***
Jiyong menghentikan mobil Toil di depan Lisa. Tepat di depannya agar gadis itu tidak perlu berjalan terlalu jauh. Lisa yang sebelumnya duduk di halte, sedang memijat kakinya sendiri, lantas bangkit. Ia hampiri mobil itu, berdiri tepat di sebelah pintu pengemudi, menyuruh Jiyong turun dari sana.
"Kenapa?" tanya Jiyong, namun tetap mematikan mobilnya dan turun dari sana.
Lisa merebut kunci mobilnya, lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi. Gadis itu mendongak, melihat pada Jiyong yang masih berdiri memperhatikannya. Ah Lisa ingin pulang sendiri—anggap Jiyong, disaat gadis itu mulai menyalakan mobilnya lagi.
"Kenapa tidak masuk? Kau tidak mau pulang? Cepat masuk, kita bisa ditilang kalau berhenti di sini," tanya Lisa, memberi tanda agar Jiyong segera masuk ke dalam mobil.
Seperti seekor anak anjing, Jiyong berlari kecil dengan ekor yang dikibas-kibaskan. Pria itu masuk ke dalam mobil, lalu duduk di sebelah Lisa. Masih memperhatikan gadis yang sekarang mengemudi, pergi dari sana. Lisa masih diam, tidak banyak bicara. Sedang Jiyong terus melirik, memperhatikannya.
"Toil tidak memberitahumu?" tanya Lisa kemudian, membuka pembicaraan di antara mereka. "Aku tidak bisa duduk di kursi penumpang. Aku takut duduk di sana," susulnya kemudian.
"Kenapa?"
"Orangtuaku meninggal saat duduk di sana," jawab Lisa, seolah itu bukan masalah besar baginya. Seolah ia tidak pernah hancur karena kejadian itu.
"Karena itu kau berjalan seharian ini? Naik bus juga tidak bisa? Bagaimana dengan kereta?" tanya Jiyong, ingin tahu. Seketika pria itu tersadar—harusnya aku menyadari ini lebih cepat. Seharusnya, aku bertanya lebih awal.
"Entahlah, aku tidak pernah mencobanya."
"Kau tidak pernah naik bus? Naik kereta juga tidak pernah?" Jiyong bertanya sekali lagi, lantas Lisa menggelengkan kepalanya. Terakhir kali Lisa naik kereta, mungkin saat usianya masih belasan tahun, di taman bermain. Kereta yang berkeliling di kebun binatang, di taman bermain. Kereta dengan roda karet yang didekorasi warna warni.
"Kau pernah menaikinya?" Lisa balas bertanya, sebab ia maupun Toil tidak pernah punya alasan untuk berpergian dengan bus dan kereta. Mereka selalu punya mobil, lalu meski tidak ada mobil, Toil selalu bisa naik taksi.
"Tentu- tidak, maksudku ya... Aku pernah naik bus, naik kereta juga," jawab Jiyong. Mencoba agar dirinya tidak terdengar menyebalkan.
Tidak ada niat dalam hatinya untuk memamerkan pengalamannya itu. Bukan hanya naik bus atau kereta, Jiyong bahkan pernah bekerja jadi pelayan, di Paris. Sudah banyak yang pria itu lakukan, semua yang Lisa takuti kalau ia tidak menikah dengan Toil—jatuh miskin— Jiyong sudah melakukannya.
"Bagaimana rasanya?"
"Hanya... Tidak ada rasanya. Berdesakan saat jam sibuk, tapi cukup nyaman di jam-jam sepi. Tidak perlu khawatir mencari tempat parkir, tidak perlu membayar tol, tidak perlu membeli bensin juga. Tidak buruk," kata Jiyong, mencoba memberi deskripsi yang bisa Lisa bayangkan.
Lisa mengangguk untuk menanggapinya. Memberi tanda kalau ia mengerti jawaban Jiyong. Tapi setelahnya, kedua orang itu kembali diam. Kesunyian kembali menyelimuti mereka. Lisa terus mengemudi, sementara Jiyong duduk di sebelahnya, memandanginya.
Mobil terus melaju, sampai mereka tiba di rumah yang malam ini terasa ramai. Ada tiga mobil lain di sana, mobil yang tidak Jiyong kenal namun bukan hal baru bagi Lisa. Tanpa mengatakan apapun, Lisa membawa kunci mobil itu masuk ke dalam rumah. Di dapur, dua pria berdiri, Jiyong tidak pernah melihat mereka sebelumnya, pria itu sedikit terkejut tapi Lisa sama sekali tidak terganggu.
"Oh, noona sudah pulang? Selamat malam," sapa seorang dari tamu di dapur.
Lisa menatap mereka, menundukan kepalanya sembari tersenyum, menyapa dua tamu yang sedang memasak mie instan itu. Sekali lagi, Jiyong baru menyadarinya, kalau Lisa memang tidak terlalu ramah pada teman-teman Toil. Selama beberapa minggu ia tinggal, Lisa memang memperlakukannya seperti ia memperlakukan teman-teman Toil.
"Lisa sudah pulang?" kali ini suara seorang gadis yang muncul ke permukaan. Dari arah kamar tamu, seorang dengan pakaian super seksi keluar— bikini merah yang sangat kontras dengan kulit putihnya. "Lisa-ya! Aku mau menginap!" seru gadis itu, bicara pada Lisa yang sudah berdiri di tangga. Tanpa menoleh, Lisa mengacungkan ibu jarinya, menyetujui permintaan gadis itu. "Tapi sepertinya seseorang sudah memakai kamar yang biasa aku pakai, siapa- oh! Kwon Jiyong?!" gadis itu terkejut, buru-buru memakai tangannya untuk menutupi bagian pribadinya.
Jiyong merasa baru saja masuk ke rumah yang salah. Tidak pernah ia lihat rumah Toil dan Lisa jadi seramai sekarang. Biasanya, hanya ia yang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu Lisa turun dari kamarnya atau menunggu Toil pulang.
Sekarang, gadis dengan bikini tadi menghilang, masuk ke dalam kamar tamu, seolah bersembunyi. "Halo," dua tamu di dapur menyapa Jiyong, lantas bertanya siapa yang Jiyong cari di sana—Lisa atau Toil.
"Dua-duanya," balas Jiyong, sedikit canggung. "Tapi... Ada apa di sini?" tanyanya, dengan jelas menunjukan kebingungannya. Tadi siang Lisa hampir jatuh dari atap, dan sekarang rumah mereka jadi luar biasa ramai. Tiba-tiba ada banyak tamu di sana, para tamu yang bertingkah seperti di rumah mereka sendiri.
"Ada beberapa musik yang perlu kami rekam di sini, tapi karena Lisa noona sakit, jadi kami akan merekam di sini," kata seorang tamu yang masih memasak mie instannya, sepanci besar. Mungkin ada lima atau enam bungkus mie instan di dalam panci itu.
Jiyong mengangguk untuk mengiyakannya. Lalu setelahnya, gadis dengan bikin tadi kembali keluar. Kali ini gadis itu memakai pakaian lengkapnya, kaus dengan celana jeans. "Ya! Kwon Jiyong! Bagaimana kau bisa ada di sini?!" seru gadis yang terkejut tadi.
"Aku menginap di sini," kata Jiyong, menunjuk kamar yang ia pakai dengan dagunya.
Mata Jisoo membulat sempurna sekarang. Sementara Toil melangkah turun dari lantai dua, sama seperti biasanya, pria itu turun dengan celana jeans dan kausnya. "Kau tidak jadi berenang? Song Mino sudah menunggumu di kolam," tegur Toil, bicara pada satu-satunya perempuan di sana.
Toil turun untuk menghampiri Jiyong. "Bicara denganku sebentar," pinta Toil kemudian, mengajak Jiyong untuk pergi ke kamar tamu bersamanya.
"Ada dengan semua tamu ini?" tanya Jiyong, setelah akhirnya ia bisa dapat penjelasan atas semua keramaian di sana.
Dengan sadar, Toil sengaja membawa semua orang itu datang. Lisa tidak terganggu dengan keramaian, ia punya dunianya sendiri di kamar. Tapi gadis itu tidak akan melakukan sesuatu yang nekat kalau ada banyak orang di sekitarnya. Jika tahu ada banyak orang di sekitarnya, Lisa tidak akan merasa terlalu kesepian.
"Lisa mengenal semua orang itu?" tanya Jiyong dan Toil menggeleng. Lisa hanya tahu wajah teman-temannya, tapi tidak pernah benar-benar bergaul dengan mereka. Sesekali gadis itu mengobrol dengan teman-teman suaminya, tapi tidak pernah benar-benar berteman dengan mereka.
"Sesekali naik lah ke kamarnya untuk melihat keadaannya. Dia tidak akan senang melihatku malam ini."
"Dia juga tidak akan senang melihatku," balas Jiyong, mengomentari perintah yang Toil berikan.
"Setidaknya kau masih lebih sabar menghadapi makiannya daripada aku," santai Toil. "Lakukan saja, siapa tahu dia mengizinkanmu tidur dengannya malam ini," susul pria itu kemudian. "Ah! Gadis di ruang tamu itu, dia sudah punya pacar, jangan menggodanya," pesan Toil, sebelum kakinya melangkah keluar dari kamar Jiyong.
"Kekasihmu juga ada di sini?"
"Tidak. Kami putus semalam, karenamu," jawab Toil, tetap santai seperti nada bicaranya yang sebelumnya.
"Putus? Sebenarnya berapa kekasihmu? Kenapa kau terus putus dan tiba-tiba punya pacar lagi?" heran Jiyong kemudian.
"Uhm... Malam ini aku tidak punya pacar, tapi aku punya seorang istri. Bagaimana denganmu? Kau punya pacar? Tidak kan? Kasihan."
Tidak. Jiyong tidak akan pernah bisa memahami alur emosi di rumah ini. Bak roller coaster, suasana di rumah ini bergerak terlalu cepat. Jiyong tidak bisa mengikutinya. Kerja otaknya tidak bisa mengikuti cepatnya perubahan di rumah ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...