***
"Bagaimana keadaan di rumah?" Kwon Anna bertanya pada pengacara yang mengunjunginya hari ini—Choi Seunghyun, juga Lisa. "Kakakku sudah sembuh kan?" susulnya penasaran. Wanita itu ada di rumah tahanan sekarang, sidangnya belum selesai namun ia sudah ditahan karena dianggap akan melarikan diri. Kesalahannya terlalu kejam untuk dibiarkan.
"Paman sudah sembuh," jawab Lisa, sebab Seunghyun tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. "Aku menjenguknya minggu lalu, sekalian menunggui Toil di rumah sakit. Paman langsung sembuh karena putranya pulang," susulnya, tersenyum mengabarkan berita bahagia itu.
"Jiyong pulang?" Anna terkejut, namun raut wajahnya terlihat senang sekarang. Jauh berbeda dari saat ia melangkah masuk tadi—lesu dan kuyu. "Dimana dia selama ini? Sejak kapan dia pulang? Aku sangat merindukannya. Terakhir kali aku bertemu dengannya itu saat orangtuamu kembali dari luar negeri, kami minum bersama, aku mengajarinya minum vodka dan whiskey waktu itu, dia lucu sekali karena terlalu pahit," cerita Anna.
"Bourbon whiskey? Itu pahit tapi enak," komentar Seunghyun, sedang Lisa terdiam.
"Dulu aku lebih suka vodka daripada whiskey dan wine, tapi sekarang tidak ada yang lebih enak daripada tequila. Ah... Aku jadi ingin tequila, sepertinya aku sudah kecanduan alkohol. Tidak bisakah aku dibebaskan karena kecanduan alkohol? Harus direhabilitasi pun tidak apa-apa," kata Anna, seolah lupa kalau ia berada di sana karena menabrak seseorang sampai meninggal.
Sepanjang pembicaraan itu, Lisa membisu. Sejak Anna menyebut tentang orangtuanya, ia tidak lagi bisa bicara. Rindu menyelubungi dadanya, menekan dadanya sampai terasa begitu sesak. Ia terus diam, bahkan di perjalanan kembali ke kantor setelah menyelesaikan tugasnya. Sembari mengemudi, terus ia atur nafasnya, agar tidak menangis di mobil, di depan rekannya Choi Seunghyun.
Lisa pikir rasa sedih itu akan pergi setelah ia tiba di ruang kerjanya. Rasa rindu yang menyakitkan itu harusnya tidak berlangsung lama. Tapi sampai jam pulang kerja tiba, rasa rindu itu masih ada. Orangtuanya yang kembali dari luar negeri, tidak pernah benar-benar pulang. Alih-alih ke rumah, menemui putri mereka yang sudah menunggu, kedua orang itu justru menepi di rumah sakit dan tidak pernah pulang.
Karena merasa masih sangat sedih, Lisa enggan untuk masuk ke rumah besarnya seorang diri. Maka ia pergi ke rumah sakit, berencana untuk mengunjungi Toil dan menginap di sana. Tiba di rumah sakit, dari kaca di pintu ruang rawatnya, Lisa bisa melihat suaminya.
Toil tengah duduk di ranjangnya, seperti biasanya. Di depannya seorang gadis tengah duduk, wajah gadis itu ditekuk, cemberut dengan raut kesal yang tidak bisa ditutup-tutupi. "Tidak bisa kah kau bercerai saja? Meski kau tidak mencintainya, tapi belum tentu dia juga begitu. Bagaimana kalau dia diam-diam mencintaimu? Perempuan dan laki-laki itu tidak bisa berteman," gadis itu berkata begitu, lewat sedikit celah pintu yang Lisa buat.
Mendengarnya, Lisa mengurungkan niatannya. Ia ambil sebuah langkah mundur, menghindar dari pertengkaran sepasang kekasih yang sudah ia ketahui dimana akhirnya. Sekarang rasa sepi menyerangnya. Sembari melangkah di lorong rumah sakit itu, menuju ke lift tanpa tahu harus kemana ia pergi, kepalanya tertunduk.
Tanpa tujuan, Lisa berdiri di dalam lift. Di sudut ruang sempit itu, ia berdiri. Tanpa menekan tombol liftnya, ia terus berdiri. Ikut naik ke atas, lalu tetap berada di dalam sana meski liftnya ditarik turun. Orang-orang masuk dan keluar dari lift itu, tapi Lisa tetap berdiri di sana, tetap dengan kepalanya yang tertunduk, melamun menatap ujung-ujung sepatu hak tingginya.
"Permisi, nona? Anda baik-baik saja?" seorang perawat akhirnya menegur Lisa, setelah beberapa kali melihat Lisa berdiri di dalam lift.
"Ah? Ya, aku baik," cepat-cepat Lisa menjawabnya, lantas cepat-cepat juga gadis itu keluar dari liftnya. Ia ada di lobby sekarang, melangkah melewati keramaian pergi ke pintu utama.
Sekarang Lisa terus berjalan, terus melangkah meski tetap tidak punya tujuan. Dadanya tetap terasa sesak, meski rasa sakit itu sudah menjalar sampai ke kakinya. Sesekali muncul dalam kepalanya, keinginan untuk menemui orangtuanya. Namun rasa malu membuatnya tidak bisa pergi.
"Harusnya aku menuruti kalian. Harusnya aku belajar. Harusnya aku jadi putri yang baik, jadi disaat begini, aku tidak akan malu menemui kalian," pelan Lisa, masih sembari melangkah, mengelilingi rumah sakit besar itu.
Lisa baru berhenti melangkah saat handphonenya berdering. Bukan Toil, tapi Jiyong yang meneleponnya kali ini. "Kemana kau akan pergi?" Jiyong bertanya, dengan suara yang rasanya bergema. Suara itu terasa dekat, ketika Lisa menjawab teleponnya. "Aku ada di belakangmu, menoleh lah," susulnya.
Ia menoleh, lantas menemukan Jiyong duduk di dalam mobilnya. Pria itu mengangkat tangannya sekarang, melambai agar Lisa menghampirinya di mobil. Perlu setidaknya lima belas langkah sampai Lisa bisa menghampiri mobil pria itu. Jiyong baru saja datang, baru saja melewati pintu masuk rumah sakit ketika ia menepi karena melihat Lisa ada di trotoar, berjalan ke arah UGD.
"Kau datang untuk menemui Toil?" tanya Lisa, kali ini sembari melangkah menghampiri Jiyong di mobilnya.
"Ya. Kau juga datang untuk menemuinya?"
"Hm... Tapi dia sedang kedatangan tamu, jadi jangan naik," angguk Lisa.
"Siapa?"
"Kekasihnya, siapa lagi?" balas Lisa, yang akhirnya tiba di depan Jiyong dan mematikan panggilannya.
"Kau baru menangis?" Jiyong bertanya, sembari ia perhatikan gadis yang berdiri di sebelahnya. "Masuk lah," suruhnya kemudian, tapi gadis itu menggeleng. Lisa tidak mau masuk ke dalam mobil Jiyong, kecuali ia yang duduk di kursi pengemudinya.
"Parkir mobilmu," suruh Lisa setelah ia menolak untuk masuk. "Lalu temani aku jalan-jalan sampai kekasihnya Toil pergi," susulnya, yang sekarang bergerak mundur. Mengatakan kalau ia akan duduk di sebuah kursi dekat pintu masuk UGD, menunggu Jiyong di sana jadi mereka bisa pergi berjalan-jalan.
Kira-kira sepuluh menit Lisa menunggu Jiyong di kursi itu. Pria itu sedikit terengah-engah ketika datang, berdiri di depan Lisa yang hanya mendongak agar mereka bisa bertukar tatap. "Kenapa berlari? Kau dikejar sesuatu?" tanya Lisa, lantas kembali memakai sepatunya, agar mereka bisa segera berjalan-jalan di sekitaran rumah sakit.
"Kemana kau ingin pergi?" Jiyong bertanya lagi, namun Lisa tidak punya jawaban atas pertanyaan itu.
Gadis itu kembali melangkah, meski kakinya sudah berdarah karena lecet. Sepatu hak tinggi yang dikenakannya saat ini benar-benar menyiksa kakinya, tapi ia tidak mengeluh. Sesak di dadanya lebih menyakitkan daripada lecet yang terus tergores itu. Meski langkahnya tidak bisa berbohong. Langkahnya terlihat aneh sekarang, menahan sakit di kakinya, juga di kelingking kakinya.
"Berhenti," suruh Jiyong, menahan langkah Lisa dengan memegangi lengannya. "Lisa, berhenti. Kemana kau mau pergi?" ulangnya, masih di sekitaran rumah sakit.
"Tidak tahu," geleng gadis itu.
"Mau ke sana?" tawar Jiyong, menunjuk sebuah minimarket di sebrang rumah sakit. Memberi gadis itu, memberi mereka sebuah tempat tujuan.
Lisa menganggukan kepalanya, berkata kalau mereka bisa pergi ke minimarket di depan sana. Lantas, keduanya melangkah. Lisa yang memimpin, sedang Jiyong berjalan satu langkah di belakang, memperhatikan bagaimana gadis di depannya berjalan. Mencaritahu alasan langkah-langkah aneh gadis itu, lalu menemukan luka di kakinya.
Tiba di minimarket, Lisa disuruh duduk. Di kursi tinggi, dalam sudut minimarket Lisa duduk sendirian, sementara temannya pergi mengambil beberapa minuman. Sekembalinya Jiyong dari kasir, pria itu meletakan dua botol minuman di atas meja. Ia letakan juga sepotong cokelat di sana, lantas berlutut untuk melihat kaki Lisa, akan mengobatinya.
"Jangan," tolak Lisa, sengaja menarik kakinya. "Setelah ini kau pasti akan pergi lagi. Jangan memberiku perhatian apapun. Aku tidak menginginkannya," katanya, mengingatkan Jiyong akan ucapan Toil siang tadi, kalau ia adalah bajingan berengsek yang datang dan pergi sesukanya. Kalau ia adalah pengecut yang terus melarikan diri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...