25

215 50 3
                                    

***

"Bisa aku meneleponmu? Aku sedih," Toil membaca pesan yang Lisa kirim malam ini. Ia baru saja bersiap untuk tidur, setelah beberapa menit menunggu penjelasan dari pria babak belur di depannya. Jam sudah menunjuk pukul sebelas sekarang, lantas membaca pesan itu membuat Toil bangkit dari ranjangnya.

"Kemana kau akan pergi?" panggil Jiyong, keheranan melihat Toil menarik tiang penyangga infusnya keluar dari kamar rawatnya.

Toil tidak menjawabnya, meski Jiyong mengekor, juga ikut campur dalam urusannya, Toil tetap bersikeras untuk pulang ke rumah. Pria itu berteriak, membentak Jiyong yang menyuruhnya bersabar. Toil bisa pulang besok siang, setelah sekali lagi dokter memastikan ia baik-baik saja. Hanya perlu beberapa jam, tapi pria itu tidak mau menunggu. Ia bersikeras untuk pulang malam ini juga.

Pria itu akhirnya pulang. Setelah membuat dokter yang harusnya bekerja besok pagi, jadi datang tengah malam. Setelah membuat banyak keributan, di tengah malam, Toil bergegas untuk pergi. Ingin ia pergi dengan taksi, namun karena ada Jiyong di sana, ia meminta pria itu mengantarnya pulang.

"Pergi lah, jangan masuk, aku akan menghubungimu besok," suruh Toil, di saat mobil temannya itu berhenti di depan gerbang.

"Apa yang terjadi?" tahan Jiyong, tentu kini dirinya merasa khawatir. Toil bersikeras untuk pulang, ia tidak bisa menunggu sampai besok, berarti sesuatu terjadi pada Lisa. Jiyong ingin tahu apa yang terjadi pada gadis itu, setelah sore tadi Lisa menolak permintaannya. "Tidak ada yang terjadi pada Lisa, kan? Kenapa kau tergesa-gesa begini?" desaknya, masih menahan Toil agar tidak segera masuk ke dalam rumah.

"Hidupku yang terancam," jawab Toil, setelah beberapa detik pria itu diam, mencari-cari alasan agar Jiyong mau melepaskan tangannya. Ia tidak punya tenaga untuk berkelahi sekarang, meski dirinya yakin ia akan menang melawan pria babak belur di depannya itu.

"Ya?"

"Lisa bilang dia akan berhenti bekerja," bohong Toil. "Kalau dia berhenti, kebebasanku terancam, karena itu, pergi lah," susulnya, sembari menarik tangannya melepaskan diri dari cengkraman teman kecilnya itu.

Jiyong di tinggalkan sendirian di sana. Sedang Toil melangkah masuk, terburu-buru setengah berlari ke lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar Lisa, hampir menggedor pintu itu karena Lisa tidak segera membukanya. Istrinya tetap tidak membuka pintu itu, sampai akhirnya Toil dorong pintu yang ternyata tidak terkunci itu.

Lisa tidak ada di sana. Sampai pria itu mencari ke kamar mandi pun, Lisa tidak di sana. Pria itu mencari, masuk ke beberapa ruangan, sampai akhirnya ia temukan Lisa ada di kolam renang. Dengan pakaian kerjanya, gadis itu berdiri di tepian kolam, menenggelamkan sebagian tubuhnya ke dalam air, lalu memasukan kepalanya. Dari jauh Toil melihat Lisa menyelam ke dalam air, maka ia hampiri gadis itu, berjongkok di dekatnya, lalu menarik rambutnya. Ia buat Lisa terkejut dengan ke datangannya, juga kesakitan karena di jambak.

Lisa mengerang, menjerit kesakitan, lalu berhenti ketika Toil melepaskan rambutnya. Pria itu tidak berencana untuk melukainya, Toil hanya ingin menarik kepala Lisa ke atas, keluar dari kolam renang. Karena terkejut, Lisa tersedak air kolamnya. Kakinya goyah, membuat ia mengepak mencari keseimbangan di dalam air. Kakinya kemudian tergelincir, membuatnya jatuh ke dalam air, namun buru-buru naik lagi ke permukaan.

Toil duduk di tepian kolam sekarang, hanya memasukan kakinya ke dalam kolam, sebab luka di kepalanya belum boleh basah. Ia menonton keterkejutan Lisa atas kedatangannya. Menonton gadis yang sedang berusaha berdiri di dalam kolam renang mereka. Bagian kolam tempat Lisa berdiri saat itu hanya setinggi dadanya. Toil tahu Lisa tidak akan tenggelam di sana.

"Ya! Apa yang kau lakukan di sini?! Kau kabur dari rumah sakit?! Ahn Toil! Kau-"

"Ya! Gadis sinting!" Toil membentak lebih keras. Raut marah sekarang tergambar jelas dalam air wajahnya. "Apa yang kau harapkan dari pesanmu itu?! Bagaimana bisa aku tetap di rumah sakit setelah membaca pesanmu?! Kau bahkan tidak menjawab teleponku! Bajingan! Kau membuatku takut! Kau berharap aku akan membalas pesanmu dengan—iya, aku akan meneleponmu, apa yang membuatmu sedih, sayang?—kau ingin aku mengatakan itu?! Aku bisa mengatakannya kalau kau ingin itu! Apa yang kau mau?! Apa yang kau lakukan disini?! Kau tidak menjawabku sekarang?! Katakan sesuatu, bajingan!" marah Toil, lantas menendang air di dekat kakinya, membuat wajah Lisa terciprat air kolam mereka.

"Maaf," balas Lisa. "Aku minta maaf," katanya pelan. Gadis itu berjalan mendekat sekarang, menghampiri Toil di tepian kemudian mengulurkan tangannya yang bersih, tanpa sedikit pun luka di sana. "Aku tidak melakukannya. Maaf, membuatmu khawatir," susulnya, mengatakan apa yang ingin Toil dengar.

"Jangan mengirimiku pesan aku sedih lagi! Aku kira kau benar-benar akan mati! Sialan!" sebal Toil, sekali lagi menyiram air ke wajah Lisa, tapi kali ini dengan tangannya.

"Maaf," pelan Lisa, kali ini gadis itu berdiri di sebelah Toil, bersandar ke tepian kolam, tidak lagi menatap Toil. "Kau sedang sakit, aku berusaha mengatasinya sendiri, tapi tadi aku sempat... tidak... aku hanya hampir melakukannya. Aku tidak melakukannya," geleng Lisa, ia mendongak sekarang, menatap lagi pada Toil. "Aku ingat kau menyuruhku berenang saat merasa ingin melakukannya, jadi aku di sini. Aku sudah merasa lebih baik, tapi besok aku akan ke rumah sakit, agar kau tidak lagi khawatir," ocehnya, menenangkan pria di sebelahnya.

"Augh! Kepalaku," keluh Toil, sembari mengusap-usap kepalanya sendiri, yang masih punya sepetak perban sisa kecelakaannya.

"Kenapa? Kau sakit? Kau harusnya tidak ke sini. Aku telepon ambulans ya? Tahan-"

"Heish, diam lah," Toil menahan bahu Lisa, menahan gadis itu agar tetap berendam dalam kolam. "Kau dan Jiyong yang membuatku sakit kepala," susulnya kemudian. "Ada apa dengan kalian hari ini? Kenapa kalian harus berulah di hari yang sama?" herannya.

"Kenapa? Apa yang terjadi pada Jiyong?"

"Tidak tahu," jawab Toil. "Dia datang padaku dengan wajah babak belur. Dia tidak mau bicara alasannya babak belur, aku tidak tahu siapa yang memukulinya," susulnya kemudian.

"Kalau dipukuli ayahnya, dia selalu datang padamu," pelan Lisa, yang harus menahan dingin dengan memasukan bahunya ke dalam air. Membiarkan air kolam renang itu merendamnya sampai ke leher. "Dia tidak mungkin dipukuli ayahnya lagi kan?" susulnya kemudian.

"Sudah setua itu dia masih dipukuli ayahnya? Mana mungkin," Toil menolak untuk mempercayainya, meski ia tetap sedikit ragu akan pendapatnya itu. Bagaimana kalau Jiyong benar-benar dipukuli ayahnya dan ia tidak menyadarinya? Toil merasa sedikit khawatir sekarang.

"Iya kan? Dia baru kembali setelah bertahun-tahun kabur, mana mungkin langsung dipukuli? Mungkin dia berkelahi dengan seseorang di jalan? Dia suka ikut campur dan tatapannya sering membuat orang kesal," kata Lisa.

"Lalu kau... Kenapa kau sedih hari ini? Sesuatu terjadi di kantor?"

"Tidak, aku hanya merindukan orangtuaku," geleng Lisa. "Sangat merindukan mereka, sampai aku mengirim pesan tadi. Tapi sekarang, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," susulnya. "Sebenarnya tadi aku ke rumah sakit. Tapi kekasihmu di sana, dan sepertinya kalian bertengkar. Jadi aku tidak masuk."

"Kau bisa masuk setelah dia pergi."

"Ah... Benar juga," balas Lisa. "Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Augh... Membayangkannya saja sudah membuatku pusing. Augh! Dingin! Aku mau masuk," susulnya kemudian, bergegas keluar dari kolam renang itu, lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah. Masuk ke dalam kamar mandinya, dan menangis di sana. Merasa bersalah sebab sudah membuat Toil berkeringat mencarinya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang