Prolog b

410 48 6
                                    

Lima Tahun Kemudian.

Lina yang sedang berada di lift, tengah berjongkok mengoleskan ujung spidol hitam ke sepatunya agar tampak lebih mengkilap dan lebih hitam. Dia hanya punya satu sepatu kantor, itupun kusam dan agak pudar.

Ini adalah hari pertama dirinya bekerja. Ia harus terlihat rapi meski dengan uang seadanya.

Pintu lift terbuka, Lina segera berdiri dan memasukkan spidol hitamnya cepat-cepat ke dalam tas. Ia mundur ke belakang membiarkan orang yang berada di luar masuk. Punggungnya bersadar pada tembok lift dan wajah yang tertunduk memperhatikan sepatunya yang syukurlah sekarang lebih hitam.

Hanya satu orang yang masuk saat pintu lift tertutup kembali. Sosok itu menekan nomor lantai dan suasana menjadi hening.

Lina menggulirkan matanya ke sepatu sosok itu. Pantofel yang hitam mengkilap dan sepertinya terbuat dari kulit. Kata mahal langsung bergaung di kepalanya. Celana hitam yang tergosok rapi. Tanpa cela. Tidak seperti celana hitam miliknya yang sudah lama dan kemeja putihnya yang agak pudar karena sudah sering dicuci.

Pasti bukan karyawan biasa. Maka dari itu, Lina makin diam. Dia agak mengkerut tidak percaya diri. Tidak seperti satpam depan penjaga gedung yang ia sapa dengan ramah. Kali ini, Lina memilih tau diri.

Rasanya lift seolah bergerak lambat dan tak ada yang masuk selain mereka. Berdua.

Lina tertekan dengan kecanggungan ini. Apalagi ia merasakan ada tatapan ke arah dirinya. Apa pria itu risih dengan kehadirannya? Gembel dari mana bisa masuk, mungkin pikir pria itu. Ia jadi teringat, ia hanya menyemprotkan pewangi pakaian ke bajunya. Apakah sudah berganti dengan bau asap kendaraan? Tadi, ia naik angkot. Apakah bau tubuhnya menganggu?

Karena sejak pria itu masuk, aroma wangi musk tercium tajam di sekelilingnya. Melingkupinya hingga sekarang. Dia yang kotoran debu merasa amat kecil.

Haruskah ia keluar dan mencari tangga darurat saja?

Terdengar dering handphone dari sosok di depannya dan tatapan yang sejak tadi dirasakannya menghilang. Lina menarik napas panjang.

"Ya, halo?"

Lina agak tersentak. Ia hampir menaikkan wajahnya sebelum pikiran warasnya membuatnya menunduk kembali. Suara sosok itu mirip seseorang. Suara yang lebih maskulin dan berat.

"..."

"Iya, saya lagi naik ke atas. Sebentar lagi sampai di ruang rapat."

"..."

"Hm." Telepon ditutup.

Lina melihat tangan lebar yang kembali menjejalkan handphone ke dalam saku celana.

Bunyi lift berdenting. Lina mendongak ke panel atas, lantai tujuh. Lantai tempat ia di panggil untuk wawancara. Ia cepat-cepat keluar begitu pintu lift terbuka dengan tetap menghadap lantai.

"Permisi, Pak." Sosok itu menggeser tubuhnya dan Lina benar-benar keluar dari lift.

Yang dilakukan pertama kali adalah menarik napas sebanyak-banyaknya lalu mengecek penampilannya. Seketika ia disergab gugup sewaktu beberapa karyawan yang ada di kubikel mereka berdiri dan tersenyum ke arahnya.

Lina membalas dengan cengiran kering. Seorang wanita yang bisa diperkirakan usianya sama seperti ibunya dengan name tag pegawai Aisah menghampirinya. Sontak Lina berpikir cepat, apa yang harus ia lakukan? Apa dia harus menyapa? Memperkenalkan dirinya? Sok kenal? Atau bertanya langsung di mana ruangan untuk wawancara? Apa setiap yang dipanggil untuk wawancara disambut sehangat ini?

Ketika bibirnya terbuka, ternyata Bu Aisah melewatinya.

"Pak Dito," sapanya ramah sambil memberi salam penghormatan sebagai pegawai.

Apa?

Dito?

Nama itu...

Entah karena nama itu atau kesopanan, Lina refleks ikut berbalik ke belakang. Menghadap lift yang ia cepat-cepat keluar tadi. Di sana, ya, seseorang pria yang sejak tadi berdiri bersamanya berdua dalam lift. Di mana wajahnya kali ini benar-benar ditatap Lina. Yang ikut menatapnya selepas memberi senyum tipis pada Bu Aisah.

Meskipun terbingkai kaca mata yang membuatnya makin berbeda. Tubuh yang tegap, berisi dan tinggi. Tapi, wajah dan sorot mata itu tetap sama. Ia mengenalinya. Lina kenal wajah itu. Tatapan dulu yang memandangnya dengan hangat dan penuh pemujaan. Kini tampak ... diam tanpa ekspresi yang berarti.

Bibirnya sempat terbuka untuk menyebutkan nama yang sama. Hatinya ingin memastikan itu benar-benar sosok Dito masa lalunya.

Namun, pintu lift tertutup. Menelan sosok itu naik ke atas.

Lina bersyukur, ia tidak memanggil sosok itu...

Karena bisa jadi itu orang lain.

***
6 1 24
Ayo tekan bintang dan komennya
(ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang