32

192 46 2
                                    

***

Sudut bibir Toil terluka, telapak tangannya berdarah, cukup banyak dan ada bekas cakar di leher pria itu. Sedang Lisa, siku dan lututnya lecet, ada memar di pergelangan tangannya, dan kaki kirinya terkilir. Di cafe milik Dahee, dua orang itu duduk. Pegawai cafenya sibuk membuat kopi, sedang Dahee berdiri di belakang meja kasir, mencari kotak obat.

Jiyong berdiri di depan Toil juga Lisa. Pria itu berkacak pinggang, dengan sedikit luka cakar di lengannya. Jiyong tidak ingat, siapa yang mencakar tangannya. Mungkin Lisa, tapi bisa jadi itu luka dari kuku-kuku Toil. "Apa kalian anak-anak?!" sebal Jiyong, luar biasa malu karena dua temannya itu berkelahi seperti anak-anak di depan umum. Di trotoar.

"Kau tidak punya hak untuk berkomentar!" balas Lisa, yang dengan kaki kanannya, sengaja menendang tulang kering Jiyong. "Kalian berdua benar-benar bajingan! Bedebah! Aku benci kalian berdua!" marahnya, tidak peduli meski Jiyong sedang mengeluh kesakitan di depannya.

Dahee menghela nafasnya sekarang, lantas ia berikan kotak obatnya. Ia letakan kotak obat itu di atas meja, di antara Lisa dan Toil. Lepas memberi tanda kalau mereka harus mengobati sendiri luka masing-masing, Dahee melangkah menghampiri pegawainya. Menyuruh gadis itu untuk mengantarkan kopi mereka setelah mereka mengobati lukanya. Seseorang mungkin saja akan melempar gelas kopinya, kalau minumannya diantar sekarang.

"Ya! Ada apa denganmu?!" seru Toil, menunjuk-nunjuk Lisa dengan jarinya. Sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu. "Walaupun kau marah padanya, kau tidak-"

"Aku marah padamu, bajingan!" potong Lisa, menarik jari Toil yang menunjuk wajahnya, akan menggigitnya tapi Toil sudah lebih dulu menarik tangannya.

"Ya! Kenapa kalian berdua sangat kekanakan?!" Jiyong bergabung dalam kekacauan itu, tapi Lisa langsung menatap sinis padanya. Tatapan kesal di susul bentakan lain, berkata kalau Jiyong penyebab semua kekacauan ini.

Mereka bertengkar, bertukar makian, bertukar teriakan-teriakan yang menggangu telinga. Toil tidak tahu alasan Lisa marah, sedang Jiyong muak mendengar pertengkaran itu. Lisa terus marah, mengatakan kalau ia membenci kedua temannya itu. Mengatakan kalau dua pria itu sudah menipunya. Mengatakan kalau dirinya tidak ingin melihat dua pria itu lagi.

"Augh! Sialan! Setidaknya beritahu apa masalahmu! Kenapa?! Ada apa denganmu?! Apa yang membuatmu marah?! Kau berharap aku bisa menebak isi kepalamu itu?! Wanita dungu!" Toil yang marah akhirnya memukul meja di depannya.

Toil bisa saja pergi dari sana, Toil selalu jadi orang yang pertama pergi setiap kali mereka bertengkar. Kesabarannya yang tidak seberapa itu, tidak bisa bertahan lama ditengah-tengah debat kusir penuh makian. Namun sore ini Toil menahan dirinya, memaksakan dirinya tetap duduk di sana. Alasannya sederhana, karena Dahee memberitahunya kalau Lisa hampir jatuh dari atap. Hampir menjatuhkan dirinya sendiri.

"Augh! Bajingan sialan!" Jiyong terkejut karena suara pukulan Toil ke meja di sana. Suaranya keras sekali hingga Dahee berfikir mejanya akan hancur karena Toil. Harusnya ia menyuruh Toil berhenti berolahraga, akhir-akhir ini pria itu terobsesi membentuk ototnya.

"Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau saat itu Bibi Anna mabuk?" Lisa yang sebelumnya memaki, berteriak, menggebu-gebu, kini menurunkan nada bicaranya. Dengan datar gadis itu melontarkan pertanyaannya, menatap pada Toil lalu melihat ke arah Jiyong. "Kecelakaan itu terjadi karena Bibi Anna mabuk, iya kan? Dia mabuk lalu membunuh orangtuaku, kalian mengetahuinya, kan? Tapi kenapa kalian diam saja? Bukankah seharusnya kalian memberitahuku?" tuntut gadis itu, mendesak dua pria di depannya untuk menjawab pertanyaannya.

Sekarang dua pria di depannya membeku. Raut kesal di wajah Toil menghilang, rasa bersalah perlahan-lahan muncul di wajah kedua pria itu. Deru nafas yang sebelumnya terengah karena marah, kini melembut. Jiyong tidak lagi bisa berdiri. Ia bergerak mundur, duduk di kursi lain yang kosong.

"Aku minta maaf," Jiyong berkata. Pelan namun cukup untuk di dengar dua lawan bicaranya. "Aku benar-benar minta maaf, Lisa. Aku tidak bisa melakukan apapun waktu itu, aku tidak punya kekuatan apapun untuk membantumu, aku minta maaf," susulnya, tanpa berani menatap pada lawan bicaranya itu. Lisa memandanginya, lalu ia beralih menatap Toil yang ada di sebelahnya. Menunggu penjelasan dari pria itu.

"Ya," Toil akhirnya bicara. Setelah beberapa detik ia membisu. "Aku sengaja merahasiakannya darimu. Aku sengaja tidak memberitahumu. Aku takut kau benar-benar akan mati kalau aku memberitahumu, jadi aku merahasiakannya," susulnya, mengakui kebohongannya. Toil tidak pernah benar-benar berbohong, ia hanya tidak mengatakan apapun. Dan kalau pilihannya ternyata salah, ia pantas untuk di hukum.

Lisa berdiri sekarang. Sekali lagi mengumpat, menunjukan kekecewaannya dengan sangat jelas. Lantas setelahnya, gadis itu melangkah pergi. Keluar dari cafe itu, meninggalkan dua pria dengan rasa bersalah mereka. "Jangan mengikutiku," pesan Lisa, sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu.

Gadis itu melangkah pergi, Jiyong bangkit untuk mengekor, khawatir Lisa akan lepas kendali seperti sebelumnya. Khawatir Lisa akan berada dalam bahaya kalau dibiarkan pergi seorang diri. Namun Toil memegang tangannya, menggeleng dan meminta Jiyong untuk tetap tinggal. "Biarkan dia menenangkan dirinya, beri dia waktu," tahan Toil, mendorong Jiyong untuk kembali duduk.

"Apa maksudmu Lisa akan benar-benar mati kalau kau memberitahunya?" tanya Jiyong, beberapa saat setelah Lisa menghilang dari pandangan mereka.

"Sama seperti yang kau pikirkan," balas Toil, lalu Dahee bergabung bersama mereka. Ia duduk di depan Jiyong, sedang pegawainya mengantar pesanan mereka.

"Separah itu?"

"Hampir memotong tangannya sendiri, mau membakar dirinya sendiri, menabrakkan dirinya ke truk di jalan tol, minum pestisida, hampir overdosis obat, dia melakukan banyak hal dulu, kreatif sekali," jawab Toil, membuat orang-orang yang mendengarnya memijat pelipis mereka sendiri. Merasakan sakit kepala yang tiba-tiba datang.

"Kau menikah dengannya karena itu?" Jiyong bertanya, dan Toil menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala. Lisa melakukan semua percobaannya setelah menikah, setelah mereka berdua pergi keluar negeri.

Gadis itu merasa sangat terpuruk waktu itu. Ia merasa begitu lemah, tidak berdaya dan payah. Terlalu payah hingga ia perlu sebuah pernikahan hanya untuk mempertahankan apa yang dimilikinya. Terlalu pengecut, takut hartanya akan dikuras habis, takut ia tidak akan bisa hidup tanpa semua uang peninggalan orangtuanya. Ia terlalu tidak berdaya, terlalu bodoh hingga tidak bisa mencari jalan lain selain menikahi Toil.

Beberapa saat setelahnya, kedua pria itu tiba di rumah. Toil bergegas ke kolam renang, berharap ia bisa menemukan Lisa di sana. Tapi sayang, Lisa belum ada di rumah. Jiyong meminjam kunci mobil Toil, berkata kalau ia akan pergi mencari Lisa. "Sebenarnya kemana mobilmu?" heran Toil, meski tetap ia berikan kunci mobilnya.

"Tentu saja aku kembalikan pada pemiliknya," balas Jiyong, bergegas masuk ke dalam mobil setelah menyerah mencari Lisa di rumah. "Kau tunggu dia di rumah, siapa tahu dia pulang," suruh Jiyong kemudian.

"Kau tahu dimana Lisa sekarang?" tanya Toil, berdiri di sebelah pintu mobilnya, memandangi pria yang katanya akan mencari istrinya itu.

"Tidak tahu- akan aku pikirkan di jalan," kata Jiyong, bergegas menyalakan mobil itu.

"Dia mungkin berjalan kaki pulang ke rumah, atau ke restoran tempatnya makan siang tadi, mengambil mobilnya."

"Dimana dia makan siang?"

"Tidak tahu."

"Ya! Ahn Toil!"

"Ya! Kau pikir aku memasang GPS di tubuhnya?!" Toil balas berseru. "Ah! Atau cari dia ke perpustakaan kota," suruhnya kemudian.

"Perpustakaan? Kenapa?"

"Mungkin dia ada di sana? Cepat pergi kalau kau mau mencarinya!"

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang