***
Ada sebuah firma hukum besar di pusat kota. Firma hukum yang jadi tempat tujuan para calon pengacara. Firma hukum yang katanya bisa memakmurkan para pengacara. Kantor besar, dengan banyak rekanan pengacara di dalamnya. Sudah bertahun-tahun kantor itu berdiri, diawali hanya dengan dua orang pengacara, kini tempat itu sudah bisa memperkejakan puluhan orang.
Ahn Gilkang dan Jung Woosung— dua pengacara yang mendirikan firma hukum itu. Keduanya sama-sama berhenti dari posisi mereka di kejaksaan, membangun firma hukum mereka sendiri, lalu masing-masing menikah hingga sama-sama punya anak. Bertahun-tahun mereka habiskan untuk hidup berdekatan, bersahabat, hingga putra-putrinya pun ikut berteman dekat— Ahn Toil dan Lalisa Jung.
Putra putri mereka disiapkan untuk melanjutkan firma hukum itu. Menjadi partner seperti yang ayah mereka lakukan. Namun setelah kejadian beberapa tahun lalu, segalanya berubah. Semua rencana gagal, sebagian dibatalkan. Kini, Ahn Gilkang memimpin firma hukum itu, seorang diri. Tuan Jung telah tiada, meninggal dalam sebuah kecelakaan mengerikan.
Lepas kepergian orangtuanya, Lisa juga melupakan mimpinya. Ia harus menghidupi dirinya sendiri sekarang. Ia tidak bisa terus bergantung pada warisan yang pasti habis. Tidak bisa juga melepaskan firma hukum yang ayahnya bangun dengan susah payah. Karenanya, di sanalah ia berada sekarang.
Meski hari ini dirinya sedikit terlambat— karena Toil— gadis itu tetap masuk ke ruang meeting. Sedikit mengendap-endap di baris paling belakang, kursi paling jauh dari sang pimpinan, lalu duduk di kursinya. "Kenapa kau terlambat?" Choi Seunghyun, juga seorang pengacara, pria yang duduk di sebelah Lisa berbisik.
"Ahn Toil dan teman-temannya berulah," balas Lisa, ikut berbisik.
Ini tahun keempat Lisa bekerja di sana. Setelah menyelesaikan sekolahnya, gadis itu langsung bekerja di sana. Di depannya, semua rekan pengacara menyambutnya. Semua rekan pengacara menyukainya, di depannya. Tapi tidak jauh di belakang, tepat di balik punggungnya, mereka semua bergunjing. "Lisa si anak manja yang dapat kerja karena kematian ayahnya," begitu mereka menyebutnya.
Meeting pagi ini selesai, meski Lisa hanya mengikuti bagian penutupnya saja. Orang-orang berdiri sekarang, menyalami sang pimpinan yang tadi memimpin rapatnya. Bercengkerama, menjilat sang pimpinan untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Untuk memanjat lebih tinggi.
Lagi-lagi Lisa menghela nafasnya sekarang. Ia juga harus menyapa sang pimpinan, Tuan Ahn. Di dekat pintu keluar, gadis itu berdiri, tersenyum lalu menjabat tangan Tuan Ahn. "Lama tidak melihatmu, Lisa," katanya, langsung mengusap bahu Lisa setelah menjabat tangannya.
"Iya, lama tidak bertemu Tuan Ahn... Maaf, aku terlambat tadi," susul Lisa, yang sekarang diajak berjalan bersama sang pimpinan ke arah pintu lift.
"Kenapa? Apa yang membuatmu terlambat hari ini?"
"Sesuatu terjadi di rumah," pelan Lisa. "Tapi masalahnya sudah selesai, hanya kesalah pahaman kecil," susulnya.
"Kenapa? Putraku tidak merepotkanmu kan?" Tuan Ahn bertanya sekali lagi.
Kekeh canggung keluar dari mulut Lisa sekarang. Kalau mengingat apa yang terjadi, Toil benar-benar sangat merepotkan. Tapi di depan atasannya, Lisa tentu tidak bisa bilang begitu. "Tidak, dia tidak membuat masalah," geleng Lisa.
Lisa mengantar Tuan Ahn sampai ke lift, lantas menunduk untuk memberi hormat padanya. Sampai pintu lift itu tertutup, dan ia langsung melepas sepatunya. "Augh!" gadis itu mengeluh, berteriak kesal sembari melangkah ke ruang kerjanya. Beberapa pengacara yang masih ada di ruang meeting melihatnya, tentu akan mencibirnya setelah ini. Tapi seolah tidak peduli, Lisa melangkah sampai ke ruang kerjanya, melempar sepatunya ke sudut lalu memakai sandalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
Fiksi PenggemarOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...