***
Toil bangun dari tidurnya di pukul sebelas siang. Pria itu keluar dari kamarnya, turun ke dapur untuk mencari sisa pizza semalam. Lapar menyerangnya sekarang. Tiba di bawah, pria itu sempat tertegun, berdiri bingung menatap Jiyong di meja makan. Jiyong ada di sana, dengan secangkir kopi dan laptop yang terbuka, laptop Lisa.
"Ah... Aku yang menyuruhmu menginap semalam?" ucapnya, sempat lupa apa alasan Jiyong ada di sana. Kini ia melangkah menghampiri Jiyong, melirik pada laptop yang terbuka lalu melihat kopi hangat di sebelah pria itu. "Lisa tidak pergi kerja?" susulnya kemudian.
"Dia sudah pergi sejak pagi tadi," balas Jiyong, matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya. Laptop yang ia pinjam dari Lisa, sebab Lisa menyuruhnya untuk menunggui Toil bangun. Minta Toil mengantarmu ke hotel— begitu kata Lisa saat pergi tadi.
Pria itu akan meraih kopinya sekarang, dengan mata yang masih menatap pada layar laptopnya. Namun tidak ia temukan gelas itu, sebab Toil sudah lebih dulu mengangilnya. Toil mencuri kopi dalam gelasnya, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Itu layout acaramu? Bellis fashion week?" tanya Toil, sedang Jiyong sekarang menatap sebal padanya. "Kenapa? Apa? Kau kesal karena aku merebut semua milikmu? Aku tidak pernah melakukannya," santai Toil.
Kini Toil melenggang ke lemari es, akan mengeluarkan sisa pizza semalam. Masih sembari membawa kopi milik Jiyong tadi. "Kau sudah bicara dengan Lisa? Hidupnya benar-benar sulit karenamu," susul Toil, tetap sembari sibuk mengurusi perutnya yang lapar. Alih-alih memanaskan pizza semalam dengan microwave, pria itu langsung memakan pizza dinginnya. Tetap berdiri di depan lemari es sembari menatap Jiyong.
"Aku tidak tahu alasanmu pergi sepuluh tahun lalu- whoa! Whoa! Jangan berdiri! Tetap di sana! Aku lelah berkelahi denganmu!" seru Toil, menunjuk-nunjuk Jiyong agar tetap duduk dikursinya— masih dengan tangan yang memegang pizza, membuat beberapa paprika dan sosisnya jatuh ke lantai. "Ya! Aku harus syuting interview besok! Kenapa kau terus memukul wajahku?! Bajingan! Meski kesal kau tetap harus tahu etikanya! Bodoh!" seru Toil, mengingat bagaimana Jiyong memukulnya kemarin.
"Kenapa kau memperlakukan istrimu begitu?" ketus Jiyong kemudian. Karena omelan Toil, Jiyong tetap duduk sekarang. Bukan hanya Toil yang wajahnya terluka, Jiyong pun sama babak belurnya. Justru lebih parah karena Toil jauh lebih kuat darinya. Jiyong tidak pernah melakukan apapun selain menjahit, ia tidak pernah pergi olahraga, berbeda dengan Toil yang pergi olahraga setiap hari.
"Bagaimana aku memperlakukannya? Aku memperlakukannya dengan baik. Dia pasti sudah minta cerai kalau aku tidak memperlakukannya dengan baik."
"Kau memukulnya!"
"Dia yang memukulku lebih dulu!" balas Toil. "Tidak... Bagaimana kau tahu aku memukulnya? Gadis berengsek itu mengadu padamu?! Augh! Penyihir jahat-"
"Ya! Kau tidak bisa menjaga mulutmu?!" potong Jiyong, kembali terlihat kesal. Siangnya yang tenang jadi penuh emosi karena Toil.
"Augh! Augh! Kalau kau sepeduli itu padanya, kenapa kau kabur setelah dijodohkan dengannya?! Orang sinting! Kau merusak pagiku!" sebal Toil, meski tahu saat itu sudah hampir tengah hari.
Sekarang Toil meninggalkan Jiyong. Jiyong sempat menahan bahunya, namun Toil menepisnya. Menolak untuk berbincang lebih lama dan memilih untuk kembali ke kamar. Namun pria itu tidak seberapa lama berada di kamar, ia kembali turun setelah empat puluh menit. Melangkah menghampiri Jiyong di meja makan lalu meletakkan kunci mobil Lisa di sana.
"Urus mobil Lisa di supermarket. Dia tidak bisa pergi kemana-mana tanpa mobilnya. Cinta pertamamu itu, tidak bisa naik taksi," suruh Toil, sembari melangkah keluar meninggalkan rumahnya, mengatakan kalau ia akan pergi mengambil mobilnya sendiri, lalu pergi mengurus pekerjaannya. Toil berkata kalau ia akan pulang sangat malam hari ini.
Jiyong tidak diberi kesempatan untuk menolak. Tapi karena itu untuk Lisa, ia bersedia melakukannya. Kini pria itu pergi ke supermarket, memanggil seseorang untuk mengurus mobil Lisa, memperbaikinya. Mobil mahal itu, perlu biaya yang lebih banyak untuk perbaikannya.
"Kapan terakhir kali mobilnya dicek? Oli mobilnya hampir kering. Bagaimana bisa mobil mahal jadi sekacau ini?" heran pria yang memperbaiki mobilnya, yang akhirnya harus membawa mobil itu ke bengkel untuk perbaikan menyeluruh.
Ini kali pertama Jiyong mengeluarkan banyak uang sekaligus. Pria itu sampai berkali-kali mengecek tagihannya, tidak percaya kalau dirinya bisa menghabiskan uang sebanyak itu di bengkel mobil. Uang yang ia keluarkan hari ini, rasanya cukup untuk membeli sebuah mobil bekas. Setelah membayar tagihan itu, ia mengirim notanya pada Toil. Bukan untuk mendapatkan uang dari pria itu, ia hanya penasaran bagaimana Lisa hidup.
Toil tidak membalas pesannya. Tidak juga menjawab panggilannya. Justru sekarang, sebuah nomor telepon asing yang meneleponnya. Saat ia angkat, seorang pria bicara padanya—sekretaris ayahnya. Sang sekretaris menelepon untuk mengundangnya makan malam, mengatakan kalau Tuan Kwon, ingin bertemu dengan putranya.
Ia menolak permintaan itu. Beralasan kalau dirinya sibuk, berkata juga kalau ia akan segera kembali ke Paris. Ia tidak punya banyak waktu di sana, dan tidak berencana meluangkan waktunya untuk sang ayah. Tanpa sudi mendengar bujukan sang sekretaris, Jiyong mengakhiri panggilannya. Tapi sekretaris itu rasanya tidak tahu caranya menyerah. Terus ia telepon Jiyong, sampai mau tidak mau, Jiyong memutuskan untuk memblokir nomor teleponnya.
Hampir pukul tujuh malam, Jiyong kembali ke rumah Toil. Kali ini ia datang dengan mobil Lisa yang sudah selesai diperbaiki. Mengemudikannya, lalu menghentikannya di depan gerbang. Kini pria itu terdiam, ia tidak tahu caranya masuk ke dalam rumah itu. Saat pergi, Jiyong hanya perlu menutup pintunya. Pintu rumah Toil akan otomatis terkunci setelah di tutup, dan sekarang ia perlu kode pintunya untuk bisa masuk. Sekali lagi Jiyong menelepon Toil, namun tidak tetap ada jawaban. Pria itu tidak menjawab teleponnya, tidak juga membalas pesannya.
Nomor asing kembali masuk ke teleponnya sekarang. Jiyong sempat ragu untuk menjawabnya, mengira kalau si penelepon mungkin sekretaris ayahnya lagi. Tapi setelah dering ke sembilan, pria itu menjawab teleponnya. "Ini aku, Lisa," kata gadis yang bicara di ujung telepon. "Dimana kau sekarang? Maaf sekali, aku lupa meneleponmu tadi siang," susul Lisa.
"Di depan rumahmu."
"Ah? Sudah lama menunggu di sana? Sebentar," tanya gadis itu, bersamaan dengan gerbang depan rumahnya yang terbuka.
Jiyong kembali mengemudi, memasukan mobil teman lamanya itu ke dalam rumah, lalu sedikit terkejut karena Lisa ada di depan rumah. Gadis itu berdiri di depan pintu utama, dengan sebuah terusan kuning yang menutupi lututnya. Rasa gugup menyerangnya, melihat Lisa menyambut kedatangannya di sana, membuat Jiyong luar biasa gugup.
"Sudah pulang? Kau tidak membawa barang-barangmu?" tanya Lisa sembari berjalan menghampirinya, dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya. Ia buat rasa gugup Jiyong, jadi semakin menggelitik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanficOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...