***
Tiba di stasiun tujuan, Lisa digandeng turun dari gerbong kereta itu. Jiyong mencarikan kursi untuknya, memandu Lisa agar duduk di sana sedang ia melangkah membeli minuman di mesin penjualan otomatis. Lisa menerima botol air yang Jiyong berikan, menenggak airnya lantas mengembalikan lagi botol tadi. Meminta Jiyong membuang botol yang sudah berhasil ia kosongkan.
"Lebih baik?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya.
"Kita perlu pindah ke peron dua sekarang. Tapi kalau kau tidak bisa melanjutkannya, kita bisa mencari mobil sewaan di sini," tawar Jiyong namun gadis di depannya menggeleng.
"Tidak terlalu buruk, aku bisa," jawabnya, kemudian bangkit, melihat sekeliling untuk mencari dimana peron dua berada.
Di kereta kedua, Lisa lebih tenang dari sebelumnya. Gadis itu berdiri di dalam gerbongnya, mengatakan kalau berdiri membuatnya merasa lebih nyaman. Ia berdiri di sebelah pintunya, bersandar ke tiang pembatas kursi kereta, sedang Jiyong ada di depannya, berpegang pada pegangan kuning yang menggantung di depannya.
Kereta itu tidak ramai, sama seperti sebelumnya. Tidak terlalu berguncang juga, Jiyong berpegangan sebab pegangan kuning itu ada di depannya, pegangan itu ada di sana untuk dipegang. "Lain kali jangan menunggu seperti tadi," kata Lisa, setelah akhirnya ia terbiasa dan bisa bicara.
"Kalau begitu, jangan terlambat lagi," balas Jiyong. "Aku tidak akan menunggu kalau kau bilang tidak jadi datang. Kalau kau bilang, kau akan terlambat, aku tidak punya pilihan lain selain menunggu," katanya.
Lisa berdecak, tidak menyukai jawaban Jiyong itu. Kini gadis itu melihat keluar, melihat jalur kereta lain di sebelah, juga pemandangan kota yang sesekali hilang karena terowongan. Tiap melewati terowongan, gadis itu mencari Jiyong. Memastikan Jiyong masih di sana, tidak pergi meninggalkannya.
Sampai akhirnya mereka tiba di stasiun tujuan, Lisa yang melangkah turun lebih dulu. Dengan petunjuk dari Jiyong mereka keluar dari stasiun itu lalu bertemu deretan toko penjual pakaian. Para penjahit bekerja di bagian depan toko-toko itu. Beberapa sudah paruh baya, beberapa lainnya terlihat masih sangat muda, mahasiswa sepertinya.
Lisa mematung, lalu Jiyong meraih tangannya. "Kalau kita terpisah, masuklah ke salah satu toko, lalu telepon aku. Aku akan menjemputmu di sana," kata Jiyong.
"Aku juga bisa mencari jalan pulang sendiri," balas Lisa, dengan nada angkuhnya.
"Bagaimana? Kau tidak bisa naik taksi," kata Jiyong, sembari mengangkat bahunya.
Sekarang, tanpa menunggu Lisa bicara, ia tarik tangan gadis itu. Membawanya masuk ke dalam jalanan pasar yang ramai dengan pedagang pakaian-pakaian bekas. "Kalau kau mencari ditumpukan pakaian itu, kau bisa menemukan setidaknya satu barang limited edition," kata Jiyong, memberitahu pengetahuannya pada gadis yang hanya bisa mengekor.
"Oh ya? Tapi kenapa mereka menjual barang limited di sana?"
"Karena mereka tidak tahu itu limited, harganya pun mungkin seratus kali lebih murah."
"Pasti palsu-"
"Tidak," potong Jiyong. "Asli, hanya sedikit kotor saja."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku pernah bekerja di sini," santai Jiyong, lantas menunjuk beberapa pria yang mengangkat gulungan kain, lewat, setengah berlari masuk ke dalam toko. "Aku pernah bekerja jadi tukang angkat seperti itu, lalu jadi penjahit seperti mereka, sebelum ke Paris," ceritanya.
Sekarang Lisa berhenti berjalan, menarik Jiyong agar ikut berhenti. Berdiri, menatap ke arahnya. Gadis itu memperhatikan Jiyong, dari ujung kakinya sampai ke kepalanya lalu kembali lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...