Surrounder

488 39 11
                                    


Di dalam ruangan yang interiornya penuh dengan ornamen Jawa kuno itu, kini duduk Putera, Tata dan juga Ibu. Semua saudara perempuan Ibu dan para perias kerajaan yang tadi ada di ruangan itu, kini sudah keluar dengan segudang bahan pembicaraan tentang kejadian mengharukan yang tadi terjadi di ruangan itu.

Tata sudah berhenti menangis tapi wajah dan hidungnya masih memerah.
Putera sudah tahu apa yang sudah diperbuat Tata di ruangan itu. Dia tidak terlalu terkejut dengan sebuah langkah berani yang sekali lagi gadis itu ambil. Tapi dia tidak terlalu berharap, karena dia sudah tahu kalau tidak mungkin ada perubahan. Keputusan sudah dibuat oleh Ibu dan juga keluarga kerajaan. Dan keputusan itu bagaikan sebuah sabda penguasa yang tidak bisa dibantah.

"Udah Bu, jangan temui Dinda. Please, Putera mohon.. biarkan dia move on dengan tenang."

"Ndak apa-apa Le, Ibu gak mau kalau sampai Tata yang disalahkan. Apalagi kalau sampai dia kehilangan seorang sahabat karena Ibu. Ibu paham sekali apa arti seorang sahabat bagi seorang perempuan."

"Ndak Bu, yang salah adalah Putera. Harusnya dari awal Putera tahu diri dan tidak memulai suatu hubungan dengan gadis lain. Ibu kan sudah sering mewanti-wanti Putera untuk tidak menyakiti seorang perempuan hanya karena satu perasaan yang bernama cinta."

"Apa kamu yakin Le? Apa kamu yakin pelan-pelan bisa menerima perjodohan ini? Apa kamu yakin bisa melupakan pacar mu itu?"

"Putera sudah menerima semuanya Bu. Putera sudah pasrah. Ibu lihat kan, Putera sudah menyelesaikan hubungan Putera dengan Dinda. Itu berarti Putera gak mungkin mundur lagi. Seperti kata Ayah, omongan laki-laki itu bagaikan tulisan yang diukir di atas batu, tidak bisa diubah lagi." Putera terdiam sesaat lalu dia menatap Tata dengan tatapan pasrah. "Putera akan berusaha menerima Tata sebagai calon istrinya Putera."

Mendengar perkataan final dari Putera, membuat sekujur tubuh Tata seketika merinding. Semenjak beberpa minggu ini rasanya dia begitu risih saat mendengar kata 'istri' atau 'suami'. Bersamaan dengan itu, satu bulir air mata kembali merambat pelan di pipi gadis itu. Kalau saja tidak ada Ibu di ruangan ini, pasti dia sudah memukul kepala lelaki ini agar dia segera sadar atas apa yang baru saja dia ucapkan.

"Syukur lah Le kalau begitu. Ibu haturkan matur suwun sanget nggeh Le, kamu memang anak Ibu dan Romo yang paling baik. Ibu lega sekali mendengarnya." Ibu membelai kepala Putera dengan lembut. "Sekali lagi, maafkan Ibu ya Le? Hati mu pasti sakit sekali. Tapi, Ibu akan terus berdoa pada Tuhan agar kepatuhan kamu ini digantikan dengan kebahagiaan, kesehatan, dan kemakmuran yang tiada habisnya."

"Nggeh Bu.. Matur suwun Bu."

Kini pandangan Ibu beralih kepada Tata yang masih menunduk sambil meremas-remas rok lilitnya yang terbuat dari batik tulis berwarna coklat.

"Nduk.. Cah Ayu.. Gimana? Apa kamu juga mau menerima permintaan maaf dari Ibu? Atau coba katakan Ibu harus apa supaya kamu mau memaafkan Ibu?"

Tata tak menjawab. Dia bingung harus berkata apa. Apalagi kini tangisannya semakin deras.

"Katakan Nduk, apa yang bisa Ibu lakukan untuk Dinda? Ibu bersedia kalau Ibu harus menemui dan meminta maaf kepadanya."

"Bu.. Ndak Bu, jangan! Biarkan saja Dinda pergi ke US dengan tenang. Dia sudah cukup sakit menerima keputusan untuk berpisah. Jangan sakiti dia lagi dengan kenyataan pahit kalau orang yang dijodohkan dengan Putera adalah sahabatnya sendiri. Putera takut Dinda tidak akan kuat menahan beban seberat itu."

"Jadi kamu mau kita terus berbohong sama Dinda?" Tanya Tata tiba-tiba.

"Iya, sampai setahun kedepan ayo kita sembunyikan dulu semuanya Ta."

AURORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang