***
Lisa cuti setelah sepuluh hari ia mentransfer pekerjaannya pada orang lain. Normalnya, pegawai biasa sepertinya-yang hasil kerjanya pun tidak seberapa bagus-tidak bisa mengambil cuti untuk waktu yang lama. Pilihannya hanya tetap bekerja atau mengundurkan diri. Tapi karena Direktur Firma Hukum itu ada dibelakangnya, Lisa bisa tetap di rumah hari ini.
Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu terlelap di ruang tamu. Malam ini Lisa tidak tahu siapa yang memberinya selimut, mungkin Jiyong, sebab Toil masih memarahinya karena tidur di sofa. Meski begitu, tetap ada sedikit kemungkinan Toil yang memberinya selimut-siapa tahu diam-diam pria itu memperhatikannya?
Lisa mengerang di sofa, merasakan pegal di sepanjang tubuhnya. Tidur di sofa tidak seberapa nyaman, namun Lisa menikmatinya-self harm-anggapnya. Masih dengan kantuk yang belum pergi, gadis itu mematikan TV di depannya. Ia bangkit, kemudian melangkah naik ke kamarnya.
Baru sampai ia di anak tangga paling bawah, Jiyong membuka pintu kamarnya. Pria itu keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya. Seolah akan pergi ke suatu tempat padahal selama ini-selama ia tinggal di rumah itu, ia hampir tidak pernah pergi kamana pun.
"Kau akan pergi ke suatu tempat?" tanya Lisa, memperhatikan pria yang sudah menata rambutnya itu. Dari lantai atas, Toil pun muncul, melangkah menuruni anak tangga untuk pergi ke kantor. Bohyun terus memerintahnya, terus menyuruhnya melakukan ini dan itu, menyelesaikan tuntutan yang akan mereka kirim pada Tuan Kwon. Mau tidak mau, Toil harus berangkat kerja setiap hari-setidaknya begitu, selama hampir dua minggu terakhir ini.
"Hm, aku mau pergi belanja," kata Jiyong.
"Awas," usir Toil, memerintah ketus pada gadis yang menghalangi jalannya.
Lisa menoleh pada pria itu, lalu menendang tulang kering suaminya. Membuat Toil harus membungkuk, mengaduh kesakitan sebab tendangan yang luar biasa keras itu. Lisa benar-benar menendang kakinya, ia serius ketika memusatkan kekuatannya pada tendangan itu-meski masih mengantuk.
Gadis itu kemudian naik ke lantai dua, membiarkan pria-pria tadi pergi tanpanya. Ia kembali tidur. Berencana untuk berlibur di rumah sepanjang hari. Sedang dua pria tadi meninggalkan rumah, "turunkan aku di stasiun kereta," Jiyong berkata, masuk ke dalam mobil Toil yang akan pergi kerja.
"Kau akan naik kereta? Kenapa tidak sewa mobil saja?" heran Toil. "Kau seharusnya pinjam mobil Lisa tadi, dia sudah cuti sekarang. Tidak akan pergi kemana-mana," susulnya, meski tetap membiarkan Jiyong masuk ke dalam mobilnya. Tetap akan menurunkan pria itu di stasiun kereta yang mereka lewati nanti.
Sepanjang perjalanan, tidak ada banyak pembicaraan berarti. Mereka berdua sudah banyak berbincang selama ini. Lisa memusuhi keduanya, tidak ada pilihan selain menghabiskan waktu senggang bersama. Karena Lisa memusuhinya, hanya ada Jiyong yang bisa mendengarkan keluhan Toil, begitupun sebaliknya. Sampai amarah Lisa mereda, mereka tidak punya pilihan lain.
"Kau sudah menemui ibumu?" Toil bertanya, sembari mengemudi ke stasiun.
"Sudah. Tapi aku bilang padanya, aku akan kembali ke Paris," kata Jiyong.
"Kapan?"
"Secepatnya."
"Kau akan kembali? Sungguhan? Ya! Bajingan! Kau tidak bisa kembali sampai Lisa kembali normal!" seru Toil, sedang Jiyong hanya menaikan alisnya.
Ia tidak benar-benar akan pergi ke Paris. Ia hanya membohongi ibunya, sebab tidak ingin wanita itu khawatir. Di depan ibunya, Jiyong berlaga tidak tahu kalau sang ibu membantu Toil untuk menuntut ayahnya-suaminya. Jiyong juga berlaga tidak tahu, kalau ibunya berencana untuk bercerai.
"Aku tidak bisa kemana-mana," kata Jiyong kemudian. Terlalu malas untuk balas berteriak. "Lisa mengambil pasporku," susulnya kemudian.
"Lisa?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Sampai aku melihatmu menggugat ayahku, aku harus tetap di sini. Setidaknya kau harus terluka melihat ayahmu dituntut temanmu sendiri-begitu katanya."
"Whoa... Lisa benar-benar jadi jahat sekarang," komentar Toil. "Padahal selama ini dia selalu membelamu. Dia bilang, padamu kalau dia kecewa melihatmu baik-baik saja setelah meninggalkannya kan? Di belakangmu, dia bilang dia bersyukur karena kau hidup dengan baik. Anak itu masih menyukaimu," susulnya, lupa akan kebohongan yang sering ia lontarkan pada Jiyong.
Jiyong sempat diam ketika mendengarnya. Toil pun membisu, menyadari kesalahannya. Setelah sebuah rahasia besarnya terbongkar, rasanya jadi sulit menyimpan banyak rahasia-rahasia kecil lainnya. "Kau tidak punya pakaian kerja?" Jiyong akhirnya bertanya, mengalihkan pembicaraan mereka. Menyingkirkan atmosfer canggung di antara mereka.
Bagi Jiyong, rasanya canggung mendengar Toil mengatakan kalau istrinya menyukainya. Rasanya canggung kalau ia harus berada diantara hubungan sepasang suami istri itu. Meski mereka masih bertengkar sekarang.
"Tidak," pelan Toil, masih menyesali kebohongannya yang terbongkar. "Aku ingin menyuruh Lisa membelikanku pakaian, tapi dia masih marah," susulnya.
"Mau aku buatkan pakaian untukmu?" tawar Jiyong, membuat lawan bicaranya mengerutkan dahi.
Saking lamanya Jiyong menganggur di rumahnya, Toil sampai lupa kalau pria itu seorang designer sekarang. Tapi meski mengingatnya, Toil tetap heran-apa Jiyong bisa membuat pakaian yang normal? Maksudnya, tanpa aksesoris-aksesoris berlebihan seperti baju buatan designer lainnya.
"Buat saja, yang nyaman dipakai. Aku tidak akan memakainya kalau tidak nyaman," balas Toil, berharap dengan ucapannya itu, pakaian yang Jiyong buat untuknya benar-benar normal.
Jiyong mengangguk, menyetujuinya. Mengatakan kalau dia akan membuatkan Toil beberapa jas dalam waktu dekat ini. Tiba di stasiun kereta, Jiyong diturunkan di depan stasiunnya. Tanpa bertanya kemana pria itu akan pergi, Toil meninggalkan Jiyong di sana. "Pulang lah sendiri, aku tidak mau menjemputmu," hanya begitu pesan Toil, sebelum ia melaju pergi.
Tanpa menanggapinya, Jiyong melangkah meninggalkan mobil itu. Berpisah begitu saja, tanpa sapaan berarti. Tapi baru beberapa langkah Jiyong memasuki stasiun, handphonenya berdering dan kali ini Lisa yang meneleponnya. "Kemana kau akan pergi?" tanya Lisa, begitu Jiyong menjawab teleponnya.
"Membeli kain, ada apa? Kau butuh sesuatu?" tanya Jiyong, sembari melihat jam tangannya. "Aku pulang setelah jam makan siang," susulnya, memberi informasi.
"Membeli kain? Kemana? Mall?"
"Mall? Ah... Tuan putri tidak pernah pergi ke pasar kain juga?"
"Ya! Aku pernah-"
"Mau ikut?" potong Jiyong, sebelum Lisa mengonelinya lagi.
Jiyong tahu Lisa pernah membeli kain, namun ia pun tahu betul kalau Lisa tidak pernah pergi sendiri ke tokonya. Ketika itu, Lisa meminta asisten ayahnya yang pergi mencarikannya kain. Ia hanya menunjukkan sampel kain dari tempat bimbelnya, lalu meminta sang pesuruh mencarikan yang sama persis.
"Aku?"
"Ya. Aku tunggu di Stasiun Bellis, cepat ke sini," suruh Jiyong kemudian.
"Kenapa ke stasiun?"
"Karena aku ada di sini? Keretanya tiga puluh menit lagi. Cepat ke sini," suruh Jiyong, lantas mengakhiri panggilan itu. Ia putuskan sendiri, kalau Lisa benar-benar harus ke sana, menjemputnya.
***
Beberapa hari ini, aku sibuk bikin IG baru hehehe usnnya sama kaya wp, tapi gak tau mau upload apaan. Pokoknya bikin aja dulu, soalnya suka ditanyain kalo ga punya IG 🥲

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...