Epilog

468 46 3
                                    

***

Waktu bergerak cepat setelahnya. Kini dua tahun sudah berlalu. Ada banyak hal yang berubah-ubah selama satu tahun terakhir ini. Orangtua Jiyong bercerai, mereka yang terlibat dihukum, Toil berhasil mengerjakan bagiannya sampai selesai, meski kasusnya memakan waktu yang amat panjang.

Sekarang pria itu kembali pada rutinitas lamanya, bercengkrama dengan teman-teman musisinya, mulai memproduksi lagu lagi. Sedang Lisa, ia tetap sama, jadi pengangguran super sibuk dengan segudang jadwalnya. Kadang ia pergi menemui ibu mertuanya, kadang ia tinggal di rumah ibunya Jiyong. Sesekali ia ikut kelas memasak, sesekali mendaftar ke kelas memahat, atau melukis, bahkan ada di satu hari ia tiba-tiba ikut kelas kaligrafi. Lisa melakukan segalanya, untuk mencari apa yang disukainya.

Sedang Jiyong sibuk terbang kesana-kemari. Ia tetap bekerja di Paris, meski lebih banyak menghabiskan waktunya di Bellis. Ia tengah menyiapkan labelnya sendiri sekarang. Dibantu ibunya, dengan semua harta yang berhasil didapatnya dari sidang perceraiannya. Bak sebuah akhir bahagia dalam drama, semua kembali ke tempatnya masing-masing. Meski begitu... sangat disayangkan, Orpheus belum berhasil merebut Eurydice kembali dari tangan Hades.

Hari ini mereka tidur bersama, Lisa dan Toil. Berbaring bersebelahan di sofa ruang tamu dengan banyak camilan di atas mejanya. Kaleng-kaleng bir berserakan, sisa-sisa keripik pun ada dimana-mana. Toil berbaring di sofa, terlelap sejak beberapa jam lalu. Di sebelahnya Lisa pun sama, terlelap dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Lalu di karpet, seorang pria juga berbaring di sana. Ada wanita lain juga, di atas sofa, yang tidur dengan kaki ditumpangkan ke sandaran sofanya. Lalu di sofa single dekat mereka, pria lain terlelap, dan kakinya ditumpangkan ke atas meja, sesekali menendang kaleng bir juga bungkus camilan yang ada di sana.

Ruangan itu berantakan. Kotor juga dingin karena Toil membuka pintu kacanya. Di buka lebar, seratus persen, hingga angin dingin dari luar bisa masuk ke dalam rumah itu. Alarm lalu berbunyi, membangunkan satu persatu orang di sana, mengganggu mereka yang kemudian memilih untuk pindah ke kamar tamu. Tidur di atas ranjang empuk yang nyaman, juga hangat.

Perlu enam kali alarm itu berbunyi, juga perlu delapan panggilan sampai Lisa bangun dari tidurnya. "Ahn Toil, Toil, Toil," katanya, menepuk-nepuk pria yang tepat ada di sebelahnya. Berbagi sofa sempit itu berdua, membuat ia terdesak ke arah sandaran sofanya, agar Toil tidak terguling jatuh, menindih temannya di karpet.

"Hm? Aku masih mengantuk," kata pria itu, mendorong tubuhnya semakin ke belakang, membuat Lisa semakin terhimpit di sofa mereka.

"Jangan lupa menjemput Jiyong jam delapan," kata gadis itu. "Nanti dia mengomel lagi," susulnya.

"Kau saja, ini giliranmu menjemputnya. Aku mabuk," tolak pria itu. Terus bergerak, menarik selimut Lisa agar bisa menutupi kepalanya, menghalau sinar yang membuatnya silau.

"Ini giliranmu, aku sudah mengantarnya minggu lalu. Cepat berangkat, sebelum jam delapan," suruh Lisa, juga bergerak mendorong Toil, agar pria itu jatuh lalu segera bangun dan pergi ke bandara, menjemput Kwon Jiyong yang katanya akan tiba jam delapan pagi nanti.

"Jam berapa sekarang? Suruh dia naik taksi saja," keluh Toil, namun ada suara lain yang menjawab pertanyaannya, mengatakan kalau saat itu sudah jam sebelas siang.

Toil membuka matanya mendengar suara itu. Begitu juga dengan Lisa yang ada di sebelahnya. Keduanya lantas bangun, lalu melihat ke sekeliling, pria yang tidur di karpet masih ada di sana. Masih setengah mengantuk tapi pelan-pelan bergerak bangun karena kakinya di senggol. Di tenang-tenang pelan, untuk membangunkannya.

"Tidur lah di kamar," kata Jiyong, orang yang mengganggu pria di karpet tadi.

"Ya! Kapan kau datang?!" Toil berseru, seketika tersadar dari kantuknya. "Kau bilang pesawatmu besok?" asal pria itu, tetap beralasan meski tahu ucapannya tidak masuk akal.

"Augh! Kenapa sekarang ada dua pengangguran di sini?!" heran Jiyong, sengaja menarik selimut di atas sofa itu, mengganggu dua temannya yang berantakan setelah pesta kecil semalam.

"Toil yang mulai," seru Lisa. "Dia yang mengundang teman-temannya ke sini," susulnya. "Aku tidak ingin begadang, aku benar-benar berencana menjemputmu tapi kesiangan karena Toil, sorry," susulnya, lantas bangkit, akan melangkah pergi ke kamarnya di atas.

"Kami datang untuk bekerja! Kau yang mengganggu pekerjaanku karena mau menonton film!" seru Toil, tidak mau bersalah sendirian. "Tapi... Ya! Kwon Jiyong! Apa kau tidak bisa naik taksi sendiri?! Manja sekali setiap datang harus dijemput!" gerutunya kemudian, terus menyalahkan semua yang ada di sana.

"Kalian yang bilang mau menjemputku! Augh! Tidur saja sana! Aku mau pulang!" sebal pria itu, sudah mengangkat tangannya, akan memukul kepala Toil yang masih acak-acakan.

"Kau merajuk? Kau pikir aku ayahmu?! Ya! Kemana kau mau pergi?!" seru Toil, sedang Lisa yang mendengar semua itu dari lantai dua memilih untuk mengabaikannya. Ia lebih butuh tidur daripada ikut berdebat dengan dua pria di bawah.

Tetap Lisa langkahkan kakinya ke kamar, membuka pintunya kemudian menemukan sebuah buket bunga di sana. Sebuah buket bunga warna-warni dalam keranjang, di letakan di atas meja lengkap dengan kartu ucapannya.

"Coba dengarkan ♪ Toil, Gist - Puzzle, aku yang menulis liriknya. Perasaanku, untukmu, Jiyong," begitu yang Lisa temukan dalam kartu ucapan itu. Buket bunga yang Jiyong letakan sebelum membangunkan mereka. Perasaannya yang ia sampaikan sebelum bertengkar di bawah, dengan Toil.

"Augh! Chessy!" keluh Lisa, menggerutu dengan sudut-sudut bibirnya yang terangkat, tersenyum sembari mengusap lembut kelopak bunga dalam buketnya. Lantas setelahnya, ia angkat buket itu, meletakan keranjang penuh bunga itu di ranjangnya, lalu berbaring di sebelahnya. "Tidur dulu sebentar ya? Nanti noona dengarkan lagunya," katanya, pada sekeranjang bunganya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang