28

276 40 13
                                    

Catatan : sebenarnya di bab 27 itu ada lanjutannya lagi. Tapi, karena sedikit agak gimana gitu, inginnya update malem. Tapi, aku sering lupa 🙏😅. Jadilah, ku cut aja. Bulan puasa juga kan. Daripada aku sering lupa, kita Lompat ke bab 28. Nggak akan mempengaruhi cerita karena pasti ngeh mereka ngapain. Sekian terima gaji.

***

Lina terbangun dengan kemeja Dito terpasang di tubuhnya. Tidak. Mereka tidak berlanjut ke hal itu. Yang ditakutkan Lina. Dito hanya menciumnya dan memberi tanda-tanda di lehernya. Hanya itu. Karena lebih darisana, ia ingat. Dirinya tidak setangguh dan sekuat itu. Iya, Lina menangis. Benar-benar menangis sesenggukan. Dan itu menjadi penyebab Dito yang kerasukan berhenti.

Di sampingnya sudah kosong. Wajar jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Sebentar lagi akan masuk kerja. Atau... tidak. Lina menemukan note kecil di atas bufet. Berisi tulisan tangan Dito.

Hari ini, tidak perlu bekerja. Istirahatlah. Aku akan mengatakan pada HRD bahwa kau dalam kondisi tidak sehat.

Segaris senyum mampir di bibirnya. Ia segera mandi. Memakai bajunya yang semalam. Notifikasi hp membuyarkan lamunan. Lina menatap dan seberkas rasa hangat di dada itu menghilang. Ia diingatkan kembali bahwa tindakannya hari ini tak lain hanya untuk mendapat uang dua ratus juta yang di kirim Dito melalui rekening mobile.

"Harusnya kau itu sadar. Sejak awal memang untuk ini." Lina memukul kepalanya sendiri. Ia menangis menelungkupkan diri.

Menyalahkan kebodohannya sendiri. Sekarang, penyesalan itu datang bertubi-tubi tanpa ia tau bagaimana harus memberi solusi. Selain merutuki dirinya sendiri.

Bermenit-menit ia habis meratapi nasib, lalu menarik napas panjang. Mengisi paru-parunya yang perih dengan oksigen. Sampai tubuhnya mulai tenang. Barulah ia membalas pesan Dito.

Kenapa kau mengirim uang sebanyak itu? Kita tidak melakukan 'itu'.

Aku bukan orang yang suka menyalahi janji. Aku mengirim sesuai apa yang ku katakan. Melakukan itu ataupun tidak, aku sudah melihat seluruhnya dan bibirku separuh menjelajahinya. Jadi, aku bertanggung jawab untuk memberimu uang.

Dan, maaf. Aku tak pernah berniat untuk merusakmu. Itu bukan cara yang ku inginkan. Mungkin aku sedang di rasuki setan saat itu. Tapi, apa yang ku katakan kemarin adalah benar. Meskipun kita tidak melakukan itu, kau boleh meminta uang padaku berapapun tanpa harus melakukan hal gila lainnya. Aku bersungguh-sungguh. Jadi, jika kau butuh uang cari aku.

Jangan Arga.

Lina tidak tau harus bahagia akan perhatian Dito atau justru menangis karena semakin mereka dekat dia merasa seperti sampah menjijikkan. Otaknya seolah selalu mengingatkan dirinya akan fakta-fakta yang makin membuat hatinya tadi senang jatuh menyakitkan.

Semua perlakuan Dito karena dirinya menggoda pria itu, kan?

Sementara, Fiana. Bagaimana dengan Fiana? Apakah Dito menjaga Fiana dan melindunginya dari dirinya sendiri? Seperti Dito dulu jika menyukai orang. Sedangkan Lina tak perlu di jaga lagi, karena sekarang dirinya adalah sampah.

Lina menangis keras.

Pria itu bahkan berkata dia dirasuki setan, berarti yang mendambakannya semalam adalah setan, kan?

Sialan Lina, bukankah kau ingat Fiana juga di apartemen ini waktu itu? Apakah wanita itu juga tidur satu ranjang dengan Dito?

Hatinya makin terjabik jika terus membanding-bandingkan dirinya dengan Fiana.

Sadarlah, yang disukai Dito sekarang adalah Fiana bukan kau, bodoh! Berhenti merusak hubungan orang lain!

Ia bergegas memunguti barang-barangnya yang tercecer. Tas, handphone, dan sepatu high heels. Ia keluar kamar Dito.

Tak ada waktu untuk mengagumi kamar Dito yang luas jika tidak ingin diingatkan kehadiran Fiana yang akan menyakiti hatinya dan betapa bersalah dirinya. Ia ingin cepat-cepat keluar namun langkahnya terhenti saat melewati meja makan. Aroma harum masakan membuat perutnya seketika berbunyi lapar.

Ada sepiring nasi goreng, telur mata sapi, taburan bawang goreng dan sosis, segelas susu coklat dan roti panggang selai coklat. Sementara di kursi lain, ada bekas piring kosong. Kemungkinan itu punya Dito. Dia memasak dua porsi untuk dirinya?

Lina ingin pergi dan membiarkan makanan itu tidak tersentuh agar Dito tau ia tidak ingin berhubungan lagi dengan pria itu. Tapi, perutnya berontak. Jadilah ia mengambil tempat duduk dan mulai menyuap nasi.

***

Hari itu, Lina mengambil cutinya sebanyak dua hari. Ia juga pulang ke kampung dan sudah mendapat beberapa panggilan tak terjawab dari Dito. Ia tidak mengira Dito akan menelponnya, karena ia bukan siapa-siapa dan sudah lelah berharap. Memang, ia cuti ke HRD tanpa sepengetahuan Dito setelah insiden semalam.

Mempersiapkan diri dan mempersiapkan mental untuk bertemu Dito, Fiana dan orang-orang lain ke depannya. Ia tau betapa sampah dirinya sekarang dan tidak ingin tambah menjijikkan. Sebab itu, ia butuh Ibunya. Ia butuh sosok lembut itu untuk merengkuh dirinya dan berisitirahat dari dunia keras ini.

Ia mendatangi ibu. Membicarakan untuk membawa ayahnya ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan semestinya.

"Kamu dari mana dapat uang sebanyak ini, nak?"

"Aku dari meminjam dari beberapa teman-teman kantorku, Bu. Mereka baik-baik. Ibu tenang saja. Nanti aku akan kembalikan. Mereka juga tidak menetapkan tenggak waktu jadi ibu santai saja. Aku bisa melunasinya sendirian. Ibu cukup jaga di samping ayah. Makan dan kebutuhan aku yang menanggung. Ibu jangan jualan dulu."

"Apa tidak apa? Ibu bisa buat gorengan dan kue-kue lalu di titip di kantin SD. Kebetulan Mbak Yuni menganjurkan untuk ibu berjualan di sana. Katanya, sambil ibu keliling di titip juga di tokonya. Biar tidak ada dagangan yang tidak laku."

"Ibu pasti capek. Meskipun dititip tapi untuk membuatnya pasti ibu lelah. Tengah malam berjaga untuk membuat dagangan, paginya membereskan rumah, memasak dan menjaga ayah ke rumah sakit."

"Adekkan bantu ibu. Dengan bekerja adek sudah membantu juga."

"Iya, tapi Ibu nggak perlu cari uang lagi. Biar adek aja yang cari uang. Ibu telpon adek aja kalau tabungan tinggal sedikit. Adek bakal usahakan."

"Semua pekerjaan itu, bisa ibu lakukan. Hitung-hitung meringankan beban walau sedikit. Ibu tau, adek pasti kepikiran cara membayar hutang-hutang kita. Belum hutang lama sama tetangga, hutang bank dan hutang baru ini. Biar ibu bantu adek. Ibu kuat kok. Ibu kan bisa istirahat saat jaga ayah. Nggak letih seharian." Ibunya menepuk pundak Lina lembut sesekali.

Diingatkan begitu. Air matanya tiba-tiba jatuh. Ia segera mengusapnya tapi percuma, genangan itu semakin membanjiri wajahnya. Di rasakannya lengan ibu melingkari tubuh membawanya ke pelukan ibunya. Lina sontak menangis. Menyembunyikan wajahnya ke bahu sang ibu.

Usapan lembut berirama di punggungnya, "Kuat ya, Nak." Suara ibunya sengau dan serak. Lina dapat mendengar sesekali ibunya menarik napas panjang.

Ia tau, ibunya berusaha menahan tangisan sementara dirinya meledak seperti tanggul bocor. Sungguh lemah. Tapi, ia sulit menghentikan sesenggukan ini.

Lina, kamu kuat. Kamu harus kuat. Ibumu saja kuat kenapa kau tidak? Ayo berhenti menangis. Harusnya kau yang memeluk ibumu. Bukan sebaliknya. Berhentilah. Tegar. Kalian saat ini sedang di bawah. Kau harus bangkit. Kalau bukan kau, siapa lagi? Ayo, hentikan tangismu. Apa kau ingin melihat ibumu bertambah sedih?

***
4324
Ayo tekan bintang dan komennya ❤
Cerita ini sudah tamat dan bisa baca di karyakarsa :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang