20.a

243 36 5
                                    

"Aku terluka ataupun tidak. Bukankah itu bukan urusanmu lagi? Kamu bukan kekasihku." Lina memalingkan wajahnya. Memutuskan tatapan mereka yang terasa seabad. Ia berusaha memberi jarak lutut mereka sehingga tidak bersentuhan.

Menyebut nama Fiana dalam pikirannya selalu sukses membuat semu-semu merah itu menghilang. Jantungnya berhenti berdetak gila. Atau racauan dalam hati yang bungkam. Kesakitan itu ternyata bisa menjadi obat dan menyadarkannya.

"Tentu, kamu yang memutuskanku. Yang tidak mau mengakuiku sebagai mantan pacarmu. Dan yang merimaku karena kasihan. Aku sangat ingat. Tidak pernah lupa."

Lina seketika menoleh terkejut. Bibir Lina terkatup. Kalimat terakhir itu, bagaimana dia tau?

Dito menghela napas. Matanya masih memaku Lina. "Lagipula itu semua dulu. Masa lalu, tidak lebih penting dari sekarang." Lanjutnya lagi. Seakan mengatakan dirinya pantas di lupakan dan Fiana adalah masa depannya.

"Itu pemikiran bagus." Suara Lina tercekat di tenggorokan, matanya memanas lagi. Itu yang ia inginkan. Rasa sakit yang membuatnya berhenti berharap. Meskipun berkali-kali merasakan sakit, matanya tetap terasa perih. Berlinang air walau belum jatuh. Kumohon jangan sekarang. Ia segera berdiri untuk menyelamatkan hatinya, "ya sudah, aku harus pergi. Aku harus mengerjakan tugas dari Bu Citra. Kamu sebaiknya temani Fiana, jika dia tau kau tidak di sisinya dia pasti... pasti... "

"Dia bersama ayahnya," sela Dito mengakhiri suara Lina yang mulai sumbang.

"Oh. Kalau begitu aku harus pergi."

Dito melihat Lina yang terus melarikan tatapan darinya. Ia tau wanita itu sesekali mengusap sudut matanya. Lalu ia berpaling ke kotak obat yang ia bawa. "Bu Citra tidak ikut outbound. Dan merekap nama sudah di lakukan Pita kemarin dan telah di kirim ke pusat."

Ucapan itu sekali lagi menjeda langkah Lina yang ingin pergi. Kebohongannya sekali lagi diketahui. Sementara air matanya sudah mengancam turun.

"Ya pokoknya aku sedang sibuk sekarang." Lina kehabisan alasan dan ingin cepat-cepat pergi. Mengatakan apa saja yang terlintas di kepalanya. Namun, tangannya di cekal dan dipaksa duduk kembali ke posisi awalnya.

"Dito!" Nada meninggi. Lina melayangkan tatapan kesal. Sebaliknya yang ditatap berekspresi tenang.

"Apa? Aku juga sibuk. Jadi duduk dengan tenang. Sementara aku mengobatimu."

"Kalau sibuk, pergi saja. Gina akan mengobati lukaku." Tolak Lina. Enggan memandang Dito.

"Apa kita harus terus berdebat? Lukamu itu tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi." Dito mulai menyerah. Ia memelankan suara dan mengesampingkan perasaan.

"Ini lukaku. " Dan akhirnya air mata itu turun juga, Lina menunduk walaupun percuma menyembunyikan kesedihan itu di wajahnya. Dengan suara bergetar ia berbicara, "Aku yang merasakannya dan menanggungnya. Kalau patah juga bukan tanganmu yang harus di am---"

***
9324
Ayo tekan bintang dan komennya :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang