29

322 42 8
                                    

Lina memutar otak. Ia tidak bisa mengandalkan hanya gaji dari kantornya. Tapi, untuk masuk ke Club malam mungkin... tidak. Bukan karena Dito. Tapi, bisa saja bukan hanya Dito yang di temukannya, teman-teman kantornya, atau paling parah Arga. Jelas dia pasti akan menghinanya sejadi-jadinya. Resikonya terlalu besar.

Jadilah ia mencari kerja lagi. Dan mendapatkan pekerjaan paruh waktu di toko ritel. Ia mengambil shift malam dari pukul delapan sampai pukul dua malam. Walau gajinya kecil setidaknya membuat dadanya tenang.

Dengan begini ia bisa menyicil uang yang diberikan Dito selama lima tahun, mungkin atau bahkan lebih. Mereka tidak melakukan hal itu, jadi sudah selayaknya Lina harus kembalikan setengah uangnya. Agar rasa bersalah dan penyesalan ini berkurang dari bahunya sedikit.

"Selamat belanja di Indomacet." Sapaan setiap datang pengunjung. Itu adalah peraturan tak tertulis yang harus ia lakukan setiap ada pelanggan yang masuk.

"Terimakasih, semoga hari anda menyenangkan." Penutup seraya mengembalikan kembalian.

Selain itu, ia juga mengambil pekerjaan kecil-kecilan seperti menjadi penulis buku. Mungkin hobinya yang sejak SMA ini bisa ia salurkan dengan menghasilkan uang sebagai tambahan meskipun ia kerap perang bathin dengan pemilik platform-platform online yang selalu merubah kebijakan tiap tahunnya dan tampak seperti kerja romusha ini. Walau begitu ia pernah merasakan gaji setara kantoran dari menulis.

Tidak ada waktu untuk menyambung tidur atau memikirkan lelah. Semua ini untuk membayar hutang-hutang mereka.

Meski dia menambah dua pekerjaan tapi tidak selelah pekerjaan di Club. Di Indomacet dia hanya berdiri dan mengatur-atur barang. Menulis ketika waktu subuh. Berbeda dengan menjadi pelayan, pakaian yang tak nyaman, bau pekat asap rokok, berjalan mondar-mandir membawa gelas-gelas tangkai dan sloki serta minuman. Ditambah harus waspada pada tangan-tangan kotor yang kadang-kadang jahil. Meski ia belum mengalami pengalaman itu ketika kerja di sana. Tentu, gaji kedua pekerjaan ini sangat jauh sekali dengan gaji dan tipnya di Club malam.

Di hari ketiga bekerja di Indomacet. Lina nyaris terserang jantung melihat pelanggan yang membuka pintu di jam mendekati tengah malam adalah Dito. Ia segera menunduk berpura-pura mencari barang jatuh saat Dito melewatinya.

Bagaimana ini... Bagaimana... Arrrggghhh ... Kenapa selalu ada dia sih?! Kenapa dia bisa sampai kemari? Jarak apartemennya kan jauh? Kenapa juga dari sekian toko ritel dia memasuki yang ini?

Dan semenjak insiden itu, ia menjaga jarak dari Dito atau tepatnya kabur-kaburan. Bahkan nomor handphone pria itu ia blokir. Ia tau, Dito sering mencari dirinya dan Lina menggunakan segala macam cara untuk memberi alasan pergi meskipun masing-masing dari mereka masih bersikap profesional di tempat kerja. Beruntung ia tidak satu divisi dengan Dito jadi tidak setiap hari bertemu pria itu.

Ia tidak tau apa alasan dia kabur dari pria itu. Atau alasan Dito mencari keberadaannya di luar jam kerja. Hati dan pikirannya sedang kacau. Pria itu pernah ke tempat kos-kosannya dan Lina mematikan semua lampu serta sudah memberi aba-aba pada Ibu kos kalau ada pria yang mencarinya katakan dirinya sudah pindah. Dan itu berhasil seminggu ini.

Lina melirik Dito di etalase makanan instan dan minuman. Ia menjambak rambutnya sendiri untuk berpikir. Dito tidak boleh tau ia bekerja di sini. Meski ini bukan pekerjaan yang aneh-aneh tapi ia tidak mau memikirkan resikonya. Mencari pekerjaan paruh waktu itu susah.

Pandangan Lina terhenti pada topeng anak-anak yang di pajang di dekatnya.

"Semuanya menjadi seratus tiga puluh lima delapan ratus rupiah."

Dito membuka dompet. Ia menyerahkan dua lembar uang merah dan hampir tersentak ke belakang kaget melihat penjaga di depannya. Dengan sweater besar bergambar beruang dan topeng ultramen di wajahnya.

Ia tersadar ketika uangnya di ambil.

"Maaf, saya tidak punya uang dua ratus rupiah," ujar Lina kalem.

Dito agak menyipit menatap penjaga di depannya lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Tidak usah dikembalikan."

"Baik, ini kembalian dan struknya. Terimakasih sudah berbelanja. Semoga hari anda menyenangkan."

Dito masih sesekali melirik penjaga aneh itu saat keluar dari pintu. Ya, aneh saja dan sedikit menyeramkan. Ia berpikir negatif, bisa saja itu penjahat tapi gerak-geriknya tidak satupun mencurigakan. Akhirnya ia menggelengkan kepalanya tidak ambil pusing, ia lebih memilih menganggap orang kurang kerjaan.

Lina menghela napas lega melihat mobil Dito pergi. Ia melepas topeng itu dan mengipasi wajahnya.

Namun, ternyata itu tak menjadi mudah. Tingkahnya yang aneh itu membuat bosnya tau-tau datang dan ia langsung di sidang.

"Lina, kamu tertangkap cctv memakai topeng? Apa-apaan itu? Kamu tau kelakuan kamu bisa membuat orang takut dan berpikiran tidak-tidak."

"Maaf, Pak Didi. Tapi, aku pakai topeng hanya berlaku pada orang itu saja."

"Memangnya orang itu siapa?"

"... Teman SMAku. Aku malu jika dia tau aku hanya bekerja sebagai kasir toko sedangkan dia bekerja di kantor besar."

"Ya, terserah. Pokoknya asal jangan menimbulkan ketakutan pada pelanggan-pelangganku."

"Baik, Pak. Saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi." Lina memberi tatapan memohon berharap kesalahannya di maafkan.

Pak Didi menghela napas. Ia kasihan, Lina adalah anak pemilik perusahaan di tempat kerja ia dulu. Ia mengenali gadis kecil yang lari-larian di pabrik ternyata sudah besar. Bagaimana pun Pak Arman sangat baik padanya dulu. Apalagi mendengar kabar bosnya dulu sakit makin terenyuh. Ia mengangguk dan memaafkan Lina.

Lina sangat senang.

Pak Disi menyodorkan tangannya dan ditatap bingung Lina, "Sekarang bayar topeng itu."

"Baik, pak." Lina menyengir kecut. Ia mengeluarkan beberapa uang ke Pak Didi.

Setidaknya ia tidak dipecat.

***

Sekuat-kuatnya manusia pasti pernah di titik lemah. Dan benar, Lina tumbang. Ketika orang-orang selesai rapat, Lina mengambil catatannya dan sesekali menahan nyeri di kepalanya.

"Kenapa? Kamu dari tadi kayak kesakitan? Wajahmu juga pucat." tanya Gina yang sejak tadi penasaran. Beruntung orang-orang sudah jalan ke pintu keluar.

"Kamu kenapa sih Lin akhir-akhir ini?" todong Gina yang tidak tahan lagi.

"Aku nggak kenapa-kenapa kok," jawab Lina tenang. Masih menyempatkan menyengir.

"Tapi, kamu tuh kayak orang sakit tau!"

"Aku baik-baik aja."

"Terus kenapa sepanjang meeting tadi wajahmu meringis terus?"

"Ini bawaan bayi."

"Hah?!"

Terdengar suara batuk keras di belakang sana yang merupakan milik Dito.

Tepat sebelum Gina mengkonfrontasi Lina lebih jauh lagi. Lina jatuh pingsan dan menjadikan orang-orang yang hendak keluar dari ruang meeting menjadi heboh.

***
7424
Ayo tekan bintang dan komennya ❤
Di karyakarsa sudah tamat

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang