39

208 43 2
                                    

***

Jiyong baru saja mengantar bibi yang membersihkan rumah keluar ketika dua mobil melaju mendekat lalu terparkir di rumah itu. Lisa keluar dari mobil pertama, lalu Toil menyusul dari mobil yang kedua. Lisa membawa makanan di tangannya, sedang Toil membawa setumpuk berkas dari kursi belakang mobilnya. Keduanya datang dengan wajah suntuk mereka, sementara Jiyong yang berdiri di depan rumah hanya memperhatikan keduanya.

"Roda baru saja berputar," kata Toil, menyapa Jiyong yang sedang menunggu momen tepat untuk bertanya.

"Ya! Siapa yang memasang foto sialan itu?! Turunkan fotonya sekarang!" di luar, Jiyong juga Toil bisa mendengar suara Lisa berteriak.

"Sepertinya aku akan segera diceraikan," Toil berkomentar, setelah ia hela nafas panjangnya. "Manfaatkan kesempatanmu dengan baik, bajingan," susulnya, lantas menepuk bahu Jiyong dengan sebelah tangannya.

"Sesuatu terjadi? Ada apa?" tanya Jiyong, mengekor masuk sembari menyimpan kedua tangannya dalam saku celananya.

Makanan yang Lisa bawa, gadis itu letakan di atas meja. Toil menyusul, meletakan semua berkas yang dibawanya ke meja yang sama. Lantas pria itu melepaskan jasnya, meletakannya di kursi kemudian kembali melangkah ke sofa. Kembali berbaring di sana.

"Untuk beberapa bulan ke depan, aku akan bekerja di kantor ayahku," kata Toil. "Lalu setelah Lisa menyerahkan tugas-tugasnya ke pengacara lain, mungkin minggu depan, atau bisa jadi bulan depan karena dia bodoh, dia akan cuti. Kau pengangguran, kan? Kau pastikan teman bodohmu itu tetap hidup selama dia cuti," susulnya kemudian. "Sementara aku akan mati pelan-pelan sambil tersiksa di kantor," keluhnya, sejak siang tadi.

"Kau akan jadi pengacara lagi? Kenapa?"

"Kenapa lagi? Tentu saja karena Lisa," balas Toil. "Aku akan menganggu ayahmu. Menuntut ulang kasus bibimu, mengungkap pemalsuan bukti yang dilakukan ayahmu dan pamannya Lisa. Ibumu akan membantu penyelidikannya. Kau juga akan- tidak... Kau tidak perlu melakukan apapun, temani Lisa saja. Dia pasti akan bosan sendirian di rumah. Ah! Dan temui ibumu, tadi aku bertemu dengannya lalu dia menanyakanmu. Dia ingin tahu apa kau sudah kembali ke Paris atau masih di sini, aku tidak memberitahunya kalau kau tinggal di sini," oceh Toil.

Setelahnya, selama satu minggu penuh, persis di tiap malamnya, Jiyong dan Toil mendengar suara tangis dari ruang tamu. Bak tengah memberontak, Lisa menunjukan sisi yang tidak pernah keduanya lihat. Di ruang tamu, gadis itu menyalakan TV-nya, menonton semua program acara menyedihkan yang bisa ia temukan. TV menyala sedari Lisa pulang kerja, dan tidak lagi dimatikan sampai gadis itu pergi kerja.

"Kenapa kau menonton di sini?" heran Toil, yang biasanya memakai TV itu. Lisa selalu menonton di kamarnya. Lisa selalu berada di kamarnya, segalanya sudah ada di sana, ia tidak punya alasan untuk beraktifitas di luar kamar.

"Kenapa memangnya? Ini rumahku," balas gadis itu, sembari menangis. Air mata mengalir deras di wajahnya, sampai Toil pikir gadis itu sengaja memakai sesuatu agar air matanya selalu keluar.

"Baiklah, menonton lah di sini, tapi tolong berhentilah menagis!" kata Toil.

Awalnya pria itu iba, awalnya Toil kasihan melihat Lisa selalu menangis di ruang tamu. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai terganggu karenanya. Lisa menangis tanpa alasan, seolah sedang menghukumnya. Membuat pria itu merasa bersalah, membuatnya merasa canggung.

"Kenapa? Orang yang aku percayai membodohiku selama bertahun-tahun, aku tidak boleh menangis karenanya?" balas Lisa, membuat Toil yang berdiri di depannya, juga Jiyong yang ada di meja makan-sedang mengupas apel-hanya bisa menghela nafas mereka. Ini sudah hari ke delapan sejak Lisa melakukan pemberontakannya.

"Augh! Apa kau anak-anak?!" sebal Toil, yang sama seperti Lisa, pria itu pun belum lama ini pulang kerja.

Di kantor, Toil melihat Lisa tersenyum, tertawa bersama rekan-rekan kerjanya. Gadis itu berjalan santai ke kafeteria tiga puluh menit sebelum jam makan siang, menyapa petugas kebersihan, menyapa petugas keamanan. Hidupnya bak seorang yang amat bahagia, bagai seorang yang tidak pernah bermasalah, seperti seorang yang tidak pernah berfikir untuk mati.

Tapi begitu ia duduk di ruang tamu-setidaknya delapan hari terakhir ini-ia mulai menyalakan TV-nya. Duduk di ruang tamu, menonton TV sembari menangis. Setidaknya empat jam Lisa menangis di sana, sampai gadis itu terlelap di sofa. Tangisannya bisa jadi lebih lama lagi, kalau seseorang mematikan TV-nya. Ia akan terbangun ketika TV dimatikan, akan kembali menyalakan TV-nya, kemudian mencari program-program acaranya menyedihkan yang bisa membuatnya menangis.

Suara tangis itu sebenarnya tidak cukup terdengar sampai lantai atas, sampai kamar Toil. Tapi Jiyong yang bisa dengan jelas mendengar tangisannya, terus mengganggu Toil. Seolah ia tidak ingin tersiksa sendiri. Dalam delapan hari terakhir ini, Toil juga Jiyong mengalami beberapa fase gejolak emosi. Di hari-hari pertama, mereka mengkhawatirkan Lisa yang terus menangis di ruang tamu. Gadis itu sengaja memilih tempat paling strategis untuk menangis, sengaja memilih tempat dimana Jiyong juga Toil bisa melihatnya.

Fase selanjutnya, kedua orang itu merasa bersalah melihat Lisa terus menangis. Sadar kalau Lisa menangis karena keduanya, karena kebohongan mereka. Rasa bersalah yang menggerogoti itu membuat keduanya bersedia melakukan apapun-termasuk mendonasikan sebagian uang mereka pada orang-orang menyedihkan yang muncul di TV, di acara-acara penyaluran donasi oleh stasiun TV.

Kemudian rasa bersalah itu berubah jadi emosi. Mereka berdua tidak tahan lagi dengan tangisan Lisa. Mereka ingin Lisa berhenti. Jiyong melewati fase amarah itu dengan cepat, sedang Toil terus merasa kesal terlebih saat ia lihat Lisa baik-baik saja di kantor. Toil tidak bisa menerimanya, fakta kalau ia harus memeras otak membaca banyak berkas, sedang Lisa terkekeh, memberitahu rekan-rekannya kalau ia akan cuti dan berlibur.

Sementara Toil masih berada dalam fase penuh amarah itu, Jiyong sudah beralih ke fase selanjutnya-pasrah. Ia abaikan semua tangisan Lisa, menepuk bahunya kalau gadis itu mau, memberi gadis itu makan, tapi tidak lagi menyuruhnya untuk berhenti menangis. Terserah apa yang ingin kau lakukan-begitu yang Jiyong pikirkan sekarang. Mengupas buah, meletakan buah itu di depan Lisa, lalu menemaninya menonton dan pergi ke kamar setelah ia mengantuk.

"Ya! Aku masih anak-anak! Apa maumu?!" balas Lisa, menangis dan berteriak lebih keras lagi. "Sial sekali nasibku! Orangtuaku meninggal, tapi dua orang yang aku percayai, justru membodohiku selama bertahun-tahun! Kalau bukan karena Bohyun oppa, kau, dan kau, kalian tidak akan melihatku lagi sekarang!" omel Lisa, dengan wajah yang merah, basah karena air mata. Ia tunjuk Toil dengan tangannya, lalu berganti menunjuk Jiyong di meja makan, memarahi keduanya meski sedari tadi Jiyong menutup rapat-rapat mulutnya. Jiyong tidak melakukan apapun selain mengupas apel.

"Augh! Sekarang temanmu Ahn Bohyun bodoh itu?! Tinggal saja bersamanya sana!" sebal Toil, berteriak lalu naik ke lantai dua, sedang Lisa kembali menyiksa dua orang itu dengan tangisannya. Ia berbaring di sofa, menangis sembari menatap kosong pada TV di depannya. Meski terlihat bak seorang yang berlaga menangis, gadis itu sungguh-sungguh sedih ketika mengingat orangtuanya. Ia sungguh-sungguh menangis sekarang, sebab Toil mengingatkannya pada kedua orangtuanya. Mengingatkannya juga pada penipuan yang Toil dan Jiyong lakukan padanya.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang