27

211 49 2
                                    

***

Kira-kira pukul tujuh malam, Lisa tiba di rumah setelah seharian bekerja. Gadis itu tidak melihat ada yang aneh di luar rumahnya. Tidak ada tamu, dan mobil Toil pun ada di tempatnya. Toil ada di rumah— begitu yang ia kira. Maka masuklah ia seperti biasanya, sembari membawa beberapa makanan yang Toil pesan lewat pesan singkat siang tadi. Pria itu ingin dimsum, juga ayam goreng dan cola.

Tapi begitu ia membuka pintu rumahnya, dirinya dibuat terkejut karena keberadaan Jiyong. Pria itu, Kwon Jiyong itu, ada di atas sofanya, sedang berdiri di atas sofa itu, akan menurunkan foto pernikahan Lisa dan Toil dari dinding. "Ya! Apa yang kau lakukan di rumahku?!" Lisa berseru, seolah baru saja menangkap basah seorang pencuri.

"Oh, kau sudah pulang?" Jiyong menyapanya, seolah tidak ada pembicaraan apapun kemarin sore.

"Aku tanya apa yang sedang kau lakukan?! Kembalikan fotoku ke tempatnya!" bentak Lisa, berteriak dengan sangat keras hingga terdengar oleh Toil yang ada di lantai dua.

"Tapi-"

"Kembalikan sekarang! Sudah aku bilang jangan sembarang melewati batas! Kembalikan fotoku, bajingan!" marah Lisa, membuat Jiyong mau tidak mau mengembalikan foto itu ke tempatnya, kembali menggantung foto pernikahan itu di dinding. "Ahn Toil! Ya! Toil!" kini gadis itu berlari, naik ke lantai dua untuk menghampiri Toil di kamarnya.

Pintu kamar Toil yang tidak tertutup rapat langsung ia dorong, ia buka dan dilihatnya tiga pria berada di dalam sana—termasuk suaminya. "Oh? Kalian di sini, bekerja? Kalau begitu, ini untuk camilannya," canggung Lisa, lantas mengulurkan tangannya, memberikan makanan yang ia beli juga meminta Toil untuk bicara dengannya.

Toil diajak keluar, ditarik sampai ke kamar tidurnya. "Apa-apaan ini?" tanya Lisa, kebingungan dengan keadaan rumahnya. "Jiyong menurunkan foto pernikahan kita! Aku hanya pergi beberapa jam, tapi apa yang terjadi di sini? Mana foto-foto di sana?" heran gadis itu, menunjuk dinding yang sudah ia tata beberapa minggu lalu.

"Jiyong menurunkan fotonya? Kenapa?" balas Toil, tidak mengakui kalau ia yang menyuruh Jiyong melakukan itu.

"Mana aku tahu!" sebal Lisa. "Kenapa dia ada di sini? Ibumu bilang dia akan datang besok," susulnya kemudian, mengatakan kalau mereka tidak bisa menurunkan foto apapun sampai ibunya Toil berhenti memperhatikan mereka.

"Aku membicarakannya menginap di sini," aku Toil, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sedikit canggung dengan situasi mereka.

"Huh?! Kenapa?! Aku sudah memberitahumu tentang ucapannya kemarin!" Lisa memprotes keputusan suaminya itu. Namun Toil hanya tersenyum, mengatakan kalau Jiyong diusir dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya. Ia beritahu juga kalau Jiyong dipukuli ayahnya semalam.

"Hanya untuk beberapa hari," bujuk Toil. "Aku tahu kalian akan canggung, tapi bertahan lah, hanya beberapa hari, ya? Kau tidak kasihan padanya? Bagaimana pun kalian- tidak, bagaimana pun kita bertiga pernah sangat dekat, iya kan? Biarkan saja dia menginap di sini, hm?" pria itu terus membujuk Lisa, sampai mau tidak mau gadis itu menyerah dan membiarkan Jiyong tetap tinggal. "Gadis pintar, jangan bertengkar dengannya, ya? Setidaknya malam ini. Aku harus bekerja, tolong kerja samanya," pinta Toil setelah Lisa menyerah.

Sejak hari itu, mereka tinggal bersama, bertiga. Jiyong tidak bekerja di kantor ayahnya. Ibunya tidak pulang ke rumah dan pria itu sebenarnya bisa kembali ke Paris, kalau ia mau. Jiyong bisa saja kembali ke kehidupan lamanya, menetap di Paris, mengerjakan pekerjaannya, meratapi hidupnya di tempat pelariannya. Namun pria itu memilih untuk tinggal. Terus berada di rumah, dan hanya pergi jika Toil menyuruhnya.

Lisa bekerja seperti biasanya. Berlaga ia baik-baik saja meski harus tinggal serumah dengan suami dan mantan pacarnya. Toil pun sama, tetap ia temui teman-teman kencannya, mengundang gadis-gadis itu kerumah juga bekerja seperti biasanya. Bedanya, sekarang Toil tidak lagi perlu mengurus rumah seperti dulu. Ia limpahkan semua kewajibannya merawat rumah pada
Jiyong. Tiap kali Lisa memberinya tugas, entah itu merapikan rumah atau memanggil tukang kebun, ia meminta Jiyong yang melakukannya.

Sayangnya, tanpa Toil, dua orang itu hampir tidak berinteraksi. Beberapa kali Jiyong ingin mengajak Lisa bicara, namun gadis itu terus mengabaikannya. Lisa terus berada di kamarnya, tidak memberi Jiyong kesempatan untuk mendekat. Gadis itu baru akan keluar, kalau Toil juga diluar, kalau Toil memanggilnya, kalau Toil mengajaknya makan bersama di meja makan.

"Lisa!" Toil membuka pintu kamar Lisa dengan kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya di ranjang, di sebelah Lisa yang tengah membaca berkas pekerjaannya.

"Hm?" Lisa hanya menggumam untuk menanggapinya. Menarik beberapa kertas yang Toil tindih, lalu memukul perut pria itu, menyuruhnya bergeser agar tidak merusak kertas-kertasnya.

"Aku tidak tahan lagi," katanya, dengan nada sebal yang berlebihan.

"Aku juga," balas Lisa. "Aku sudah berkali-kali membaca berkas ini di kantor, tapi sama sekali tidak memahaminya. Ya! Ahn Toil, apa aku harus terus bekerja? Keuntungan-"

"Tidak bisa kah kau membuat bajingan di bawah itu keluar rumah?" potong Toil, yang justru lebih dulu risih dengan keberadaan Jiyong di rumahnya. "Tidak, aku tidak keberatan dia tinggal disini. Tapi, apa kau pernah melihatnya keluar rumah? Kenapa dia terus di rumah? Sudah dua bulan dia begitu! Bahkan introvert sekali pun masih pergi ke supermarket!" keluhnya.

"Dia tidak pernah keluar? Dia pergi belanja," balas Lisa, sebab lemari es di bawah tidak pernah kosong.

"Itu pesan antar," kata Toil. "Tidak, dia tidak pernah keluar! Dia terus di rumah, berkeliaran di bawah! Setiap hari, dia hanya menonton tv, makan dan berenang! Augh! Aku tidak tahan lagi," gerutu pria itu, seolah aktivitas Jiyong selama ini sangat mengganggunya.

"Mungkin dia memang tidak punya alasan untuk keluar? Biarkan saja-"

"Biarkan saja?! Biarkan saja katamu?! Masalahnya dia terus menyuruhku pulang!" keluh Toil. "Istriku bahkan tidak pernah bertanya dimana aku berada! Dia jauh lebih buruk! Kemarin malam, aku sedang berkencan di rumah kekasihku-"

"Wanita baru lagi?" sela Lisa, bertanya agar ia bisa membayangkan cerita Toil dengan benar.

"Hm... Baru lagi," jawab pria itu. "Aku sedang sangat sibuk, tidak bisa diganggu-"

"Kau sedang bercinta?" Lisa menyelanya sekali lagi.

"Hm... Aku sedang melakukannya," ia tanggapi pertanyaan Lisa sebelum melanjutkan ceritanya. "Lalu dia meneleponku tiga kali! Dan kau tahu apa yang dikatakannya? Katanya kau belum pulang dan dia khawatir kenapa kau pulang terlambat! Aku sudah bilang kau mungkin lembur, atau tidur di rumah Choi Seunghyun. Tapi dia justru memaksaku pulang! Apa dia pikir dia anak-anak?! Dia takut ditinggal di rumah ini sendirian?! Orang sinting! Aku tidak tahan lagi!" sebal Toil, disusul gerakan kekanakannya—menendang-nendang udara di sekitar kakinya, menunjukan emosinya yang tertahan.

"Sudah hampir dua bulan dia tinggal di sini dan yang dia lakukan hanya menggangguku! Aku rindu kebebasanku," gerutu Toil, tidak ada habisnya.

Terus ia mengeluh pada Lisa, sampai handphone bergetar. "Lihat! Lihat ini! Dia bahkan mengirimiku pesan padahal tahu aku ada di rumah!" sebal Toil, sebab Jiyong bertanya kapan pria itu akan turun. "Augh! Terserah! Aku tidak peduli lagi! Aku mau tetap di sini!" katanya, lantas melempar handphonenya sampai ke sofa dan tetap ia berbaring di sebelah Lisa. Biar saja Jiyong resah karena ia terus berada di dalam kamar istrinya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang