***
"Setelah ini kau pasti akan pergi lagi. Jangan memberiku perhatian apapun. Aku tidak menginginkannya," penolakan yang Lisa katakan, membuat Jiyong berhenti bergerak. Pria itu tetap berlutut di depan kursi tinggi yang Lisa duduki, tetap diposisi memegangi kaki Lisa yang terluka meski gadis itu sudah menarik kakinya. Bak seorang berdosa yang dikutuk, Jiyong membeku di sana.
"Bertemu itu mudah, tapi berpisah tidak. Tidak mudah bagiku untuk melihat punggungmu, karena itu jangan meninggalkan jejak apapun, bangunlah," pinta Lisa, menarik lengan Jiyong agar segera bangkit. Duduk di sebelahnya atau pergi lagi dari sana, meninggalkannya sekali lagi.
"Aku ingin kembali," balas Jiyong, tetap menolak untuk bangun. Kembali ia raih kaki Lisa, melepaskan sepatu gadis itu, bersikeras untuk mengobati luka di sana. "Aku sangat ingin kembali, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya," ulangnya, tanpa menatap gadis yang ia ajak bicara. "Lisa, aku ingin kembali," pinta Jiyong sekali lagi.
Ia mendongak sekarang, menatap pada gadis yang duduk di depannya. Masih sembari memegangi kaki gadis itu, ia ucapkan lagi kata-kata menyedihkan itu. "Aku ingin kembali... Lisa, apa yang bisa aku lakukan untuk kembali?" katanya, sama sekali tidak terdengar dewasa, tidak terdengar keren, namun Jiyong bersumpah kalau kata-kata itu tulus dari hatinya.
Keduanya bertatapan sekarang. Namun Lisa tidak bisa menahan pandangan itu terlalu lama. Ia berpaling lantas menggerakan lagi tangannya, menarik bahu Jiyong, menyuruhnya untuk bangkit. "Jangan begini, bangun lah," pinta Lisa, menarik sampai Jiyong akhirnya berdiri di sebelahnya.
Lisa merubah posisi duduknya, menatap pada dinding kaca minimarket itu, menatap ke jalanan di depan mereka. Melihat beberapa mobil yang melintas, melihat juga para pejalan kaki yang berdiri menunggu giliran mereka boleh menyebrang. Jiyong masih menatapnya, melihatnya dari samping, menunggu jawaban atas pertanyaannya.
"Aku ingin kembali," lagi-lagi Jiyong mengulangi ucapannya.
"Jangan kembali padaku, jangan melihatku, just pass me by," balas Lisa.
Ia menoleh sekarang, balas menatap Jiyong namun tidak menunjukkan perasaan apapun. Sesekali matanya berkedip saat menatap pria itu. Nafasnya bergerak beraturan. Tidak ada kesedihan, tidak ada rasa penasaran, tidak ada perasaan apapun di sana. Tapi bukan karena Lisa tidak merasakannya, ia hanya berusaha tidak menunjukannya. Ia sembunyikan semua perasaan dalam dirinya, seperti bagaimana ia bertahan hidup selama ini.
"Anggap saja kau pergi karena melakukan kesalahan. Lalu, kalau kau kembali, apa semuanya akan kembali ke tempat semula?" tanya Lisa, bersamaan dengan pria di depannya yang tengah mencoba menilai dirinya. "Kau harus tahu, kalau aku sangat sedih. Aku terluka, sangat parah. Aku masih di sana, saat ketika orangtuaku pergi, saat ketika kau pergi. Waktu berlalu, orang-orang bergerak maju, tapi aku tidak pernah pergi dari sana. Karena itu, jangan kembali. Kau harus bahagia, setidaknya, salah satu dari kita harus bahagia, bukan begitu?" katanya.
Lagi-lagi Jiyong membeku. Tidak bisa ia katakan apapun sekarang. Hanya dengan menatap gadis di depannya, hatinya tercabik. Selama ini ia terluka, selama ini ia menahan sedih dalam dirinya. Selama ini ia hidup dalam penyesalan, rasa bersalah berkepanjangan, rasa takut yang tidak pernah pergi. Ia menderita selama ini, dan sekarang penderitaan itu terasa semakin sakit.
Tahu kalau bukan hanya ia yang bersedih. Tahu kalau bukan hanya ia yang terluka. Tahu kalau bukan hanya dirinya yang hancur. Tahu kalau Lisa sama berantakan seperti dirinya, membuat semua rasa bersalahnya, semua rasa sedihnya, jadi semakin besar.
Bahunya terasa semakin berat sekarang. Dadanya terasa semakin sesak, akan meledak. Kaki pria itu gemetar, berusaha keras ia tahan dirinya untuk tidak berbalik lalu berlari. Ia tahan dirinya agar tidak lagi melarikan diri, seperti biasanya. Berusaha ia pertahankan keberaniannya, berhenti jadi pengecut yang terus kabur karena tidak tahan melihat gadis di depannya terluka.
Keduanya terdiam sekarang. Tidak bisa Jiyong katakan apapun sebab semua kalimatnya berhenti di tenggorokannya. Ia tercekat, oleh apa yang ingin dikatakannya. Tidak tahan dengan suasana yang canggung itu, Lisa turun dari kursinya. Sembari berkata kalau ia harus kembali ke rumah sakit, beralasan dirinya harus memastikan Toil menghabiskan makanannya, Lisa lebih dulu melangkah pergi.
Gadis itu berjalan meninggalkan Jiyong. Membuat Jiyong harus melihat punggungnya, membuat Jiyong merasa dirinya ditinggalkan. Terlebih Toil yang Lisa jadikan alasan, membuat Jiyong semakin terluka. Menyebut Toil di antara mereka, terasa seperti menaburkan garam ke atas luka pria itu— tanpa Lisa menyadarinya.
Ia terus melangkah, menyebrangi jalan di depannya, akan kembali masuk ke rumah sakit namun Jiyong yang berlari menahan tangannya. Pria itu menarik Lisa dalam pelukannya. Bak adegan dalam film, Lisa dipeluk dan tidak bisa menolak pelukannya. Bohong kalau Lisa tidak merindukan pelukan itu. "Aku minta maaf," bisik Jiyong bersama pelukannya. "Aku bersalah, aku minta maaf, tolong beri aku satu kesempatan lagi," pinta pria itu, namun syuting filmnya tidak berjalan lama. Lisa sudah lebih dulu mendorongnya, melangkah mundur lalu mempertegas jarak di antara mereka.
"Jangan melewati batasmu, aku sudah menikah," kata Lisa, menunjuk kaki Jiyong agar tetap terpaku di tempatnya.
"Seperti Toil yang berkencan dengan wanita-"
"Ya, aku bisa berkencan dengan orang lain. Aku mau berkencan dengan orang lain," potong Lisa. "Seperti Toil, aku akan berkencan dengan orang lain, tapi tidak denganmu," tolak gadis itu. "Aku bisa memaafkanmu. Aku selalu bisa memaafkanmu. Tapi... Berapa banyak maaf yang harus aku terima agar aku bisa melupakan rasa sakitnya? Agar aku bisa berhenti khawatir kau tidak akan pergi lagi, berapa banyak maaf yang harus kau katakan?" tanyanya, yang kemudian menggelengkan kepalanya, menolak Jiyong yang ingin melangkah lebih dekat.
"Temannya Toil, teman suamiku, hanya itu hubungan yang bisa aku tawarkan padamu," susulnya, sebelum ia kembali berbalik dan melangkah pergi dari sana. Kali ini benar-benar pergi sebab Jiyong tidak lagi mengejarnya. Mungkin pria itu terkejut sekarang. Mungkin juga terluka karena Lisa hanya akan menganggapnya sebagai teman suaminya, bukan temannya apalagi kekasihnya.
Lisa tidak kembali ke ruang rawat Toil sekarang. Hari sudah berubah jadi malam, dan ia ragu kekasih Toil sudah pergi. Karenanya, karena ia dengar pertengkaran Toil dengan kekasihnya tadi, gadis itu memilih untuk pergi ke tempat parkir. Ia memilih untuk masuk ke dalam mobilnya, lantas mengemudi kembali ke kantornya.
Gadis itu masuk ke ruang kerjanya, secepat yang ia bisa. Buru-buru menutup pintu ruang kerjanya, lalu menahan pintu itu dengan punggungnya agar tidak lagi terbuka. Bak seorang yang sedang dikejar-kejar sesuatu, Lisa bersembunyi di dalam ruang kerjanya, di kantor.
Ia masih berdiri, bersandar pada pintunya, ketika rasa itu muncul—keraguan. Gadis itu sekarang ragu, benarkah keputusannya sudah benar? Apa semua yang ia katakan tadi tidak akan membuatnya menyesal? Lisa bertanya-tanya, sampai kakinya bergetar, merosot jatuh dan ia terduduk di lantai ruang kerjanya. Perlahan, ia yang ragu-ragu mulai menangis. Air matanya jatuh tanpa suara, menjadi satu-satunya teman dalam kesepiannya.
"Apa saja yang selama ini kau lakukan, Lisa? Kenapa kau harus melewati ini sendirian? Kenapa kau tidak punya seorang pun teman sekarang?" gadis itu bertanya-tanya, dengan air mata yang tidak bisa berhenti jatuh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...