55

200 40 11
                                    

***

Bagai ayah dan ibu yang marah atas hidup putra mereka, Lisa juga Toil tidak bisa mengendalikan raut wajah mereka. Rencana liburan mereka dibatalkan sekarang. Pergi berkeliaran bak turis tidak lagi menarik untuk keduanya. Mengunjungi toko ini, belanja di toko itu, pergi ke museum apalagi Menara Eiffel tidak lagi terdengar menyenangkan. Dan semua rasa suntuk itu datang karena tempat tinggal Jiyong.

Satu-satunya yang mereka berdua lakukan sekarang hanya mengekori Jiyong. Mereka pergi kemana pun pria itu pergi. Meski membuat beberapa rekan kerja Jiyong canggung, keduanya tetap mengekor, tidak peduli dengan pendapat orang-orang di sana.

Ini hari ketiga mereka berada di Paris, tapi yang Lisa dan Toil lakukan hanya mendengus, mengeluh karena lelah naik dan turun tangga, melipat kedua tangan mereka di depan dada sambil terus berjalan mengekori Jiyong kemanapun pria itu pergi. Di hari mereka tiba, hari sudah sore, Jiyong hanya pergi makan malam lalu kembali ke flat, beristirahat setelah penerbangan panjangnya.

Pada hari kedua, pria itu pergi ke cafe untuk sarapan di pagi harinya. Lalu pergi ke naik kereta ke lokasi pemotretan seorang kliennya, dan saat hari mulai gelap ia pergi ke tempat kerjanya. Sebuah studio besar yang penuh dengan kain dan meja jahit. Jiyong punya empat asisten dalam studio itu, orang-orang yang membantunya mengerjakan design-nya.

Studio itu bukan milik Jiyong. Asisten yang bekerja untuk pria itu, juga bukan Jiyong yang membayarnya. Jiyong menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan fashion, sebuah merk pakaian yang luar biasa terkenal. Ia jadi designer di perusahaan itu, lalu diberi tim beranggotakan lima orang termasuk dirinya sendiri. Studionya pun berada dekat dari pop up store merk pakaian itu, Lisa hampir tertarik untuk belanja di sana, tapi niatnya diurungkan karena mereka datang terlambat. Tokonya sudah tutup begitu mereka tiba di sana.

"Ini hari ketiga kalian di sini," Jiyong berkata, di trotoar menuju cafe tempat pria itu biasa membeli kopi paginya. Jiyong hampir tidak pernah sarapan selama tinggal di Paris. Kecuali saat ada acara-acara penting, atau pertemuan penting. Di hari-hari normal, pria itu lebih suka bangun terlambat, membeli kopi di jalan ia berangkat lalu langsung pergi ke tempat kerjanya. "Kalian tidak ingin jalan-jalan? Belanja? Pergi ke Menara Eiffel?" tawar Jiyong namun dua orang yang mengekorinya hanya mendengus.

"Sudah pernah," ketus Lisa, kesal karena Jiyong terus menolak ajakannya.

"Ada banyak tempat bagus yang pasti belum kalian kunjungi, kalian bisa jalan-jalan, berkencan-"

"Orangtuamu tahu kau tinggal di tempat itu?" potong Toil, sama terkejutnya seperti Lisa saat melihat tempat tinggal Jiyong kemarin. Bahkan kamarnya masih lebih rapih daripada flat Jiyong kemarin.

"Mana mungkin?" Lisa berkomentar sebelum Jiyong sempat menjawabnya. "Kalau ibunya tahu, dia pasti sudah di seret pergi dari sana. Itu bukan tempat tinggal untuk manusia, bahkan kandang hamsterku dulu masih lebih bersih daripada rumahnya," gerutu Lisa. "Dia bahkan tidak punya kamar mandi! Tadi aku mengikutinya, dia harus ke lantai empat untuk mandi, itu pun kalau ada air!" adu gadis itu, pada pria yang wajahnya semakin mengeras sekarang. Toil benar-benar kesal, sedari kemarin.

"Lisa punya hamster?" Jiyong mengerutkan dahinya, masih sembari berjalan ke cafe yang sebenarnya tidak seberapa jauh. Hanya karena dua temannya yang kesal itu, langkah mereka jadi lebih lambat dari biasanya.

"Punya, awalnya hanya dua, lalu jadi dua puluh delapan di bulan keenam," jawab Toil.

"Aku tidak melihatnya di rumah? Dimana hamsternya?"

"Aku sumbangkan ke panti asuhan tempatku berdonasi. Untuk teman anak-anak di sana. Aku tidak punya waktu mengurus mereka. Haruskah aku memelihara hamster lagi sekarang? Aku pengangguran sekarang. Tidak, aku mau memeliharanya saja, dia menyedihkan, kasihan," kata Lisa, menunjuk Jiyong dengan tangannya tapi menoleh ke arah Toil, meminta persetujuannya.

Toil mengangguk, menyetujuinya. Berkata kalau mereka harus memelihara Kwon Jiyong yang menyedihkan itu. Tiba di cafe, Toil langsung duduk, sedang Jiyong melangkah ke dalam untuk memesan. Lisa yang masih berdiri disenggol, sengaja disuruh untuk ikut masuk ke dalam, membayar sarapan mereka hari ini.

"Aku punya uang-"

"Ditabung saja, untuk membeli rumah," potong Lisa, bersikeras membayar sarapan mereka bertiga hari ini. "Atau setidaknya, sewa rumah yang lebih layak," katanya setelah membayar.

Pesanannya akan diantar ke meja mereka nanti, jadi Jiyong juga Lisa bergabung dengan Toil di teras cafe, duduk sembari menikmati angin pagi yang hangat. "Udara di sini sejuk," Jiyong bilang begitu. "Aku suka tinggal di sini," susulnya, ingin membuat dua temannya mau menerima keputusannya.

"Tidak ada bedanya dengan udara di rumahku," Lisa menggerutu, benar-benar ingin membawa Jiyong pulang sekarang. Persetan dengan liburan mereka, rumah Jiyong menghancurkan semua rencananya.

"Pasti ada banyak rumah yang lebih bagus daripada milikmu di sini," Toil ikut berkomentar, dengan nada sinisnya.

"Aku sibuk. Aku hanya ke rumah untuk tidur," Jiyong membela dirinya. Tapi siapa yang percaya Jiyong bisa tidur dan beristirahat dengan nyaman di rumah pengap itu?

"Ya, kau hanya ke rumah untuk tidur. Mana bisa bersetubuh di ranjang begitu? Ranjangnya pasti rubuh," kata Toil, tidak bisa menyaring sendiri kalimatnya. "Setidaknya kau bisa tenang, dia tidak tidur dengan perempuan lain di Paris," celetuknya kemudian, kali ini bicara pada Lisa.

"Dia bisa melakukannya di hotel," dengan santai Lisa menanggapi ocehan Toil. Sedang Jiyong harus menahan dirinya sekarang. Kesabarannya sedang diuji.

"Kalau kalian hanya ingin mengejek-"

"Kau tidak bisa membedakan mengejek dan khawatir?" Lisa menyela suara Jiyong. "Kau harus pindah. Kau bisa membusuk di sana. Kau bisa mati di sana," tegas gadis itu. "Keluargamu kaya raya, Kwon Jiyong. Kenapa kau hidup seperti gelandangan begini?" herannya.

Lisa keheranan, tidak bisa ia pahami selera hidup temannya itu. Meski Toil berkata kalau Jiyong tidak ingin memakai uang orangtuanya, kalau Jiyong hanya ingin hidup mandiri dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan orangtuanya, Lisa tetap tidak bisa memahaminya. Jiyong punya banyak penghargaan di rumahnya. Harusnya pria itu bisa menyewa rumah yang lebih baik. Harusnya pria itu bisa membeli rumah yang lebih nyaman. Tapi Jiyong tidak melakukannya dan tetap tinggal di sana, seperti gelandangan dengan semua barang mewah yang terlihat seperti sampah karena tidak dirawat. Lisa tidak bisa memahaminya. Lisa tidak ingin memahaminya.

"Kau ingat dia tidak suka kotor dulu? Dia lebih suka menunggu di mobil daripada main hujan bersama kita. Dia sangat bersih dulu, bagaimana bisa anak manis itu sekarang tinggal di tempat menyedihkan itu? Aku tidak bisa memahaminya," lagi-lagi Lisa menggerutu. "Dia bilang gajinya besar, dia bilang sudah sukses sekarang. Tapi tempat tinggal seperti kandang sapi. Apa jangan-jangan kau berjudi? Kau menghabiskan semua uangmu untuk judi? Orang sinting, kasino mana yang biasa kau datangi?" tuduhnya dan Toil pun ikut mencurigainya. Ikut mempercayai dugaan gadis di sebelah mereka, di meja bundar cafe tepi jalan itu.

Kesabaran Jiyong lagi-lagi harus melewati sebuah ujian panjang sekarang.

***
Aku lagi suka DIY painting with numbers sekarang.... Ternyata aku gak bisa gambar, cuma bisa mewarnai aja wkwkwk pengen versi cat air tapi ngga ada yg jual... kalian lagi suka ngapain kalau gabut?

 kalian lagi suka ngapain kalau gabut?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang