17

232 49 2
                                    

***

"Sebenarnya tadi siang Toil sudah memberitahuku kalau kau yang memperbaiki mobilku," kata Lisa, setelah ia persilahkan temannya untuk masuk ke rumah. "Dia juga sudah memberiku nomor teleponmu, tapi hari ini pekerjaan di kantor sibuk sekali, aku sampai lupa meneleponmu. Aku baru ingat untuk menghubungimu saat pulang tadi," ceritanya.

"Toil belum pulang?" tanya Jiyong, sebab rasa gugup membuatnya tidak bisa menanyakan hal lainnya. Ia butuh orang ketiga di sana, sebab rasanya, hanya berdua dengan Lisa di rumah sebesar itu tidak lah mudah. Rasanya berbahaya, hanya berdua di sana.

"Dia tidak pulang malam ini," santai Lisa. "Kalau kau tidak membawa barang-barangmu, kau bisa meminjam punya Toil," katanya kemudian.

"Kenapa?"

"Apa?" balas Lisa. "Ah... Kenapa Toil tidak pulang? Dia bilang, dia akan rekaman malam ini."

"Kalau begitu aku akan kembali ke hotel, sekarang sudah malam," kata Jiyong, tidak dapat menyembunyikan rasa gugupnya dengan sempurna.

Lisa tidak melarangnya pergi. Ia terima kunci mobilnya dari Jiyong, lalu menemani pria itu di depan rumahnya, menunggu taksi yang Jiyong pesan. Lisa sudah meminta Jiyong untuk menunggu di dalam, tapi pria itu bersikeras. Kini keduanya berdiri di depan gerbang, bersebelahan di bawah lampu gerbang itu.

Menit-menit pertama keduanya diam. Tidak satupun membuka pembicaraan, larut dalam perasaan masing-masing. "Aku meletakan laptopmu di meja makan," Jiyong berkata, berterimakasih atas laptop yang Lisa pinjamkan.

"Ya, sama-sama," gadis itu mengangguk lalu kembali diam. Sekali lagi, mereka membisu. "Aku tidak keberatan kalau kau mau menginap di sini," Lisa kembali membuka mulutnya, setelah lama mereka diam. "Toil bilang, kau boleh menginap, jadi aku tidak keberatan," susulnya.

"Aku lebih nyaman tinggal di hotel," pelan Jiyong. Berharap taksi yang ia pesan bisa segera datang. Ia tidak pernah punya masalah dengan menunggu, tapi kali ini pria itu merasa dirinya akan meledak—hanya karena Lisa menungguinya di depan rumah tadi. Hanya karena Lisa membuatnya membayangkan—bagaimana jadinya kalau dulu mereka benar-benar menikah? Apa Lisa juga menunggui Toil di depan rumah seperti tadi? Apa yang akan terjadi kalau dulu ia tidak melarikan diri?

"Taksinya datang... Aku harap kita bertiga punya kesempatan untuk makan bersama sebelum kau kembali ke Paris," Lisa kembali bicara, kali ini saat sebuah taksi melaju mendekati mereka. "Atau minum kopi, di cafe Dahee eonni," susulnya, bersamaan dengan taksi hitam yang berhenti di depan mereka.

Sejak malam itu, Jiyong pergi dan tidak lagi menghubungi dua teman masa kecilnya. Toil mengiriminya pesan, bertanya dimana Jiyong berada juga meminta nomor rekeningnya. Mengatakan kalau ia ingin mengganti biaya reparasi mobil Lisa. Namun tidak ada satupun balasan dari pria itu. Beberapa kali pria itu juga menelepon Jiyong, tapi Jiyong tidak pernah menjawab teleponnya.

"Dia tidak ingin bertemu lagi dengan kita," Lisa berkata begitu pada Toil. Meminta Ahn Toil untuk berhenti menghubungi Jiyong, berhenti mengganggu hidup pria itu. "Mungkin saja kita bukan kenangan indah baginya. Kita sering menjahilinya, kita bisa saja jadi trauma baginya. Dia hidup dengan baik sekarang, itu sudah cukup, jadi jangan mengganggunya lagi," bujuk Lisa, meski setiap malam, gadis itu menatap layar handphonenya, menunggu pesan atau panggilan dari Jiyong.

"Dia hidup dengan baik, lalu bagaimana denganmu? Apa kau hidup dengan baik?"

"Ada apa denganku? Aku hidup dengan baik," balas Lisa dengan bahu yang ia angkat, seolah tidak tahu kemana arah pembicaraan Toil.

"Ah? Kau hidup dengan baik? Kalau begitu, kau sudah bisa tidur denganku sekarang? Bukan sekedar tidur, bersetubuh? Tidak harus denganku, dengan pria yang kau suka pun tidak masalah, siapa itu? Choi Seunghyun? Atau Ahn Bohyun? Atau pria lain? Kau bisa melakukannya?" desak Toil, di rumah mereka sendiri. Di meja makan dengan menu makan malam masing-masing.

"Apa hidup dengan baik hanya bisa diukur dengan bersetubuh? Ada banyak hal lain yang bisa aku lakukan selain itu," debat Lisa, hampir terbiasa dengan pertanyaan Toil tadi.

"Tentu tidak hanya bersetubuh, tapi kau bukan diposisi tidak ingin bersetubuh, kau tidak bisa melakukannya, dan itu karena Jiyong," kata Toil. "Kau tidak pernah penasaran? Alasannya pergi setelah bersetubuh denganmu?" herannya kemudian.

"Mungkin karena aku tidak cukup memuaskan- tidak... Kenapa aku harus penasaran dengan alasannya?" kini Lisa meninggikan suaranya, menunjukan dengan jelas rasa kesalnya. Ia sudah cukup bersabar dengan mendengarkan semua ocehan Toil sepanjang makan malam mereka.

"Kalau kau tahu alasannya, kau bisa mengatasinya," Toil belum mau berhenti. "Kau tidak cukup memuaskannya, atau dia tidak menyukaimu, atau dia hanya ingin jadi orang pertama yang menyentuhmu, bukankah kau harus tahu alasannya? Dia pergi setelah kalian melakukannya dan tidak pernah kembali lagi, itu tidak adil, kau tidak merasa begitu? Tentu saja kau merasa begitu, kalau kau tidak keberatan ditinggal begitu saja, kau tidak akan trauma untuk melakukannya lagi," oceh Toil.

"Aku ingin tetap hidup seperti ini. Jangan menghubunginya, jangan membuatku terlihat lebih menyedihkan daripada ini," kali ini Lisa berdiri. Ia tutup kotak makannya, yang baru setengah habis, lalu meninggalkannya. Pergi ke kamar tidurnya tanpa menoleh lagi.

Toil menghela nafasnya. Tapi ia tidak bisa lagi menghubungi Jiyong, sebab Lisa yang memintanya begitu. Sembari menghabiskan makan malamnya, Toil mengingat Lisa yang malam itu meneleponnya. Saat itu hampir tengah malam, Jiyong sudah lama menghilang dan Lisa mengencani pria lain. Untuk melupakan Jiyong, Lisa mengencani pria lain. Awalnya semua berjalan lancar, kecuali rencana kuliahnya, juga kuliah Lisa. Ia yang harusnya pergi keluar negeri, membatalkan rencananya karena khawatir pada temannya yang sekarang sebatang kara.

Ia diterima di sebuah universitas negeri, tentu jurusan hukum. Sedang Lisa masih berusaha keras demi diterima ke sekolah fashion. Malam itu, Toil tengah berkutat dengan tugas-tugas kuliahnya. Mengerjakan banyak makalah di rumahnya, saat Lisa tiba-tiba meneleponnya. "Toil, tolong aku," katanya, sembari terisak.

Saat datang, situasinya sudah sangat kacau. Dengan bathrobe-nya, Lisa meringkuk di sudut kamar mandi. Mengunci dirinya di sana, sembari menangis. Ia hampir tidak bicara, ia hanya menangis dan terus menangis. "Kami berencana melakukannya, aku tidak pernah memaksanya, tapi tiba-tiba dia bersikap seolah aku akan memperkosanya! Gadis sinting! Aku benar-benar sial karena bertemu dengannya!" begitu pengakuan kekasihnya saat itu, dan Lisa tidak pernah membantahnya. Lalu sejak itu, Lisa tidak lagi mengencani seseorang.

Selanjutnya, Toil menikahi Lisa dan mereka pergi keluar negeri untuk belajar. Pergi jauh dari Bellis yang punya banyak kenangan. Meninggalkan kota yang saat itu membuat Lisa merasa luar biasa sesak, dimulai dari kematian orangtuanya, perebutan hak waris sampai kepergian Jiyong yang tiba-tiba. Semuanya terlalu berat untuk bisa Lisa hadapi, hingga gadis itu setuju untuk melarikan diri, keluar negeri.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang