45

190 39 4
                                    

***

Dalam ingatan Jiyong, Lisa bertengkar dengan Toil. Gadis itu luar biasa marah pada Toil, juga padanya. Namun malam ini, saat dirinya akan melangkah masuk ke dalam restoran, dilihatnya dua orang itu tengah tertawa. Di sudut restoran, Lisa tertawa, lebih lebar dari tawanya siang tadi. Di depannya Toil tengah mengoceh, bercerita tentang harinya tadi.

Dari tempat ia berdiri sekarang, dua orang itu terlihat baik-baik saja. Terlihat sangat akrab. Seolah tidak ada masalah apapun sebelumnya. Seolah Lisa tidak pernah menangis selama berhari-hari karena kebohongan Toil. Seolah Toil tidak pernah berteriak kesal karena muak akan tangisan. Seolah buku pertengkaran mereka baru saja ditutup, lalu keduanya dimasukan lagi dalam buku baru, ke dalam sebuah cerita baru.

"Jadi tadi Jennie bilang, kalau kau masih lajang karenaku," cerita Toil, pada gadis di depannya, tanpa tahu kalau ada orang lain yang menonton mereka dari jendela di luar restoran. "Lisa harusnya tinggal sendiri, jangan tinggal dengan Toil. Kalau dia terus tinggal dengan Toil, pria mana yang berani mendekatinya? Semua orang pasti akan berfikir kalau mereka punya hubungan—Jennie bilang begitu. Lalu Bohyun berkomentar, dia bilang kalau aku melarangmu berkencan. Tentu saja aku membalas mereka berdua, aku bilang kalau kau boleh berkencan. Kalau aku tidak pernah melarangmu berkencan. Dan Bohyun terkejut. Dia benar-benar terkejut tapi berpura-pura menyembunyikannya. Setelah itu, setelah selesai makan siang, dia mendatangiku," ocehnya, tidak juga selesai. Seolah tengah melunasi semua hutang ceritanya, sekaligus. Setelah beberapa minggu terakhir ini mereka bertengkar dan tidak sempat bertukar cerita.

"Apa katanya saat mendatangimu?" tanya Lisa, kedengaran antusias. Terdengar penasaran.

"Dia berbisik, kau benar-benar mengizinkan istrimu berkencan dengan pria lain? Dia bertanya begitu," kata Toil sedang Lisa terbahak di depannya, tertawa sembari sesekali menikmati makanannya. "Awalnya aku ingin bilang iya, tapi aku takut dia mengadukannya ke ayahku, jadi aku membohonginya. Tapi dia tidak percaya, dia terus mendesakku—kau benar-benar membiarkan Lisa mengencani pria lain kan? Kau juga selingkuh? Iya kan?—dia terus bilang begitu, sepanjang hari, setiap kali kami bertemu di lift. Aku yakin besok dia akan bertanya lagi," susulnya, yang terus Lisa tanggapi dengan tawa-tawanya.

Melihat dua orang itu menghabiskan waktu bersama, Jiyong merasa dirinya tidak perlu bergabung. Ia merasa dirinya tidak boleh mengganggu mereka. Meski ada perasaan cemburu, yang teramat menyiksanya, ia langkahkan kakinya mundur. Kembali ke mobil. "Bagaimana pun mereka perlu waktu berdua," katanya, meyakinkan dirinya sendiri kalau langkah mundurnya sekarang adalah pilihan terbaik yang bisa ia ambil.

Pria itu memilih untuk kembali ke rumah. Langsung masuk ke dalam kamar tidurnya, berbaring mencoba mengusir semua bayang-bayang kemesraan yang mungkin sepasang suami istri lakukan. "Mereka tidak mungkin melakukannya," ia terus meyakinkan dirinya sendiri, mencoba menyingkirkan semua bayang-bayang yang mengganggunya. Menyingkirkan skenario-skenario mesra penuh romansa dengan Lisa dan Toil sebagai tokoh utamanya dari kepalanya.

Semua bayang-bayang itu membuatnya terjaga. Benar-benar tidak tidur meski sekujur tubuhnya terasa lelah. Meski kepalanya berdenyut, meski dadanya terasa sesak. Sampai dua jam setelahnya, suara pintu-pintu yang terbuka masuk dalam telinganya. Toil dan Lisa baru saja kembali—yakinnya. Lalu ia dengar pintunya di ketuk, hanya dua kali, sebelum akhirnya pintu itu terbuka dan ia pejamkan matanya, berlaga terlelap.

"Bajingan ini sudah tidur," suara Toil terdengar, disusul suara pintu kamarnya yang kembali tertutup. "Malam ini tidur lah di atas. Sampai kapan kau mau tidur di sofa?" suara Toil masih terdengar, meski kali ini sangat pelan. Sedang ia tidak bisa mendengar jawaban Lisa.

Jiyong tetap memejamkan matanya, sampai tidak ada lagi suara yang masuk ke telinganya. Sampai rumah itu jadi kembali sunyi, sebab semua penghuninya sudah siap beristirahat di kamar masing-masing. Akhirnya kesunyian membawa Jiyong dalam tidur lelapnya, lalu di pagi harinya, ia terbangun karena suara bel rumah yang ditekan berkali-kali.

Suara bel pintu itu kedengaran sangat menuntut. Ditekan berkali-kali, terburu-buru, tidak sabar. Seolah siapapun yang menekannya ingin segera masuk dan menunjukan alasan kedatangannya. Pamannya Lisa yang datang, dan Jiyong jadi sedikit canggung sebab ia yang membuka pintunya.

Bukan hanya Jiyong yang terkejut, juga canggung. Paman yang datang itu pun terkejut, juga berubah canggung saat ia lihat Jiyong ada di rumah keponakannya, membuka pintu untuknya. "Mana Lisa?" sang Paman bertanya, namun Jiyong tidak perlu menjawabnya sebab Lisa sudah lebih dulu turun dari lantai dua.

Dari atas, Lisa menuruni tangga dengan Toil di belakangnya. Dua orang itu sama-sama memakai baju tidur mereka—kaus dan celana pendek. Raut mengantuk masih tergambar jelas di wajah keduanya, padahal saat itu sudah pukul sepuluh pagi. Padahal saat itu, Toil sudah terlambat ke kantor. Sangat terlambat.

"Harusnya kau membangunkanku," kata Toil, belum tahu siapa yang datang.

Sebentar, semua orang mematung. Mencerna apa yang terjadi di sana. Menebak-nebak alasan mereka semua berdiri di ruang tamu rumah Lisa dan suaminya. Baru di detik selanjutnya, para penghuni rumah itu tahu alasan pamannya Lisa datang ke sana. Sang paman datang untuk bicara kepada keponakannya, menyuruh Lisa juga suaminya berhenti bermain-main dengan firma hukum mereka.

"Siapa yang bilang aku memanipulasi kasus orangtuamu?! Apa kau bodoh?! Bagaimana bisa kau percaya aku memanipulasi kasus kematian kakakku sendiri?! Ya! Aku tidak mau tahu, kau selesaikan sendiri masalah ini!" kira-kira begitu yang Lisa tangkap dari omelan pamannya pagi ini.

Lisa yang dimarahi, tapi gadis itu sama sekali tidak meresponnya. Otaknya belum bekerja pagi ini. Untungnya, karena Lisa tidak merespon, begitu juga dengan Jiyong dan Toil, amarah sang paman tidak seberapa hebat pagi ini. Setelah melemparkan peringatannya, sang paman melangkah meninggalkan rumah itu. Pergi setelah membuat seisi rumah itu kebingungan.

"Kenapa kalian berdua diam saja?" tanya Jiyong, yang pertama membuka pembicaraan.

"Aku tahu dia akan datang," balas Toil, melangkah lebih dulu ke dapur sembari mengeluhkan keterlambatannya. Mengatakan kalau ia akan dimarahi Bohyun karena terlambat hari ini.

"Aku sudah diberitahu semalam," balas Lisa, bergerak ke sofa lalu berbaring di sana. "Aku mengantuk! Aku tidak tidur semalaman," keluhnya kemudian, sembari bergerak mencari posisi ternyaman di sofa itu.

"Meskipun kalian berdua sudah tahu, tapi dia baru saja mengancam-"

"Jangan khawatir, orang dewasa akan mengurusnya," potong Toil, yang sudah berdiri di depan lemari es, mencari sarapan untuk modalnya pergi ke kantor dan dimarahi atasan atas keterlambatannya.

"Dia akan mengurusnya," susul Lisa, menunjuk pada Toil di dapur. Gadis itu memejamkan matanya di sofa, akan kembali tidur namun Jiyong mengganggunya, memaksanya bangun dengan segudang pertanyaan atas kelanjutan kasus orangtua mereka. Jiyong harusnya bertanya pada Toil, tapi pria itu menolak, mengatakan kalau ia sedang terburu-buru sekarang. Toil yang terlambat sedang sangat sibuk sekarang, terburu-buru pergi ke kantor meski dengan gerakan selambat kukang.

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang