***
Tanpa berpamitan, Jiyong kembali ke Paris. Pria itu tahu kalau Lisa dan Toil datang ke acaranya—Bellis fashion week—namun ia menolak menemui keduanya. Beralasan kalau dirinya super sibuk, terus ia hidari teman-teman lamanya itu. Ayah dan ibunya pun muncul dalam acara itu, tapi Jiyong juga menghindari mereka.
Ia hindari semua orang, seolah dirinya akan kembali melarikan diri. Tapi beberapa hari setelah ia kembali ke Paris, dilihatnya sang ibu berada di luar gedung tempatnya tinggal. Berdiri di sana, lalu berpapasan dengannya. Bertukar tatap, hingga Jiyong tidak bisa berpaling, tidak bisa berlaga buta lalu mengabaikannya.
"Kau sudah terlalu lama pergi, pulanglah," begitu kata sang ibu, di kedai kopi dekat tempat putranya tinggal. "Kami sudah memberimu banyak sekali toleransi. Sekarang, kembali lah ke tempatmu," susulnya, memaksa putranya untuk kembali pulang bersamanya.
"Sudah berkali-kali aku katakan," pria itu akhirnya bicara. Setelah berkali-kali ia menggumam untuk membalas basa-basi ibunya. "Aku tidak ingin bekerja di perusahaan. Kalau tidak ada yang bisa mengambil alih, pilih saja CEO profesional," katanya.
"Kenapa? Setidaknya beritahu kami alasanmu menolak. Hanya tidak ingin? Hanya itu alasan yang bisa kau katakan bahkan setelah kami membiarkanmu tinggal di sini bertahun-tahun?" desak sang ibu, hampir kehilangan kesabarannya. Sudah hampir sepuluh tahun ia menunggu putranya kembali. "Saat datang ke Bellis kemarin, kau bahkan tidak pulang ke rumah. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Aku benar-benar tidak bisa memahaminya. Kau begini karena dijodohkan dengan Lisa? Perjodohannya sudah lama dibatalkan, lalu apa lagi masalahnya sekarang? Lisa bahkan sudah menikah dengan Toil, kau kembali pun, kami tidak akan memaksamu menikah dengannya, apa lagi yang kau khawatirkan?"
Kematian orangtua Lisa lah yang jadi masalahnya. Kebenaran atas kecelakaan yang terjadi pada orangtua Lisa lah yang membuatnya tidak bisa tinggal di Bellis. Rasa bersalah, bercampur kekhawatiran mengikatnya, menjadi rantai di kakinya, yang membuatnya merasa tidak boleh mendekati Lisa.
Hari itu, orangtua Lisa kembali dari Jepang. Penerbangannya malam, lalu Kwon Anna menawarkan diri untuk menjemput mereka, di bandara. "Kita akan jadi keluarga, biarkan adikku yang menjemputmu di bandara," begitu kata Tuan Kwon, mengirim Anna untuk menjemput orangtua Lisa di bandara. Tapi orangtua Lisa tidak pernah kembali malam itu, keduanya tewas dalam sebuah kecelakaan. Entah beruntung atau justru sebaliknya, hanya Anna yang selamat.
Kejadiannya dianggap kecelakaan. Tanpa Jiyong mengerti bagaimana detailnya, Anna tidak bersalah. Kematian itu murni karena kecelakaan, dan tidak seorang pun dihukum. Lisa tidak mengetahui apapun, ia tidak memahami apapun, yang Lisa tahu, dunianya baru saja runtuh. Orangtuanya baru saja meninggal, pergi meninggalkannya karena sebuah kecelakaan.
Tapi Jiyong tahu. Jiyong sangat tahu, kalau malam itu, Anna mabuk. Tidak hanya mengetahuinya, Jiyong juga memberitahu ayahnya. "Aku hampir gila karena seks pertamaku, Bibi Anna menemaniku minum-minum, Bibi Anna membelikanku koktail, whiskey, bahkan vodka malam itu. Dia minum bersamaku. Dia mabuk! Itu bukan hanya kecelakaan! Kecelakaan itu terjadi karena Bibi Anna mabuk!" Jiyong bersikeras, tapi ia justru dihukum karena berhubungan seks, juga dihukum karena minum alkohol.
Ayahnya tidak mempercayainya. Ayahnya bilang begitu—Anna tidak mungkin menyetir sambil mabuk. Tapi meski begitu, meski sang ayah mengaku tidak mempercayai ucapan putranya, Jiyong dilarang untuk bicara. "Jangan katakan omong kosong itu pada orang-orang, kau hanya akan membuat keadaan jadi semakin buruk. Kau hanya akan membuat Lisa semakin terpuruk," begitu kata ayahnya. Mengikat Jiyong dalam rantai rasa bersalah yang jadi semakin berat setiap harinya. Sampai akhirnya Jiyong tidak sanggup lagi menahannya, dan pergi dari rumah.
Sampai ibunya pergi, Jiyong tidak menjanjikan apapun. Ia berdiri di ujung jalan, melihat mobil ibunya yang perlahan-lahan pergi menjauh. Di jalan yang tidak seberapa ramai itu, Jiyong terus memandangi mobil sewaan ibunya. Baru beberapa detik Jiyong berdiri di sana, handphonenya berdering. Lisa yang kali ini meneleponnya. Tidak seperti biasanya, bukan Toil yang menghubunginya.
Ia sempat ragu. Pria itu sempat menebak, kalau Toil sedang menjahilinya dengan nomor telepon Lisa. Namun akhirnya ia jawab panggilan itu dan suara pertama yang ia dengar adalah isakan Lisa. Gadis itu menangis, memanggilnya.
"Toil tidak mau bangun, bagaimana ini?" tanyanya, di sela-sela isakannya.
"Kenapa? Ada apa?"
"Ada kecelakaan saat konser," gadis itu masih terisak, membuat kata-katanya tidak jelas terdengar. "Toil tertimpa lampu, lalu... Lalu sekarang dia tidak mau bangun. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?" bingung Lisa, tergambar jelas lewat suaranya.
Di detik itu juga, Jiyong berlari. Kepalanya seolah berhenti bekerja sekarang. Satu-satunya yang terpikir olehnya hanya sang ibu. Alih-alih mencari taksi untuk pergi ke bandara, Jiyong berlari mengejar mobil ibunya. Beruntung, karena supir mobil itu melihatnya berlari, lantas menghentikan mobil setelah beberapa meter Jiyong mengejar.
Keringat sudah banyak membasahinya. Membuat Jiyong terlihat benar-benar buruk. Pria itu tidak bisa bicara sekarang, hanya ia tarik dan hela nafasnya, terburu-buru, terengah-engah. "Ada apa denganmu?!" bingung sang ibu, melihat lari putranya yang tiba-tiba jadi sangat cepat. Seingatnya, Jiyong tidak pernah berlari secepat itu, sejauh itu, sampai selelah sekarang. Bahkan di lomba lari sekolahnya, Jiyong tidak pernah menang. Sedari kecil, Lisa yang selalu menang di setiap lomba lari.
"Aku pulang sekarang," kata Jiyong, masih terengah. "Aku mau pulang sekarang juga, penerbangan tercepat. Apa yang harus aku lakukan? Ke bandara?" ucapnya, setengah ling-lung.
Sang ibu kebingungan, namun tetap ia suruh putranya masuk ke mobil. Menenangkan Jiyong dengan sebotol air mineral yang ada di dalam mobil, lalu pelan-pelan bertanya alasan pria itu berubah pikiran. Maka Jiyong beritahu ibunya tentang telepon Lisa beberapa menit lalu, yang mati begitu saja saat ia berlari.
Singkat cerita, setelah penerbangan panjang, Jiyong pergi ke rumah sakit. Ibunya yang lagi-lagi mengantar pria itu ke rumah sakit. Mengantar Jiyong sampai ke ruang rawat dimana Toil berada. "Kau sudah datang?" sapa Toil, saat dilihatnya Jiyong berdiri panik di ambang pintunya. Lisa ada di dalam ruangan itu, duduk di sebelah ranjang dengan rambut dan pakaian berantakan.
"Bagaimana-"
"Dia siuman tadi pagi," potong Lisa, enggan dituduh berbohong. "Aku meneleponmu, tapi tidak bisa," susulnya. Jelas Lisa tidak bisa menghubungi Jiyong, sebab pria itu mematikan handphonenya sepanjang penerbangan. Jiyong bahkan tidak ingat dimana ia menyimpan handphonenya.
"Kau tidak datang saat aku mengundangmu ke konserku, tapi kau datang saat aku sakit? Kau berharap aku mati ya? Jadi kau bisa merebut lagi-"
"Ya! Bajingan!" sela Jiyong, berteriak, membentak Toil sampai akan menarik kerah bajunya. Beruntung karena Lisa cepat menahannya.
"Jangan menyentuhnya!" marah Lisa, memegangi tangan Jiyong agar tidak meraih suaminya. "Dia harus sembuh dulu dan aku yang akan lebih dulu memukulinya!" seru gadis itu, menjauhkan Jiyong dari Toil. Sedang ibu Jiyong, yang juga ada disana, hanya menonton dari pintu. Menghela nafasnya karena sepertinya semua hal terkendali sekarang.
Ibu Jiyong kemudian melangkah masuk. Ia dorong putranya, juga Lisa yang saling memelototi. Wajah kesal keduanya tergambar dengan sangat jelas sekarang. Sedang Toil hanya terkekeh dengan wajah cerobohnya. "Apa yang terjadi padamu?" heran Ibu Jiyong, bertanya pada pasien konyol di ranjang itu.
"Hanya kecelakaan, tapi karena kelelahan, aku tidur lebih lama dari seharusnya," santai Toil, membuat Lisa kembali berteriak.
"Ya! Kau tidak bangun tiga hari setelah kepalamu dibelah!" sebal Lisa, sembari menunjuk-nunjuk kepala Toil yang sekarang diperban.
"Ah... Benar juga, kepalaku dioperasi, kapan aku bisa membuka perbannya? Aku ingin lihat sebanyak apa rambut yang mereka cukur," santai Toil, membuat Lisa semakin marah.
"Bajingan bodoh!" umpat Lisa. "Kau benar-benar harus mati! Sini! Biar aku membunuhmu! Aku potong saja kepala sialanmu itu! Kau tidak butuh kepalamu kan?! Biar aku potong, sekalian aku jadikan hiasan pagar! Ya!" Lisa yang marah sekarang di seret keluar. Disuruh keluar karena membuat keributan dalam kamar rawat VIP itu. Toil yang menyuruhnya keluar, menggerakan tangannya, menyuruh Jiyong untuk membawa Lisa pulang.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...