4

335 69 4
                                    

***

Setelah lama menetap di Paris, Kwon Jiyong pulang ke kotanya. Rasanya canggung, menginjakkan lagi kakinya di sana. Turun dari pesawat, ribuan kenangan menyerang kepalanya. Seketika pria itu merasakan denyut menyakitkan di pelipisnya. Mungkin jet lag—pria itu tidak mau ambil pusing.

Seorang wanita menjemputnya di bandara. Berdiri di depan pintu kedatangan, sembari memegang selembar kertas. "KJY," begitu yang tertulis di kertasnya. Melihat kertas itu, Jiyong menghampiri si wanita, berdiri di depannya lantas menyapanya.

"Lama tidak bertemu, Jisoo," katanya sedikit kaku. Seolah ia tidak pernah bicara sebelumnya, suaranya kedengaran serak kali ini, sedikit aneh.

"Bahasa Prancis membuatmu tidak bisa bicara lagi, Ji?" balas gadis tadi. Kim Jisoo namanya, entah berapa usianya, Jiyong tidak tahu. Satu yang pasti, gadis itu bekerja di sebuah agensi hiburan. Jadi seorang pelatih akting sekaligus sutradara dan tim kreatif di sana. Karir yang luar biasa untuk gadis yang kelihatannya masih sangat muda.

Mereka tidak banyak bertukar rindu. Hubungan diantara keduanya tidak seberapa baik. Hanya saja, Jiyong tidak punya siapapun yang bisa ia hubungi selain wanita itu. Di Paris, mereka pernah bekerja di tempat yang sama. Bertahun-tahun lalu. Kim Jisoo menjadi anak magang yang kerja sambilan di sebuah peragaan busana, sementara Kwon Jiyong jadi salah satu designer yang akan memamerkan pakaiannya di sana.

Sebuah masalah terjadi waktu itu. Jiyong kebingungan mencari model untuk pakaiannya, sebab model sebelumnya tiba-tiba kecelakaan. Tepat saat akan berangkat ke lokasi fashion show. Keadaan sempat kacau, Jiyong hampir tidak bisa menemukan model penggantinya. Lalu ia melihat Jisoo dan menjadikannya model untuk berjalan di atas catwalk. Tentu Jisoo menolaknya. Gadis itu hanya anak magang yang bekerja di sana karena butuh uang. Seorang mahasiswa yang butuh uang tambahan untuk membayar makanannya. Ia tidak pernah berencana jadi model sebelumnya.

Tapi Jiyong memaksa, berkata akan memberi Jisoo banyak uang, berjanji juga akan membantu Jisoo jika gadis itu terdesak. Pria itu bersikap seolah akan memberikan jiwanya, hanya untuk membuat Jisoo naik ke catwalk, memakai pakaian buatannya. Akhirnya, Jisoo bersedia membantu. Tapi Jiyong mengingkari janjinya.

Jisoo tidak minta banyak. Ia tidak meminta Jiyong untuk menyerahkan jiwanya. Ia hanya meminta Jiyong untuk pergi kencan dengannya, sepuluh kali. Tapi Jiyong menolaknya. Ia ganti sepuluh kencan itu dengan seamplop penuh uang tunai lalu melukai perasaan serta harga diri Kim Jisoo.

Dengan mobilnya, Jisoo membawa tamunya itu meninggalkan bandara. Namun kenangan masa lalu, ingatan akan penolakan Jiyong waktu itu, masih mengganggunya. Membuat Jisoo merasa sangat tidak nyaman jika harus menghabiskan waktu lebih lama bersamanya. Maka, bertanya lah ia— kemana Jiyong akan pergi sekarang.

"Tidak tahu," pelan Jiyong. "Aku tidak ingin pulang ke rumah tapi hotel pun kelihatannya tidak terlalu nyaman," susulnya.

"Lalu kenapa kau datang kalau tidak mau pulang ke rumah?"

"Bellis fashion week."

"Acaranya masih dua bulan lagi."

"Ya, aku tahu," jawabnya, masih sama pelannya seperti sebelumnya. "Aku juga tidak tahu kenapa memesan tiket ke sini sekarang," susulnya, sebelum Jisoo sempat bertanya.

"Ya! Kau bercanda?! Aku sibuk!" protes Jisoo, kesal sebab pria di sebelahnya bersikap begitu menyebalkan— bahkan kehadirannya saja sudah membuat Jisoo luar biasa kesal. Jisoo sendiri heran, kenapa dia mau datang menjemput Jiyong saat dua hari lalu dihubungi olehnya? Harusnya dia menolak permintaan Jiyong waktu itu.

"Kalau begitu... antar aku ke Bellis Internasional School," Jiyong masih bicara dengan begitu tenang, membuat Jisoo kelihatan jadi satu-satunya orang jahat di sana. Hanya Jisoo yang berseru, hanya gadis itu yang meninggikan suaranya, dan meski diteriaki begitu, Jiyong tetap diam. Tidak seperti biasanya— ingat Jisoo.

Kim Jisoo tidak ingin tahu lebih banyak. Ia ingin tahu, tapi menolak untuk mengakui rasa penasarannya itu. Aku tidak peduli lagi padanya, aku tidak mau tahu— begitu ia meyakinkan dirinya sendiri. Sampai akhirnya, ia menghentikan mobilnya di depan sekolah yang Jiyong tuju, setelah sepanjang perjalanan mereka sama-sama diam.

Tiba di sekolah itu, Jiyong menghela nafasnya. Ia turun dari SUV putih milik kenalannya itu, berterima kasih lalu melukai perasaan Jisoo sekali lagi berkat pertanyaannya— apa aku perlu membayarmu karena sudah diantar ke sini?— begitu katanya, sekali lagi membuat Jisoo marah. Kini, Jiyong ditinggalkan sendirian di depan sekolah internasional itu. Sekolah tempat ia belajar dulu, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Berdiri di sana membuat Jiyong memutar ulang ingatannya. Ia ingat kalau punya dua teman dekat saat bersekolah di sana. Dua orang teman yang terus bersamanya sampai mereka lulus sekolah menengah lalu berpisah dan putus kontak. "Kira-kira bagaimana kabar mereka sekarang?" gumamnya pelan, tetap berdiri di depan sekolah itu, tepat di sebelah koper besarnya.

Lama ia berdiri, membayangkan dirinya sendiri berjalan keluar dari gerbang sekolah itu. Ia mengingatnya, tahun-tahun sekolahnya yang menyenangkan. Dirinya berjalan keluar dengan seragamnya, lalu di belakangnya Ahn Toil dan Lalisa Jung mengekor. Saat itu Toil selalu membawa bola basketnya, hanya untuk bergaya, menggoda gadis-gadis di sekolah khusus wanita yang tidak jauh dari sana. Sementara Lisa selalu memeluk camilannya, sekantong keripik kentang.

Sepulang sekolah mereka berjalan bersama. Sesekali Jiyong akan menoleh ke belakang, berteriak pada teman-temannya yang sangat lamban. "Kenapa kau ingin cepat sampai rumah?! Aku tidak suka pulang ke rumah," begitu yang selalu Lisa katakan. "Ayo pergi karaoke saja?" suara Toil kemudian muncul, mengajak mereka untuk bersenang-senang lalu kembali ke rumah dan di marahi, sebab guru privat mereka sudah lama menunggu di rumah.

Dari sebrang jalan, sembari terus menatap pada gerbang sekolahnya, Jiyong bernostalgia. Senyumnya terulas tipis, saat ia menyadari betapa dirinya merindukan masa-masa itu. Ia lantas menghela nafasnya, ketika kenyataan menampar wajahnya. Sebesar apapun rasa rindunya itu, kedua sahabatnya tadi tidak akan senang melihatnya.

"Lebih baik tidak usah bertemu lagi," gumamnya pelan. Lantas sekarang, ia tarik kopernya. Melangkah menyusuri jalan yang masih familiar itu. Terus berjalan sampai kakinya berhenti di sebuah kedai kopi. Kedai kopi unik dengan banyak gambar monster berbulu oranye di dindingnya. "Noona masih ada di sini?" herannya, lantas memutuskan untuk masuk ke dalam kedai itu.

Kedai kopi itu tidak seberapa ramai siang ini. Lonceng di atas pintunya berbunyi saat Jiyong masuk, menarik kopernya lalu meletakannya di sudut. "Selamat datang," suara renyah seorang wanita menyapanya, namun Jiyong tidak mengenali wanita itu. Sepertinya seorang pegawai paruh waktu yang akan melayaninya siang ini.

Jiyong mengambil kursi di dekat meja baristanya. Ia pesan secangkir kopi, lalu mengambil sebatang permen loli di dekat mesin kasirnya. "Apa Dahee noona masih tinggal di sini?" Jiyong bertanya, setelah ia duduk pada si barista tadi.

"Pemilik cafe?" tanya barista tadi, yang selanjutnya melangkah ke masuk ke dalam ruang staff dan memanggil bosnya.

Wanita yang Jiyong kenali ada di sana. Berdiri dengan anggun di depan pintu ruang staff. Wanita tadi sempat terlihat kesal saat dipanggil keluar, tapi begitu melihat Jiyong, senyumnya mengembang.

"Kwon Ji! Kau kembali?!" serunya, lantas bertukar pelukan rindu dengan pria yang baru saja kembali dari Paris itu. "Dimana saja kau selama ini?! Aku pikir kau benar-benar sudah mati!" katanya, mengusap-usap rambut Jiyong setelah berpelukan lalu memberitahu baristanya— "ini anak ketiga yang aku asuh dulu. Suami istri yang datang membawa kue minggu lalu, lalu anak ini, mereka bertiga adalah anak-anak yang aku asuh dulu," senang Dahee, merangkul Jiyong sembari mengenalkannya pada si barista.

"Suami istri?" gumam Jiyong, jelas kebingungan.

"Kau tidak tahu? Kau benar-benar putus hubungan dengan teman-temanmu? Mereka akhirnya menikah. Kau sungguh tidak tahu?" tanya Dahee, jelas mengejutkan Jiyong, membuat pria itu hampir jatuh dari pijakannya sendiri. Kwon Jiyong, baru saja tersambar petir di siang hari tanpa hujan.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang