranya. Tenggorokannya tercekat, menahan semua kalimatnya di sana. Kepalanya sibuk menimbang-nimbang. Haruskah ia menyinggung lebih dulu pernikahan itu? Atau menunggu Lisa yang memberitahunya? Haruskah ia berpura-pura tidak mengetahuinya? Atau langsung memberi gadis itu selamat? Berkata kalau ia ikut senang, meski nyatanya tidak begitu.

"Maaf," akhirnya, hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutnya.

"Ya," dengan cepat Lisa menjawabnya. Kali ini minumannya habis, lalu ia raih gelas Toil, masih ada tiga per empat kopi dingin di sana. Lisa gugup, sangat gugup hingga ia tidak bisa berhenti minum.

Gadis itu memotong tiramisunya sekarang. Memakannya sepotong demi sepotong, sedang pria di depannya hanya bisa duduk dengan canggung. Begitu kaku, kelihatan sangat tidak nyaman, seolah tengah dihukum. Seolah tengah duduk bersama seseorang yang menakutkan baginya. Apa yang akan dilakukan manusia normal dalam situasi begini?— Jiyong mengira-ngira, namun jawaban pertama yang muncul di kepalanya hanyalah pergi. Ia harus segera pergi dari sana. Ia harus pergi sebelum jantungnya meledak.

Sampai akhirnya, karena tidak ada lagi obrolan di sana, karena Lisa hanya memakan tiramisunya tanpa bicara. Juga karena Jiyong semakin sesak, pria itu akhirnya mengulurkan kembali kunci mobil Lisa. "Maaf," ucapnya. "Aku harus menemui seseorang hari ini. Aku harus pergi," katanya, asal membuat alasan.

Lisa tidak melarangnya. Gadis itu berikan reaksi yang berbeda untuknya. Ia meraih lengan Toil, melarangnya pergi. Tapi ketika gilirannya, Lisa mengangguk, mengatakan kalau Jiyong bisa pergi. Meski tidak seberapa senang, lagi-lagi Jiyong harus sadar diri.

Tiga puluh menit setelah Jiyong pergi, Lisa masih di sana. Tiga puluh menit setelahnya, Lisa pun masih duduk di sana. Total hampir dua jam Lisa duduk di sana, menatap pada tempat kosong yang Jiyong tinggalkan. Ia tidak menunjukan ekspresi apapun selama duduk di sana, bak seorang yang sudah mati rasa.

"Aku masih di cafe tadi, jemput aku setelah urusanmu selesai, tengah malam pun tidak masalah," tulis Lisa, dalam pesan yang akhirnya ia kirim pada Toil.

Bulan sudah bersinar saat Toil akhirnya datang. Tanpa mengatakan apapun pria itu berjalan menghampiri Lisa, menyenggol bahunya lalu memberi isyarat agar mereka pergi. Lisa menoleh, mendongakan kepalanya, menatap pada Toil di sebelahnya.

"Aku ingin menangis, tapi tidak bisa," kata Lisa, langsung memberitahu pria itu bagaimana perasaannya.

"Apa yang Jiyong katakan? Kenapa dia pergi?" tanyanya kemudian, mengambil tempat untuk duduk di depan Lisa.

"Tidak tahu, aku tidak bertanya," gelengnya kemudian.

"Kenapa kau tidak bertanya?!" seru Toil, dengan jelas menunjukan keheranannya. "Ya! Kau harus bertanya padanya! Sampai kapan kau akan terus begini?! Kau juga harus berkencan, menikah sungguhan, sampai kapan kau akan terus terikat padanya?!" sebal Toil. "Aku tidak keberatan kalau kau tidak ingin menikah karena kau memang tidak ingin melakukannya, tapi kalau orang itu alasanmu tidak mau menikah, aku tidak setuju. Augh! Bagaimana bisa dia menghancurkan seorang perempuan sampai begini? Bajingan, harusnya aku pukul dia lebih keras lagi! Lalu dimana dia sekarang?" gerutu Toil.

"Tidak tahu," lagi-lagi Lisa menggeleng. "Dia bilang ada janji, jadi dia pergi," susulnya.

"Kau membiarkannya pergi? Tanpa bertanya apapun?"

"Hm... Aku tidak punya alasan untuk menahannya," kali ini Lisa mengangguk.

"Harusnya kau bertanya— kenapa kau pergi setelah meniduriku? Apa malam itu aku melakukan kesalahan? Kau sudah membuat malam itu jadi mimpi buruk untukku— harusnya kau bilang begitu," gerutu Toil, terdengar sangat mudah karena kejadian waktu itu bukan pengalamannya sendiri.

"Setelah aku bertanya, lalu apa?" balas Lisa. "Sudah lah... Belum tentu kita akan bertemu lagi dengannya-"

"Kau tidak menanyakan nomor teleponnya juga?" potong Toil. "Augh! Gadis bodoh! Kau mau menunggu sepuluh tahun untuk melihatnya lagi?!" kesalnya kemudian.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang