***
Sepanjang malam Jiyong terjaga di atas ranjangnya. Ia tidak bisa tidur di sana, di rumah Toil yang besar, bersama dua sahabatnya yang sekarang jadi suami istri. Pria itu tidur di kamar tamu, di lantai satu, berbaring sembari membayangkan bagaimana Lisa dan suaminya tidur. Mereka pasti tidur bersama, Lisa yang memeluk Toil, atau sebaliknya? Apa yang mereka bicarakan sebelum tidur? Apa yang mereka lakukan sebelum tidur?— Jiyong terus bertanya-tanya dalam angannya sendiri. Terus membayangkan bagaimana suami istri biasanya menghabiskan malam mereka.
Meski sebenarnya, semua khayalan Jiyong itu jauh sekali dari kenyataannya. Toil tidur di kamarnya sendiri, sedang Lisa berbaring di kamar lain. Selain Toil, tidak seorang pun bisa tidur nyenyak malam ini. Sama seperti Jiyong yang larut dalam angan-angan, Lisa pun sama. Berbaring menatap langit-langit rumahnya sembari memikirkan cinta pertamanya. Memikirkan bagaimana ia harus bersikap, memikirkan bagaimana ia harus memperlakukan Jiyong.
Lisa menimbang-nimbang, haruskah ia beritahu Jiyong tentang pernikahannya sebelum pria itu salah paham? Karena kau pergi setelah kita dijodohkan, aku meminta Toil untuk menikahiku— haruskah ia berkata begitu pada Jiyong? Sepanjang malam Lisa tidak bisa membuat keputusannya sendiri. Rasanya ia hampir gila karena pikiran-pikirannya sendiri.
Baru sebentar setelah lewat tengah malam, kira-kira pukul tiga, Lisa memutuskan untuk keluar dari kamar tidurnya. Gadis itu membuka pintu kamar Toil, tapi seperti biasanya, pintunya terkunci. Toil mengunci pintu kamarnya setiap kali ia pergi tidur. Biasanya karena pria itu mengajak kekasihnya menginap.
"Musisi macam apa yang tidur jam tiga pagi? Bukankah kau harusnya bekerja? Dia pasti bohong saat bilang inspirasinya hanya muncul tengah malam," cibir Lisa, lantas melangkah pergi meninggalkan kamar itu.
Sembari memakai jaketnya, ia melangkah menuruni tangga. Gadis itu berjalan tanpa mengeluarkan suara apapun, tetap tenang sampai pintu lain di lantai bawah terbuka. Jiyong tiba-tiba muncul dari salah satu kamar tamunya. Sempat mengejutkan Lisa, namun gadis itu langsung ingat kalau Toil yang memaksanya menginap.
"Belum tidur?" tegur Lisa, memecah keheningan yang sempat terjadi di sana.
"Ah? Ya- tidak," canggung Jiyong, sembari menutup pintu kamar tamu di belakangnya, mencoba melakukan sesuatu untuk menutupi rasa canggungnya. "Aku perlu ke toilet," susulnya, membuat-buat alasan yang mungkin masuk akal.
"Toilet di kamarmu rusak?" tanya Lisa, langsung membuat Jiyong menyesali alasan bodohnya barusan. Ia bahkan tidak tahu kalau ada kamar mandi di dalam kamar tamunya. Jiyong tidak pernah berencana untuk pergi ke toilet. Ia hanya keluar karena merasa terlalu sesak di dalam sana.
"Tidak, aku... Aku sudah ke toilet di kamar, lalu sekarang haus," susulnya, lagi-lagi asal membuat alasan.
Lisa mengangguk, lantas menunjuk lemari es tempat Jiyong bisa mengambil minumannya. "Minum lalu istirahat lah, kau kelihatan berantakan," kata Lisa kemudian, mengomentari wajah Jiyong yang dibuat babak belur oleh teman serumahnya.
Tanpa berpamitan, Lisa melanjutkan langkahnya. Dari tangga, ia berbelok ke pintu utama, akan pergi keluar untuk mencari udara segar. Sedang Jiyong pergi ke lemari es dengan gerakan yang canggung. Sesekali pria itu melirik punggung Lisa yang berjalan keluar, sampai di depan lemari es, mulutnya bersuara.
"Mau kemana?" pria itu bertanya, dengan suara yang cukup keras. Sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Sekali lagi, Lisa dibuat kaget. Ia sama sekali tidak terkejut kalau Toil yang berteriak. Memanggil atau mengomel, suara Toil tidak lagi mengejutkan baginya. Bertahun-tahun hidup bersama, Lisa sudah sangat familiar dengan suara pria itu. Tapi milik Jiyong berbeda. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi gadis itu merindukan suaranya.
"Jalan-jalan di kebun, ada apa? Kau butuh sesuatu?" tanya Lisa, lalu yang selanjutnya Jiyong minta adalah berjalan dengannya.
Sekarang mereka berjalan di halaman rumah, bersebelahan sembari Jiyong memegangi botol air mineralnya. Jangankan meminumnya, segel botol itu bahkan belum ia buka sekarang. Tanpa mengatakan apapun, keduanya melangkah di atas rumput taman yang dipotong rapi. Berjalan ke arah halaman belakang tempat kolam renang berada.
"Selamat," Jiyong berucap setelah beberapa menit mereka sama-sama diam.
"Selamat?" Lisa mengulang ucapan itu, belum benar-benar memahami kemana arah pembicaraan mereka.
"Aku dengar kau menikah dengan Toil, selamat. Maaf juga karena tidak sempat datang ke pernikahan kalian," kata Jiyong kemudian.
"Ah... Terimakasih," Lisa mengangguk. "Tapi bagaimana kau tahu?" susulnya ingin tahu. "Uhm... Orangtuamu yang bilang?" sekarang Lisa terdengar sangat penasaran. Selain keluarga, tidak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. Bahkan orang-orang di firma hukum pun tidak mengetahuinya— tentu selain mereka yang berkuasa.
"Dahee noona yang bilang," jawab Jiyong. "Toil juga memberitahuku tadi sore," susulnya.
Lisa tetap diam sekarang. Membisu untuk menjaga lisannya agar tidak memaki Toil. Mereka berjanji untuk merahasiakan pernikahan itu, tapi Toil justru memberitahu Jiyong. Lisa merasa seperti sedang dikhianati sekarang. Toil baru saja mengingkari janji mereka. Toil baru saja mengkhianatinya.
"Bajingan bodoh itu benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya," sebal Lisa kemudian, setelah ia ingat kalau Toil juga membicarakan hubungan mereka bertiga dalam siaran langsungnya.
Jiyong diam saja mendengar keluhan Lisa. Tidak ada komentar yang bisa ia sampaikan sekarang. Tentu Jiyong menyetujui ucapan Lisa itu— Toil memang bajingan dan pria itu benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya— tapi mengungkapkan persetujuannya rasanya pun tidak benar. Lisa mungkin akan kesal kalau Jiyong menjelek-jelekkan suaminya sekarang.
"Sekarang kau sudah tahu kalau aku dan Toil menikah," gumam Lisa kemudian, karena Jiyong tidak menanggapinya. "Boleh aku tahu kemana kau pergi selama ini? Aku penasaran," susulnya.
"Paris," jawab Jiyong. "Aku tinggal di Paris sekarang," tambahnya.
"Lalu alasanmu ke sini? Bellis fashion week?" tebak Lisa dan Jiyong mengangguk, mengatakan kalau ia akan memamerkan beberapa koleksinya dalam acara itu.
"Whoa... Hubungan kita benar-benar lucu," komentar Lisa. "Dulu aku ingin jadi designer, tapi sekarang aku pengacara. Toil ingin jadi pengacara tapi jadi musisi, dan kau yang ingin jadi musisi justru jadi designer? Kita bertiga ini bertukar mimpi atau bagaimana?" kekehnya.
Lisa menertawakan pekerjaan mereka sekarang. Menertawakan bagaimana akhir dari hubungan mereka. Namun Jiyong tidak menganggapnya lucu. Bahkan tersenyum pun tidak. "Aku memutuskan jadi designer karenamu," pelan pria itu di tengah-tengah lawan bicaranya.
"Ya?" tanya Lisa, berlaga tidak mendengar dengan jelas ucapan Jiyong tadi.
"Saat melihatmu menggambar pakaian, aku rasa sepertinya itu menyenangkan. Aku mencobanya di Paris, lalu tanpa sadar sudah sejauh sekarang," kata Jiyong, lagi-lagi hanya mencari alasan. Meski ucapannya sekarang tidak lah seratus persen bohong. Lisa mengangguk setelah mendengar jawaban itu. Hanya ia ulas senyumnya sembari mengangguk. Sembari berdiri di halaman belakangnya, di tepi kolam. "Kau tidak menggambar lagi sekarang?" tanya Jiyong kemudian.
Ditanya begitu, Lisa menggelengkan kepalanya. "Aku masih sibuk menyesuaikan diri," katanya. "Harusnya dulu aku ikut belajar bersama kalian, aku menyesal karena tidak pernah serius belajar sebelumnya," akunya kemudian.
"Pekerjaanmu berat?"
"Uhm... Ada banyak hal yang harus dihafal, aku juga harus banyak berfikir, banyak detail yang harus diingat, sulit sekali menyesuaikan diri dengan pekerjaan ini," kata Lisa. "Tapi ada Toil, dia cukup membantu, kalau sedang waras... Masalahnya, dia lebih sering gila daripada waras. Kau sudah melihatnya, bagaimana kelakuannya kalau sedang gila," susulnya, memuji sekaligus mengeluhkan tingkah teman serumahnya.
"Toil memukulmu?! Kalau sedang tidak waras?" kini Jiyong tidak bisa menutupi rasa kagetnya. Tidak juga bisa ia sembunyikan rasa khawatirnya. Pria itu menatap Lisa, memperhatikannya dari atas kepala sampai ke kaki, mencari-cari tempat Toil mungkin memukulnya.
"Apa yang mengejutkan dari itu?" bingung Lisa, sebab dalam ingatan gadis itu sedari kecil ia dan Toil sudah terbiasa berkelahi— meski tidak pernah sampai babak belur.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...