Designted Wound

361 24 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Sayang, selama satu bulan
ini, aku perhatiin kamu tuh agak beda loh." Dinda masih membelai lembut kepala Putera yang sekarang sedang sibuk di depan laptopnya. Satu pernyataan andalan ini, sebenarnya sudah sangat lama Dinda pendam. Dia masih menunggu Putera menceritakan sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya semenjak pulang dari Yogya satu bulan  lalu. Biasanya juga begitu, Putera selalu menceritakan apapun yang dia alami, baik masalah kecil ataupun besar.

Mendengar pertanyaan itu, perasaan Putera menjadi tidak menentu. Jari-jarinya yang dari tadi asik bergerak lincah di atas keyboard, kini terhenti seketika.

"Berubah gimana sayang?"

"Kayaknya ada yang lagi kamu pikirin gitu. Aku pikir kamu akan cerita sendiri ke aku tanpa perlu aku tanya. Tapi kayaknya yang ini masalahnya besar banget ya sampe kamu gak bisa cerita?"

Baru saja satu minggu yang lalu Papinya Tata memberikan waktu satu bulan untuk dirinya menyelesaikan hubungan dengan Dinda. Kini, wanita itu malah menanyakan hal yang sama menakutkannya.

"Memang apa yang beda sayang dari aku? Kayaknya aku masih sama-sama aja deh."

"Beda sayaaang..." Dinda berkata dengan suara yang manja. "Nih ya, waktu kamu di Yogya, kamu tuh kayak resah banget. Dikit-dikit bilang sayang sama aku. Terus kadang kamu kalau nelpon aku tuh suka bisik-bisik. Terus, kamu kemarin lama banget sayang waktu di Yogya, satu minggu loh! Biasanya paling tiga hari."

Dinda duduk di pangkuan Putera, kini wajahnya menatap kekasihnya itu. Dia mencoba mencari kujujuran di sana.

"Bukannya aku ngelarang kamu lama-lama di Yogya, tapi tumben aja loh sayang."

"Ooh karena itu." Putera terlihat sedikit gugup. Tapi dia coba sebisa mungkin untuk menenangkan pikirannya. Belum, ini belum saatnya bagi Dinda untuk mengetahui semuanya. Secara angka, dia masih punya tiga minggu atau dua puluh satu hari lagi untuk bersama dengan Dinda. Dan dia tidak rela kalau sisa harinya bersama Dinda itu dihabiskan dengan yang sedih-sedih.

"Putera.. Sayang.." Dinda membelai garis rahang sang kekasih yang menjadi salah satu maghnet terkuat darinya. "Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu harus bilang ya sama aku. Kalau kamu pikir kamu gak mau cerita karena takut membebani atau menyakiti aku, jangan khawatir. Aku udah siap kok sama semua kemungkinan yang akan terjadi di antara kita."

Deg! Seketika jantung Putera serasa diremas. Ngilu!

"Aku tau umur kamu udah 27 tahun, usia yang sama seperti saat Mas Mahen menikah kan? Kamu pernah bilang kalau itu adalah batas maksimal usia bagi laki-laki di keluarga keraton untuk menikah kan?"

Putera tersenyum getir. Ternyata Dinda masih ingat akan obrolan mereka beberapa tahun yang lalu.

"Sayang, jangan mikir yang macem-macem ya? Kalau waktunya udah tiba, aku pasti cerita kok ke kamu." Putera mendekap kekasihnya itu hingga kini kepala Dinda menempel di dadanya.
Dia belai rambut hitam panjang milik sang kekasih dengan perasaan yang campur aduk. Dia tak ingin berbohong tapi dia juga tak bisa jujur sekarang.

AURORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang