30

256 35 5
                                    

"Gila kamu, Lin, Lin." Gina menggelengkan kepala tak habis pikir. Ia sangat takjub dengan kecepatan Lina mengarang dan alasannya pun anti-mainstream.

"Cuma bercanda kali. Kan cuma kamu yang denger." Lina justru tak ambil pusing. Wajahnya yang masih terlihat lesu melempar senyum tipis.

"Kamu mengigau ya? Kamu tau nggak di belakang kita itu masih ada orang dan suara kamu tuh nggak kecil kayak aku. Kamu bahkan pas bilang ada bayi kayak lagi ngomongin cuaca besok. Ya, otomatis orang-orang di belakang kita dengar." Gina berusaha menjelaskan situasi sekarang itu sangat gawat. Tapi, yang membuat api gosip itu sendiri tengah cengengesan di tempat tidur.

"Kamu tau nggak, Pak Dito sampai keselek kopi tau," tambah Gina.

"Tadi ada Dito ya?" tanya Lina.

Gina memandang Lina seolah-olah mendengar kata konyol untuk pertama kalinya. "Kamu ingat nggak kita meeting?" tanyanya gemas.

Lina menyengir kaku. Gina menepuk jidatnya.

"Aku ingat... tapi sedikit."

Pusing, jika lebih lama menghadapi Lina yang sakit bisa-bisa dirinya ikutan hilang ingatan. "Aku ke HRD aja. Nanti kuminta ijin pulang cepat atau cuti sakit sekalian."

"Pulang aja Gin. Soalnya aku sudah cuti waktu itu."

Gina mengangguk.

Ruang klinik itu kembali sepi. Terdengar pintu kembali di buka. Lina berpikir itu Gina.

"Kok cepat banget---" Lina menghentikan ucapan mengetahui Dito lah yang masuk. Pria itu menutup pintunya kembali dan bergerak menuju ranjang Lina.

Dito bersedekap. Menatap Lina yang memilih memandangi jam dinding. Lalu menghela napas.

"Seperti biasa. Kamu nggak pernah bilang kalau lagi sakit."

"Buat apa dan ke siapa? Aku lagi nggak punya pacar untuk dikabarin kalau lagi ada apa-apa," balas Lina menatap mata Dito.

Jawaban itu begitu menusuk hingga membuat Dito diam. Matanya melihat Lina yang duduk menyandar, mencari posisi nyaman.

"Sahabatmu, Gina, kan?"

"Aku sudah banyak merepotkan dia. Kalau mau mencerca aku besok aja, aku lagi nggak mau dengar ceramah." Lina berpura-pura menguap dan memejamkan mata.

Sekali lagi terdengar helaan napas. Dito menarik kursi dan duduk di sana.

"Ok, aku nggak akan ngomel. Aku ingin bertanya satu hal. Kamu lagi menghindari aku?"

Lina menutup bibir. Keheningan terasa menusuk. Masih dengan mata yang tertutup ia menjawab.

"Tidak, kok."

"Sungguh?"

"Kenapa juga aku menghindarimu?" tanya Lina balik.

"Karena apa yang kita lakukan di apartemenku."

Jantung Lina langsung berdebar-debar. Panas merangkak ke pipinya. Ia mengalihkan wajahnya. Bayangan itu seketika menyeruak ke benaknya. Ia langsung menggelengkan kepala pelan, mengenyahkan bayangan. Membuka mata. Memandangi tirai putih di klinik ini. Bagaimana Dito mengatakan segamblang itu? Apa dia tidak malu?

Ia lalu memandang Dito yang tampak tidak terpengaruh. "Itu ... tidak ada artinya, kan? Apa yang terjadi malam itu tidak berarti apa-apa. Bagimu maupun bagiku."

Dito ingin membuka mulut. Ada kedutan ketidaksetujuan di dahinya. Punggungnya menegak. Ia meletakkan kedua tangannya di atas ranjang tempat Lina berbaring. Bersisian dengan jarak yang sempit. Membuat Lina gelisah tapi pria itu seakan tak mengerti apapun. Namun, Lina lebih dulu melanjutkan lagi.

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang