Lina berada di lift yang sama dengan Dito. Ia agak kaget melihat wajah Dito terdapat beberapa lebam dan luka.
Beberapa kali mulut Lina terlihat membuka. Ia ingin menanyakan kenapa wajah Dito terdapat banyak luka? Tapi, ingat kalau ia bukan siapa-siapa lagi dan mengusik hak pribadi orang jelas bukan tindakan yang pantas. Jadi, ia memilih diam. Menyimpan pertanyaannya sendiri. Namun, suara Dito memecah kesunyian.
"Bagaimana keadaan Ibumu?"
Lina mendongak dan langsung bertemu pandang Dito yang tengah menunduk. Ia segera menatap ke depan. "Keadaan ibu agak baik. Masih mau makan walau kadang menangis teringat ayah sudah tidak ada."
"Kamu?"
"Aku?"
"Iya, bagaimana keadaanmu?"
"Aku... baik-baik saja."
"Tidak sedih lagi?"
"Tentu saja sedih, tapi aku harus bersikap normal. Karena hidup terus berjalan dan keluargaku butuh makan. Lagipula, Gina masih menginap dan membantuku."
"Ibumu sendirian di kampung?"
"Tidak, ibu ikut aku ke sini. Aku yang memaksa. Jadi, tinggal berdua di kontrakan."
"Kontrakan yang itu?"
"Iya."
"Baguslah, setidaknya pemilik kos-kosannya bisa diajak kerja sama kalau ada orang gila nyasar."
Lina menutup bibirnya rapat. Ia merasa tersentil. Ia ingat, ia menipu Dito dan membongkar kebohongannya sendiri. Namun, entah kenapa orang gila nyasar itu mengingatkannya pada Arga. Apa dia sedang menyindir Arga atau dirinya sendiri?
Tangan Dito menempel pada dahinya. Lina terkejut dan sempat berjengit. Sebelum ia mengeluarkan tanya berbentuk protes. Dito lebih dulu menjawab, "Jaga-jaga kalau kamu sakit. Kamu kan sering memaksakan diri. Tapi, tidak panas. Cuma mata saja yang bengkak."
"Lalu wajahmu apa? Penuh luka dan lebam. Tambah jelek. Di cakar kucing ya?" Lina membenarkan poninya setelah tangan Dito menyingkir. Ia melirik ketika tidak ada sahutan dari candaannya. Menemukan pandangan Dito yang fokus pada dirinya.
"Tidak, aku berkelahi dengan seseorang."
"Siapa?"
"... Arga."
Lina diam. Dito seakan menunggu reaksinya. Beruntung pintu lift terbuka. Lina segera melarikan diri.
"Aku harus bekerja, permisi Pak."
***
Lina sedang makan di kantin bersama Gina. Tepat di seberang sana ada rombongan Dito.
"Aldi, coba tanya sahabatmu ini kenapa wajahnya jadi begitu? Aku paksa tadi nggak mau jawab." Suara Fiana yang menggebu-gebu dan penuh emosi.
"Lah, kamu aja nggak dijawab apalagi aku." Aldi tergelak dan segera mendapat lemparan sendok dari Fiana.
"Aku itu khawatir!" seru Fiana gemas bercampur kesal.
"Aku baik-baik aja, ini cuma luka kecil," jawab Dito pendek.
"Luka kecil? Bibirmu pecah dan pipi lebam ini luka kecil? Kamu habis berantem atau ada yang pukul kamu? Ayo bilang!"
"Aku baik-baik saja, Fiana. Ini ulah kucing."
Fiana mendengus. Tidak percaya.
"Dengar Aldi, dia bilang karena kucing? Orang-orang buta juga tau itu disebabkan pukulan!"
"Mungkin, memang nggak terlalu penting. Lagipula, Dito nggak mau kamu khawatir. Apalagi kan kamu bisa dipastikan akan curhat ke Ayahmu dan membuat Ayahmu mau tak mau ikut. Dito tidak ingin merepotkan. Dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)
Lãng mạn*Seluruh hak cipta karya ini dilindungi undang-undang Lima tahun yang lalu, Dito adalah siswa miskin di kelasnya dan Lina adalah anak berkecukupan. Masalahnya, Dito sudah memendam lama perasaannya pada Lina. Berkat suruhan Gina -temannya- dan kasiha...