***
Hari keempat masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Dua orang itu masih mengganggu Jiyong dengan semua ocehan mereka. Secara sepihak mereka menghakimi Jiyong, mengomentari hidup pria itu yang Jiyong sendiri tidak bisa menjelaskan alasannya tinggal di sana.
Awalnya ia hanya butuh tempat untuk berteduh, hingga lama kelamaan, kakinya terus berjalan ke sana. Ke flat tua yang menyedihkan itu. Mengurung dirinya sendiri di dalam sana, menarik dirinya dari keramaian. Bersembunyi dari perhatian manusia lainnya. Bersembunyi dari berbagai pertanyaan yang dilontarkan padanya.
Ia tahu, tempat itu jauh sekali dari kata nyaman. Ia tahu, tempat itu menyedihkan. Tapi tidak ada tenaga untuk meninggalkannya. Tidak ada keberanian untuk pergi dari sana. Ia harus tetap di sana, untuk merasa lebih baik. Untuk mengurangi sedikit saja rasa bersalahnya. Untuk sedikit saja menghukum dirinya sendiri. Tapi mana bisa ia akui itu di depan Lisa? Di depan gadis yang kehilangan segalanya karenanya. Tapi mana bisa ia melontarkan alasan itu di depan Toil? Di depan orang menggantikannya menjaga sang putri. Jiyong hanya akan terlihat semakin berengsek kalau mengatakannya.
Kesal karena terus dimarahi. Kesal karena tidak bisa membalas semua omelan itu, akhirnya Jiyong mengeluarkan handphonenya. Ia tunjukan aplikasi perbankan dalam handphonenya, meletakannya di atas meja makan restoran tempat malam ini mereka bertiga bercengkrama. Lisa yang pertama mengambil handphone itu, sedang Toil masih memotong daging pesanannya. Masih sibuk mengisi perutnya yang lapar karena berjalan seharian, mengekori Jiyong di tempat kerjanya, bak sepasang anak kembar yang ikut kakaknya bekerja.
"Lumayan," komentar Lisa, tetap terdengar ketus meski Jiyong sudah memberitahunya semua miliknya.
"Berapa?" tanya Toil, tetap tidak tertarik untuk melihat sendiri angka yang ada di sana.
"Sebanyak yang kau keluarkan untuk membeli gedung terkahir kali," kata Lisa. Ia mengembalikan handphone itu ke atas meja, kembali memegang garpu juga pisaunya. "Tapi tetap saja, kenapa kau tinggal di sana?" ketusnya, kali ini sembari menguyah makanannya.
"Itu bukan uang perusahaannya?" komentar Toil, membuat Lisa langsung menoleh pada pria itu. Komentar Toil sangat masuk akal sekarang—setidaknya bagi Lisa.
"Aku hanya designer, bukan manager keuangannya. Itu uangku," ketus Jiyong, kehabisan kesabarannya. "Kalau kalian terus memaksa mau memeliharaku, bercerai lah. Aku akan ikut kembali ke Bellis kalau kalian bercerai," katanya kemudian, mengira kalau syarat yang ia berikan tidak akan dua orang itu penuhi.
"Apa katamu?" Toil berhenti makan sekarang. Lisa pun sama.
Lisa meletakan garpu juga pisaunya. Sedang Toil meremas pisaunya seolah ia akan menusuk Jiyong kalau pria itu terus melanjutkan ocehannya. Jiyong menyadarinya, namun memilih untuk mengabaikannya. Berlaga tidak memedulikannya.
"Bercerai," Jiyong mengulang lagi syaratnya. "Bagaimana dia bisa memeliharaku kalau kalian masih menikah? Bagaimana dengan karirku kalau orang-orang tahu aku dipelihara istri orang lain? Kalian tidak memikirkannya?" susulnya, berlaga berani, menyimpan dalam-dalam rasa gugup yang selalu muncul itu.
Aku hanya menggertak, aku tidak pernah serius mengatakannya, aku tidak sungguh-sungguh ingin merebut istri temanku sendiri—berulang kali Jiyong meyakinkan dirinya sendiri.
"Egois sekali," komentar Toil. "Karirmu lebih penting sekarang? Padahal kalau kau bilang, kau menyukai istriku, aku bisa mengirim suratnya sekarang juga," susulnya, kembali memotong dagingnya.
"Jangan dikirim dulu, dia lebih peduli pada karirnya," susul Lisa. "Kita mengkhawatirkannya, tapi dia hanya peduli pada dirinya sendiri, bajingan," katanya, juga kembali makan. Keduanya berhasil mengalahkan Jiyong hanya dengan beberapa kalimat.
Selesai makan, ketiganya pergi meninggalkan restoran itu. Lisa yang keluar lebih dulu, sedang Jiyong dan Toil masih berdebat tentang siapa yang akan membayar pesanan mereka tadi. Jiyong ingin membayar makanan mereka, sedang Toil bersikeras akan membayarnya. Agar Jiyong bisa menabung dan membeli sebuah rumah.
"Apa maksudmu mengirim surat tadi? Kau berencana bercerai?" Jiyong bertanya, setelah ia menyerah berdebat dengan temannya itu.
Toil sempat diam, menimbang-nimbang untuk memberitahu Jiyong rahasianya atau tidak. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk memberitahunya. Mengaku kalau ia dan Lisa sudah lama mengurus surat cerai mereka. Tepat setelah resmi menikah, mereka mengurus surat cerai itu. Bersiap kalau sewaktu-waktu harus bercerai, apapun alasannya. Mereka hanya perlu menyerahkan surat cerai itu, lalu datang untuk mediasi, mungkin dua atau tiga kali, dan semuanya selesai. Mereka berpisah.
"Kau benar-benar punya kesempatan," Toil berkata begitu. "Sampai kapan kau akan percaya kalau kami suami istri sungguhan?" herannya, kali ini berjalan bersama Jiyong, mengekor pada gadis yang ada lima langkah di depan mereka. Lisa berjalan lebih dulu, sibuk melihat-lihat toko di sekitaran restoran itu.
"Kau memanggilnya istriku," debat Jiyong, tetap ragu.
"Karena dia memang istriku, iya kan? Kami menikah sungguhan, walaupun bukan karena saling mencintai- tidak, tidak, bilang kalau kami tidak saling mencintai juga tidak benar. Cinta ke saudara? Kasih persaudaraan? Apapun istilahnya, kau cari sendiri. Tapi aku benar-benar tidak keberatan kalau dia menyukaimu. Masalahnya, dia menyukaimu atau tidak?"
"Dia ingin memeliharaku?"
"Kau mau disamakan dengan kucing? Hamster? Atau anjing? Ah... Sepertinya anjing cocok, babi juga kedengaran pas. Rumahmu seperti kandang babi," hina Toil, hampir membuat Jiyong menarik kerah bajunya, hampir membuat Jiyong berani memukulnya. "Ah! Kalau kau tinggal di kandang babi itu untuk menghukum dirimu sendiri, karena sudah melarikan diri, kau pikir siapa dirimu? Siapa yang memberimu izin untuk menghukum dirimu sendiri?"
Jiyong tidak menjawabnya. Mereka berdua terlalu banyak bicara sekarang, hingga tidak sadar kalau gadis yang mereka ikuti tidak lagi ada di depan. Lisa menghilang, tidak lagi terlihat oleh keduanya. "Mana Lisa?" Jiyong yang pertama menyadarinya, menghentikan langkahnya lalu melihat ke sekeliling, mencari keberadaan gadis itu.
***
Pengen beli ginian versi GD, tapi kalo custom sendiri mahal, ukuran 20x20 aja sampe 100an masa :( kalo nemu rekomendasi yg jual DIY GD atau bisa custom murah kabar2 dongg... Udah scroll sampe bawah adanya seventeen bts nct doang 😭😭😭 gini amat nge biasin om om, printilannya zuzahh...
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...