***
Toil sudah mengganti pakaiannya, tengah duduk di sofa dalam kamar Lisa ketika gadis itu keluar dari kamar mandinya. Dengan pakaian tidurnya, Lisa melangkah ke ranjang. Langsung menjatuhkan tubuhnya di sana sembari menghela nafasnya keras-keras. Toil langsung meletakan handphonenya di sofa, tepat di sebelahnya, ketika Lisa muncul.
"Hari ini aku bertemu dengan Bibi Anna," kata Lisa, tetap berbaring namun merubah posisinya jadi menghadap Toil. "Dia menyinggung tentang orangtuaku, katanya kali terakhir ia melihat Jiyong adalah saat terakhir ia bertemu orangtuaku. Karena itu aku sedih. Jiyong bisa muncul lagi, kembali lagi, tapi orangtuaku tidak," ceritanya, pada pria yang masih memandanginya.
"Setelah itu aku ingin mengadu padamu, tapi kau sedang bertengkar dengan kekasihmu. Lalu aku bertemu dengan Jiyong dan dia bilang, dia ingin kembali. Tapi bajingan itu tidak bisa dipercaya, iya kan? Dia selalu pergi saat situasi jadi tidak bisa diatasinya. Jadi aku menolaknya," Lisa melanjutkan ceritanya. Memberitahu semua detail yang terjadi hari ini pada Toil. Mengaku pada pria itu kalau ia merasa luar biasa menyedihkan.
"Sementara semua orang bergerak, bertemu orang lain, berkencan, punya teman, punya kekasih, punya keluarga, aku tetap berada di sana, sendirian. Aku malu karena terus bergantung padamu, aku merasa jadi benalu dalam hidupmu, tapi aku juga takut sendirian. Karena itu, aku mengirim pesan tadi. Karena aku tidak punya siapapun untuk menyelamatkanku, selain dirimu, menyedihkan sekali," katanya, tanpa merubah posisinya di ranjang.
"Kau hanya perlu berterimakasih padaku, untuk apa merasa jadi benalu?" balas Toil, dengan kaki yang sedari tadi ia naikan ke atas meja. "Kau punya banyak teman, kau tidak sendirian, kau hanya tidak mempercayai mereka. Karena itu, di saat seperti ini, kau merasa tidak bisa menghubungi siapapun. Padahal, kalau kau menelepon salah satu nomor telepon di handphonemu, mereka akan bersedia mendengarkan ceritamu," katanya kemudian.
Toil mendengarkan ocehan Lisa, berada dalam kamar itu sampai Lisa terlelap, lalu pindah ke kamarnya sendiri di sebelah. Keesokan harinya, ketika bangun, Toil melihat seporsi sarapan ada di sebelah ranjangnya. Roti isi dengan segelas susu, ada di atas nakas, menungguinya. "Terima kasih," pesan singkat ditulis di atas memo, di letakan di sebelah gelasnya.
Tanpa banyak berfikir, Toil menyingkirkan kertas itu, meraih susunya, mengisi perutnya tanpa bangkit dari ranjang. Baru setelah dua jam berbaring sembari membalas beberapa pesan di handphonenya, pria itu turun dari ranjangnya. Ia keluar dari kamarnya, dan melihat-lihat rumahnya yang sudah di dekorasi jadi rumah sepasang suami istri. Lisa terpaksa harus mengeluarkan semua foto-foto itu dari gudang, agar ibu dan ayah Toil tidak mencurigai mereka. Agar orang-orang yang datang, benar-benar berfikir kalau mereka sepasang suami istri pada umumnya.
Sekarang giliran Toil menyingkirkan foto-foto itu. Kekasihnya akan cemburu kalau melihat foto-foto itu. Lisa pun tidak akan bisa mengundang seorang pria ke rumah kalau masih ada foto-foto di sana. Tapi baru melihat seberapa banyak foto yang harus ia singkirkan, rasa lelah sudah lebih dulu menggerayanginya.
Ia bisa saja menelepon bibi yang biasa membersihkan rumahnya, menyuruh wanita itu untuk melakukan tugasnya. Tapi alih-alih memilih bibi biasanya, ia justru menelepon Jiyong. Meminta pria itu untuk datang ke rumahnya, secepat yang pria itu bisa. Toil pikir, Jiyong akan datang dalam dua atau tiga jam, ia memutuskan untuk bersantai di sofa, menonton TV sembari menunggu temannya datang.
Namun Jiyong datang lebih cepat dari dugaannya. Pria itu datang lima belas menit setelah teleponnya. Seolah ia memang sudah menunggu untuk diminta datang. Terlebih, bagian paling mengejutkannya, Jiyong datang dengan koper di tangannya. Juga pakaian pria itu yang masih sama seperti kemarin. "Apa itu?" tanya Toil, menunjuk koper temannya.
"Aku mau menginap," kata Jiyong. "Akan aku pakai kamar yang waktu itu," susulnya, tanpa malu-malu, tanpa rasa sungkan langsung melangkah ke kamar tamu di lantai satu. Jiyong simpan kopernya di sana, kemudian keluar untuk melihat keadaan Toil. "Lisa sibuk bekerja, tidak ada perawat atau dokter di sini, jadi aku akan tinggal untuk membantu merawatmu," kata Jiyong, tiba-tiba bersikap baik, tanpa umpatan, tanpa makian.
"Kau akan merawatku?" ulang Toil dan pria di depannya mengangguk.
"Kau sudah makan? Minum obat?"
"Ya! Bajingan! Ada apa denganmu? Kenapa kau bersikap begini? Kau jadi benar-benar sinting setelah babak belur? Siapa yang memukulimu?" tanya Toil, keheranan. Tidak terbiasa dengan perubahan yang tiba-tiba itu.
"Ayahku," santai Jiyong. "Kalau sebelumnya aku kabur dari rumah, sekarang aku diusir," susulnya kemudian.
"Kenapa?"
"Aku membuat ibuku pergi dari rumah," Jiyong masih mempertahankan nada bicaranya yang teramat santai. Ia ambil posisi, duduk di sofa lain, di sebelah Toil. "Ibuku pulang ke rumah orangtuanya, lalu aku diusir dari rumah setelah dipukuli," ceritanya.
"Kenapa? Sejak kapan?"
"Kemarin malam."
"Lalu dimana kau tidur semalam?"
"Di mobil."
"Kau datang ke rumah sakit untuk tidur di sana?"
"Hm... Tapi kau justru pulang, benar-benar tidak bisa diandalkan," gerutu Jiyong.
Siang ini Jiyong bercerita, kalau semalam ia mengakui alasannya kabur dari rumah. Awalnya ia dimarahi, karena melanggar janjinya. Karena ia tidak pergi ke kantor seperti janjinya. Karena ia tidak datang bekerja, seperti yang ia katakan sebelumnya. "Aku sudah memberimu banyak kebebasan, kau bisa tetap di Paris selama ini karena aku membiarkanmu berada di sana. Tapi setelah semua itu, kenapa kau bersikap begini? Kenapa kau tidak menepati janjimu? Kau tahu sudah berapa banyak orang yang sudah menunggu kedatanganmu di meeting hari ini?!" sang ayah marah, sebab Jiyong yang seharusnya datang ke rapat pemegang saham di hari pertamanya bekerja, justru mangkir dan mengabaikan semua panggilan ayahnya.
Jiyong dimarahi seperti seorang anak bermasalah. Seolah ia tidak pernah diharapkan keberadaannya. Nyonya Kwon yang awalnya ada di sana, berusaha menenangkan suaminya. Meminta suaminya untuk memberi Jiyong sebuah kesempatan lain. Mengatakan kalau Jiyong pasti punya alasan bagus atas ketidak hadirannya di kantor. Sampai tanpa sadar, Jiyong yang muak akhirnya membalas amarah ayahnya dengan kekecewaannya. Ia singgung lagi kasus Anna. Berkata, kalau Anna harusnya dipenjara sejak kematian orangtua Lisa waktu itu.
Lalu Nyonya Kwon terkejut. Ia berhenti membela Jiyong. Ia berhenti menenangkan suaminya. Wanita itu membeku, terkejut sebab selama ini tidak pernah ia ketahui kebenarannya. "Adikmu yang membunuh Jiah eonni dan suaminya? Dan selama ini kau menyembunyikan fakta itu?" Nyonya Kwon bertanya, sebelum akhirnya ia meledak dan pergi dari rumah.
"Ibumu tidak tahu soal itu? Selama ini?" Toil bertanya, setelah ia dengar cerita Jiyong akan malam yang membuatnya babak belur. Jiyong di pukuli, dengan stik golf dan memilih untuk diam saja, menerima semua pukulan itu. Seperti seorang pria bodoh.
"Hm... Aku juga tidak tahu, kalau selama ini ibuku tidak mengetahuinya," angguk Jiyong, lalu menghela nafasnya. "Keluargaku benar-benar berantakan, iya kan?" susulnya, seolah tengah mencari pembenaran atas sikapnya selama ini. Mencari alasan atas semua pelariannya selama ini.
"Augh! Bajingan, kenapa tidak satupun dari kita bertiga yang hidupnya normal?" gerutu Toil, lupa akan alasannya mengundang Jiyong.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...