Waktunya sudah tiba. Hanya itu alasan yang paling tepat untuk Dinda dan Putera mengakhir sebuah kisah tanpa cela yang berjalan lima tahun ini. Mereka menggunakan alasan-alasan klasik seperti 'semua itu ada waktunya', 'tidak ada yang abadi' dan 'cinta tak harus saling memiliki' untuk menghibur hati mereka masing-masing. Padahal semua alasan itu semu. Tidak ada yang berhasil meredam sakit teramat perih yang mereka rasakan saat akhirnya kata sepakat berpisah itu terucap di antara keduanya.
Putera terduduk dengan tangan yang gemetar dan tubuh yang lemas. Sebisa mungkin dia tegaskan kepada dirinya sendiri untuk tenang dan menahan semua gejolak yang ia rasakan. Sedangkan Dinda, gadis itu duduk di sofa panjang yang terpisah dari Putera. Padahal biasanya mereka duduk di sofa panjang itu berdua, tanpa jarak.
"Jadi waktunya udah tiba ya?" Tanya gadis itu masih dengan senyum. Tapi senyuman itu malah lebih menyakitkan buat Putera daripada tangisan. Mengapa gadis di depannya ini tidak menangis atau mencaci maki nya saja? Kenapa harus tersenyum?
"Din.. Aku minta maaf." Putera menatap Dinda sambil menggigit bibir bawahnya, menahan kalau-kalau tangisnya akan pecah. Dia tidak mungkin menangis di depan Dinda. Dia harus tampil kuat untuk bisa menguatkan Dinda.
"Aku gak mampu memberikan kamu kepastian. Aku gak mampu memberikan kamu akhir yang bahagia. Aku... Gak sanggup melawan orangtua ku."
"Jangan minta maaf Put, dari awal kita kan udah tahu kalau hubungan kita itu gak ada ujungnya. Kita sama-sama tahu kalau selama ini kita berdua hanya menunda patah hati."
"Ya tapi tetap aja, aku merasa gagal untuk melindungi kamu."
"Put, dari awal kan kita gak pernah berjanji untuk melindungi satu sama lain. Dari awal, kita hanya sepakat untuk saling mencintai dan mengisi hari-hari kita dengan kebahagiaan. Dan kamu sudah menepati janji kamu itu."
Putera terdiam, terpaku, merenungi kata demi kata dari Dinda yang terdengar begitu tenang.
"Kamu masih sayang sama aku kan sampe sekarang?" Tanya Dinda sambil tersenyum menatap Putera.
"Always Din, I love you and always will."
"Me too. And that's enough Put. Itu berarti kita saling menepati janji satu sama lain untuk saling menyayangi sampai akhir."
Tidak! Itu semua tidak cukup bagi Putera. Bahkan dia ragu untuk layak menyebut dirinya mencintai Dinda. Karena yang dia lakukan sekarang malah mengorbankan perasaan mereka berdua demi orangtuanya.
"Put, kamu inget gak sama cerita tentang mitos Yunani kuno tentang Aurora yang aku ceritain ke kamu waktu kita di Norway?"
Putera mengangguk "ya, aku gak akan pernah lupa. Cerita tentang Dewi Aurora yang jatuh cinta dengan pangeran di bumi kan?"
Dinda mengangguk dengan senyuman yang sederhana "Sebenarnya cerita itu belum selesai. Cerita yang kamu dengar belum lengkap."
Pengetahuan Putera akan kisah-kisah dongeng mitologi Yunani kuno sangatlah payah. Saat dulu Dinda bercerita kisah romantis tentang seorang Dewi penyingsing fajar bernama Aurora yang jatuh cinta dengan pangeran tampan dari bumi bernama Thitonius, dia kira akhirnya akan happily ever after seperti kisah dongeng lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA
RomanceSelamat datang di kisah rumit antara Putera, Dinda dan Renata (Tata) yang akan membawa kita pada kenyataan pahit yang harus diterima oleh masing-masing dari mereka. Sudah mencoba sekuat tenaga melawan takdir, tapi tetap saja mereka berujung pada kep...