***
Lisa selesai makan, sementara Jiyong hampir tidak menyentuh miliknya. Pria itu memegang sumpitnya, hanya untuk membantu Lisa memotong makanannya. Sekarang keduanya diam, Jiyong duduk di atas sofa, sementara Lisa di karpet, di sebelah pria itu. Keduanya bersandar, pada sandaran yang ada di belakang mereka.
Lisa menatap lurus pada langit-langit kamarnya, sementara Jiyong memandanginya. Jemari pria itu bergerak, sangat pelan, hanya sedikit menyentuh helai rambut yang tersampir di sofa, tepat di sebelahnya. Bahkan Lisa tidak akan bisa merasakan sentuhan itu, saking sedikitnya ia menyentuh. Hanya ujung-ujung jarinya yang menyentuh ujung dari helai rambut gadis di sebelahnya.
Diluar suara bising terdengar. Musik yang cukup keras dari kamar sebelah— yang suaranya masuk lewat bukaan pintu balkon— juga riuh tawa di kolam renang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Jiyong, setelah lama mereka membisu.
"Kau tidak akan senang mendengarnya," balas Lisa, yang saat ini tengah membayangkan bagaimana raut wajah Toil, juga Jiyong, jika ia mengakhiri hidupnya malam ini.
"Kau ingin tahu bagaimana aku hidup selama ini?" tanya pria itu sekali lagi. Sebab tadi—beberapa waktu lalu— mereka berhenti membicarakannya. Lisa berhenti bicara setelah berkata kalau ia ingin makan dalam diam. "Kau mau pergi ke Paris? Bersamaku?" tawar Jiyong kemudian, berkata kalau ia akan menunjukan bagaimana hidupnya selama ini— jika Lisa bersedia pergi bersamanya.
"Kau jadi semakin tidak tahu malu sekarang," komentar Lisa, menanggapi tawaran itu. "Kau ingin mengajak istri dari temanmu pergi ke Paris bersamamu? Gila," katanya kemudian.
"Aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak bilang kita hanya akan pergi berdua," kata Jiyong. "Tapi kalau kau berpikir begitu, aku tidak keberatan. Sekalian saja. Ayo ke Paris bersamaku, toh di sini, suamimu juga berselingkuh dengan banyak perempuan," susulnya.
"Kau pasti merasa kalau kau lebih baik darinya," kata Lisa, ia buat Jiyong terdiam.
Ia memang merasa begitu. Ia tertangkap basah saat merasa begitu. Ia tidak pernah menyelingkuhi siapapun, tentu ia boleh merasa begitu? Satu-satunya orang yang Jiyong lukai hanya Lisa—menurutnya. Tidak ada wanita lainnya. Tidak seperti Toil yang terang-terangan melukai banyak perempuan.
"Kau yang terburuk," susul Lisa.
"Bagaimana aku bisa memperbaikinya?" tanya Jiyong kemudian. "Kau ingin aku memukul Toil? Kalau aku membunuhnya, apa kau akan- akh!" pria itu berseru, mengeluh kesakitan sebab Lisa memukulnya— lalu mencubit pahanya dengan cukup keras, meremas paha yang terlapis celana jeans.
"Kau benar-benar yang terburuk," sebal Lisa kemudian. "Dia satu-satunya orang yang tetap ada di sisiku, saat semuanya pergi. Kau akan merebutnya dariku juga?! Bajingan jahat," katanya kesal, sekali lagi memukul paha yang tadi ia cubit.
"Maaf," pelan Jiyong kemudian. "Aku hanya ingin menghibur- tidak... Aku tidak mengerti. Katakan saja Toil satu-satunya pria yang tetap disisimu. Katakan kau tidak punya orang lain selain dia. Tapi kenapa kau membiarkannya berkencan dengan gadis lain? Kalau kau sangat menyukainya, sangat bergantung padanya, sangat menyayanginya, kenapa kau membiarkannya tidur dengan wanita lain? Dia suamimu. Bagaimana kalau dia meninggalkanmu untuk wanita yang lebih dicintainya? Agar dia tidak meninggalkanmu, kau membiarkannya berselingkuh? Kenapa? Bagaimana bisa? Aku tidak memahaminya," oceh pria itu kemudian, yang sekarang turun, ikut duduk di atas karpet bersama dengan teman kecilnya itu. Menatap gadis itu, menuntut sebuah jawaban. "Kau mencintai Toil sebesar itu?" tanyanya, tidak benar-benar ingin tahu sebab ia khawatir jawaban Lisa akan melukainya.
"Kalau kau punya adik, kau akan melarangnya berkencan?"
"Huh? Kau mau bilang kalau Toil itu adikmu? Klise sekali," komentar Jiyong. "Kalau dia adikmu, berarti aku juga adikmu? Karena kau lahir beberapa bulan lebih dulu? Tapi tetap saja. Rasanya tidak mungkin, kalau kalian menikah selama itu, tetap melakukannya, tapi dia hanya adik untukmu? Tidak mungkin. Mustahil."
"Melakukannya? Ahh... Toil bilang begitu padamu? Berarti anggap saja kami incest," santai Lisa. "Tapi sampai kapan kau akan duduk di sana? Kau tidak akan kembali ke kamarmu sendiri?" tanyanya kemudian.
Jiyong sempat terdiam. Ia cari berbagai alasan masuk akal yang lewat di kepalanya. "Di bawah berisik," begitu alasan yang akhirnya ia pilih. "Gadis yang bilang akan menginap tadi, aku mengenalnya," susulnya kemudian, lagi-lagi mencari alasan untuk tetap berbincang. Untuk tetap di sana, mengobrol hingga ia rasa Lisa sudah melupakan keinginannya sebelum makan tadi.
"Siapa dia? Aku tidak mengenalnya."
"Huh? Kalian bicara tadi."
"Tidak," tanpa menggeleng Lisa menanggapi pernyataan itu. "Dia yang bicara, aku hanya menanggapinya. Siapa dia? Pacarnya Toil?"
"Menurutmu Toil akan membiarkan pacarnya berkeliaran diantara teman-temannya dengan bikini?"
"Dia tidak akan peduli."
"Begitu? Tapi gadis tadi bukan kekasihnya Toil. Saat pertama kali datang ke Bellis, gadis itu yang menjemputku di bandara. Dia stylist di agensi, tapi bukan perusahaan ayahku. Kami pernah bekerja sama saat ada event di Paris. Aku terkejut melihatnya memakai bikini di sini, biasanya kami hanya bertemu di acara-acara formal. Saat bekerja," cerita Jiyong namun Lisa hanya mengangguk, menanggapi ceritanya dengan beberapa oh, tapi tidak seberapa peduli. Duduk seolah isi kepalanya tengah berlabuh pada pikiran-pikiran lain.
"Duduk saja di sini kalau tidak mau pergi ke kamarmu. Aku mau tidur," balas Lisa, yang akhirnya berdiri. Ia berjalan ke ranjangnya, meraih sepasang penutup telinga juga penutup mata di nakas, memakainya lalu mulai berbaring. Tidur sembari memunggungi tamu yang masuk ke dalam kamarnya.
Melihat Lisa berbaring tanpa memberinya kesempatan untuk melarang, Jiyong menghela nafasnya. "Selamat tidur," pelannya, tetap duduk di sana. Pria itu kemudian meraih handphonenya, memberitahu Toil kalau Lisa sudah pergi tidur lewat sebuah pesan. Butuh lima menit, sampai Toil akhirnya membaca pesannya, juga membalasnya.
"Baiklah, biarkan dia tidur, keluar saja dari sana pelan-pelan," suruh Toil, tetap lewat sebuah pesan.
"Tidak mau, dia mengizinkanku tetap di sini," balas Jiyong, lantas meninggalkan handphonenya ke atas meja. Mengabaikan beberapa pesan yang kemudian masuk, dari Toil.
***
Happy new year 🎊
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...