19.b

227 38 9
                                    

Tak mungkin masuk ke klinik karena di sana masih ada Dito yang menemani Fiana. Lina berinisiatif meminta pertolongan pada temannya. Gina. Yang syukurnya tidak lagi sibuk.

"Astaga! Kenapa nggak ngomong kalau kamu terluka?! Lukanya besar begini! Bagaimana kamu menahannya? Astaga, Linaaa!" Suara Gina meninggi tak habis pikir. Ia memijat pelipisnya, pusing dengan tingkah temannya yang kelewatan memendam segalanya sendiri. "Apa karena mereka nggak peduli? Baik, aku akan mencerca mereka semua! Bodo amat sama senioritas! Terluka begini kok bisa-bisanya di biarin!"

Lina menarik tangan Gina yang berapi-api mau melabrak. "Aduh, tenang. Tenang, Gin. Ini... bukan salah mereka. Ini salahku. Aku yang bilang kalau aku baik-baik saja."

"Apa?" Gina memastikan sekali lagi.

"Iya, aku. Aku menyembunyikan lukaku dan bilang bahwa aku nggak terluka."

Gina meraup wajahnya sambil menarik napas dan menghembuskannya. Berusaha menahan amarahnya. "Ya ampun, kamu tau nggak perbuatanmu ini bisa menyengsarakan dirimu sendiri?! Tanganmu bisa infeksi. Kamu mau tanganmu patah?!" sindirnya.

Lina menyengir dengan tatapan bersalah. "Makanya tolong ambilin obat di klinik. Kumohon."

"Ya ampun, ya ampun, bisa-bisanya ya lukanya pagi dan di obati baru menjelang sore begini. Pokoknya aku belum selesai marahnya, Lin. Aku cari obat dan mengobati lukamu. Habis itu kamu harus mendengar nasihatku!" Perintah Gina sambil bergegas beranjak berdiri.

"Iya, iya, tolong cepat ya. Sampai besok juga nggak apa-apa. Telingaku bekerja nonstop."

Seraya menunggu Gina mengambil obat. Lina mengamati pemandangan di sekitar sini yang belum sempat ia nikmati sejak datang. Area puncak memang memiliki keindahan tersendiri. Lembayung senja yang menggantung di langit. Hamparan pepohonan hijau. Dan udara sejuk yang berhembus. Kanvas biru yang tumpah di langit diselingi kapas-kapas putih awan yang bergerak perlahan membuat panorama ini sungguh indah. Jarang-jarang ia bisa liburan dan bisa menenangkan diri disaat pikirannya sibuk karena tumpukan masalah di sekelilingnya.

Karena memejamkan mata, tak terasa bahwa Gina sudah kembali dan mengambil duduk di sisinya.

"Hei, Gina lihat deh. Mataharinya bakal terbenam sebentar---" ucapannya terputus saat ia menoleh dan menemukan sosok lain di sana. Bukan Gina.

Melainkan wajah gelap Dito yang tersiram cahaya jingga matahari dan kotak obat di pangkuannya.

"Aku tidak tau, Lina. Apakah berbohong sudah menjadi hobimu sejak dulu?"

Lina membeku bahkan saat Dito mengambil tempat di sampingnya duduk. Di mana lutut mereka bersentuhan. Mata mereka yang saling bertatapan. Dadanya berdesir ringan. Ini adalah jarak terdekat tubuh mereka setelah bertemu kembali.

Bahkan angin enggan berlalu di sekitar mereka yang terpaku.

Dito dulu tidak akan seberani ini. Dito dulu bahkan tidak berani menyentuh dirinya meskipun itu kulit tangan. Dito dulu tidak pernah meninggikan suaranya. Dito dulu tidak pernah memasang wajah dingin. Dito dulu tidak pernah marah. Dito dulu tidak memiliki tatapan tajam. Dito dulu selalu memaafkannya. Dito dulu tidak pernah meninggalkannya...

Karena sekarang Dito punya Fiana.

***
8324
Ayo tekan bintang dan komennya :)
Di karyakarsa sudah upload bab 37  dan 38 :)

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang