57

165 37 0
                                    

***

Ini hari ketujuh dan Toil sudah tidak tahan lagi. Tidak lagi bisa memanjat semua anak tangga di gedung tempat Jiyong tinggal. Pada malam ketujuh ini, Toil menolak untuk pulang ke sana. "Aku mau menginap di hotel saja, kalian mau ikut?" katanya namun Jiyong menolak. Jiyong tidak melarang Toil menginap di hotel, ia sudah berkali-kali menawarkannya. Ia ingin teman-temannya merasa nyaman, bisa tidur nyenyak di ranjang hotel lalu berlibur seperti yang mereka rencanakan.

Tapi di hari ketujuh ini, hanya Toil yang pergi ke hotel. Lisa menolak, meski Jiyong membujuknya. "Biarkan saja dia ikut denganmu," kata Toil, melarang pria itu untuk membujuk istrinya. Sedari awal Toil tidak membujuk Lisa, hanya ia beritahu gadis itu kalau malam ini ia tidur nyenyak di ruangan yang nyaman.

Maka setelah selesai makan malam, pergilah pria itu. Jiyong memesan taksi untuk Toil, mengantar Toil sampai ke pintu taksi itu lalu memberitahu supir taksinya tempat tujuannya. Lantas setelahnya, ia kembali ke dalam restoran. Kembali duduk di depan Lisa, di kursinya tadi. "Dia akan menelepon kalau sudah sampai, jangan khawatir," kata Jiyong, memulai pembicaraan.

Sembari menyendok sedikit dessertnya, Lisa mengangguk. Mengaku kalau ia tidak mengkhawatirkan Toil, sama sekali. Toil pasti bisa tiba ke hotel dengan selamat. Ia pasti bisa memesan sebuah kamar di sana. Ia tidak akan tersesat apalagi dalam bahaya. Satu-satunya orang yang mungkin dalam bahaya adalah gadis cantik yang Toil temui di perjalanannya.

"Kalau kau sudah selesai, kau mau pulang sekarang?" tanya Jiyong, sebab hari sudah hampir tengah malam.

"Tidak, aku baru memesan kue lagi," geleng Lisa, menunjuk dessert yang sedang dimakannya sekarang. Ia baru saja memesan piring yang sama, sekali lagi.

"Kau benar-benar menyukainya?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk. Mengatakan sepotong tiramisu di depannya itu luar biasa enak. "Kau tidak akan bisa tidur kalau terus memakannya, ada kopi di dalamnya, kafein," tegur pria itu namun Lisa tidak peduli. Ia memang tidak bisa tidur selama tujuh hari terakhir ini. Hampir setiap malam terjaga, karena kakinya sakit setelah naik dan turun tangga, juga karena ranjang dan kamar yang tidak nyaman.

"Kapan kau mau kembali? Kapan urusanmu selesai? Kau akan mengundurkan diri?" tanya Lisa, sekarang penasaran. "Aku merasa sedikit bersalah," susulnya, membuat lawan bicaranya menaikan sebelah alisnya. Tidak benar-benar mengerti kenapa Lisa tiba-tiba merasa bersalah. "Sepertinya Toil berhenti jadi pengacara karenaku. Karena dia tahu tentang kasus orangtuaku, tapi tidak bisa melakukan apapun. Saat itu pasti berat baginya. Dia pernah bertanya padaku—untuk apa jadi pengacara kalau aku tidak bisa melakukan apapun yang benar?—jadi dia berhenti," cerita Lisa. "Lalu dia menemukan sesuatu yang baru. Menemukan sesuatu yang ingin dilakukannya, jadi produser. Kami berusaha sangat keras agar dia bisa jadi produser," katanya.

"Ayahnya tidak setuju?"

"Ayahnya marah. Sangat marah. Dia tidak langsung terkenal. Sekarang pun tidak seberapa terkenal. Di banding para idol, dia bukan apa-apa. Tapi Toil angkuh, diantara kita bertiga, dia yang paling angkuh-"

"Tidak, kau yang paling angkuh," ralat Jiyong, membuat Lisa menekuk wajahnya, cemberut. "Kau yang paling berkuasa dan kau yang paling angkuh, meski sulit, kau harus mengakuinya," susul Jiyong, dengan raut mengejek di wajahnya.

"Pokoknya, Toil tidak berbakat jadi public figure. Ayahnya pasti tahu itu. Tapi dia menyukainya, bahkan saat ada orang yang menulis komentar jahat tentangnya, dia menyukainya. Dia suka jadi pusat perhatian... Tapi, aku membuatnya harus berhenti lagi. Agar dia bisa mengerjakan kasus orangtuaku. Aku tidak bisa mempercayai Ahn Bohyun begitu saja. Aku merasa harus mengawasinya, karena ayahmu bukan orang sembarangan. Karena pamanku bukan lawan yang mudah."

"Kau bisa melakukannya sendiri, tapi kenapa meminta Toil?"

"Karena aku tahu aku tidak bisa melakukannya," santai Lisa. "Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Prancis, German sampai Spanyol, aku bisa mempelajari semuanya. Aku bisa menghafal semuanya. Tapi belajar hukum sulit sekali. Aku sudah bertahun-tahun bekerja di kantor, berangkat pagi dan pulang malam, tapi tidak ada yang aku lakukan di sana. Aku hanya dibayar untuk berpura-pura bekerja. Beban tim? Beberapa orang menyebutku begitu, di belakangku," aku Lisa, membuat Jiyong bertanya-tanya apakah temannya memang sebodoh itu. Baginya Lisa kelihatan pintar, meski ia tidak bisa menjelaskan alasannya berfikir begitu. "Satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk timku hanya menjadi penerjemah, kalau mereka perlu. Selain itu... Lebih baik mereka tidak meminta bantuanku, aku hanya akan mengacaukannya," katanya.

Mereka terus berbincang, sampai akhirnya semua pesanan Lisa habis. Gadis itu akan membayar makanannya sekarang. Tapi Jiyong sudah lebih dulu melakukannya, ketika ia keluar untuk mengantar Toil tadi. Lepas itu, mereka berjalan keluar dari restoran, bersebelahan namun tidak ada sentuhan di sana. Lisa menyimpan kedua tangannya di dalam saku, begitu juga dengan Jiyong.

"Jiyongie," gadis itu memanggil setelah beberapa basa-basi kecil diantara mereka. "Kalau kau sangat ingin tinggal di sini, bekerja di sini, kalau apa yang kau lakukan sekarang membuatmu senang. Lakukan saja. Tapi, biarkan aku mencarikanmu tempat tinggal lain, jangan di sana, ya?" katanya, sembari menoleh, menatap pada pria di sebelahnya.

"Katanya kau mau memeliharaku? Tidak jadi?"

"Aku tidak bisa melakukan itu hanya karena aku ingin. Aku tidak bisa memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau suka," katanya. "Kita sudah banyak saling melukai, sekarang waktunya berhenti. Aku sudah lelah. Aku sudah tahu alasanmu pergi, kita sudah bertemu lagi, aku sudah tahu bagaimana keadaanmu, kau pun begitu. Apalagi yang harus diributkan?"

"Kau memaafkanku?" ia berhenti melangkah. Menahan Lisa agar berhenti bersamanya, agar bisa ia tatap mata gadis itu.

Lisa mengangguk. Ia bisa memaafkan Jiyong. Ia sudah memaafkannya. Kalau belum memaafkan pria itu, untuk apa Lisa pergi ke Paris sekarang? Untuk apa ia bersikeras tetap tinggal di penginapan itu dan menemaninya? Untuk apa ia terus mengekorinya. Lisa memaafkan pria itu, entah dimana awalnya, namun maaf itu datang begitu saja. Tanpa peringatan, tanpa sebuah tanda juga formalitas apapun.

"Tidak ada alasan membencimu lagi, aku memaafkanmu. Kali ini sungguh-sungguh memaafkanmu, aku tidak lagi terluka karenamu," tenang gadis itu. "Aku bisa tersenyum bahkan saat melihat punggungmu," susulnya.

"Sampai beberapa jam lalu kau masih kedengaran marah padaku, kenapa tiba-tiba berubah?"

"Aku tidak marah. Sampai beberapa jam lalu, tidak, bahkan sampai sekarang, sampai kau pindah dari rumahmu itu, aku akan tetap mengkhawatirkanmu. Sama seperti aku mengkhawatirkan Toil saat dia sakit, aku khawatir sekali meninggalkanmu di rumah itu. Karena itu, setidaknya biarkan aku mencarikan rumah lain untukmu."

"Ah... Kau mengkhawatirkanku sama seperti kau mengkhawatirkan Toil?"

"Hm... Dan kau harus mensyukurinya," dagu gadis itu terangkat sekarang,  tersenyum seolah ia bangga akan sikapnya malam ini. "Aku tidak mengkhawatirkan mantan pacarku yang lain. Aku hanya mengkhawatirkanmu sebesar aku mengkhawatirkan suamiku, kau harus bersyukur karena punya teman sebaik aku," katanya, kali ini sembari menepuk bahu Jiyong. Mengakui pria itu sebagai pria yang pernah ia kencani, setelah sekian lama Jiyong tidak pernah mendengarnya. Membuatnya ingat, kalau sudah lama sekali sejak kencannya yang terakhir, bersama Lisa. Membuatnya ingat, kalau Lisa lah satu-satunya gadis yang pernah ia kencani.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang