5.c

241 33 1
                                    

"Oh, jadi kalian teman sekelas. Wah, bagus dong. Gimana Lina di sekolah pasti dia sering tidur saat pelajaran, suka nyontek, bodoh dalam matematika, apa dia pernah bolos?"

"Ayah! Apaan, sih," rengek Lina mengembungkan pipi.

"Itu bukannya ayah dulu!" balas Lina sengit. Pak Arman justru tertawa.

Sementara Dito tersenyum. "Lina baik, Pak. Orangnya juga rajin. Jarang telat."

"Seandainya kamu tau, tiap pagi buta Bapak selalu dengar teriakan ibunya membangunkannya. Lalu suara ribut-ribut, 'Ibu! Mana kaus kakiku! Ibu  buku Matematika kuhilang! Ibu aku bangun kesiangan! Ibu sarapannya belum! Ayah cepetan nanti aku terlambat!' Sampai pusing kepala, Bapak. Kalau anak orang, sudah kuungsikan ke kebun sebelah."

"Emangnya aku hewan! Ayah nyebelin."

Ditanggapi Pak Arman dengan tawa. Sedangkan Dito ikut tertawa kecil merasakan kehangatan keluarga itu.

"Tapi, kamu hebat. Sekolah sambil kerja apalagi sampai dua pekerjaan. Menurut Bapak itu sangat hebat."

"Makasih, Pak." Tidak ada kata selain mengucapkan terimakasih. Ini pertama kalinya ia di puji.

"Orang tua kamu pasti bangga. Ayah kamu kerja apa?"

"Ayah sudah meninggal, Pak." Ia merasakan tatapan Lina terhenti padanya. Saat ia akan menatap balik, Lina menundukkan wajah. Dito mengulum bibirnya.

"Maaf, sudah menanyakan. Bapak turut berduka." Wajah Pak Arman berganti sedih.

Dito mengangguk.

"Berarti sekarang tinggal dengan ibu ya? Ada adik?"

"Iya, Pak. Kembar perempuan."

"Wah, pasti lucu. Lina dari dulu pengen punya adik kembar. Tapi, jangankan kembar, punya adik saja tidak. Belum rezekinya. Jadi, ia sering menculik anak Bibinya untuk di bawanya ke mana-mana." Pak Arman terkekeh di ujung kata. Dito ikut tersenyum memandangi Lina.

"Bongkar saja terus. Bongkar," celetuk Lina pura-pura sebal seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Siapa namanya? Sudah sekolah belum?" tanya Pak Arman tanpa memperdulikan cebikan Lina.

"Nasya dan Tasya, Pak. Saat ini kelas dua SMP."

"Sudah diminum belum tehnya?" tanya Ibu Riri yang baru datang membawa sehelai baju dan celana kulot.

"Sudah, Bu. Terimakasih minumannya."

"Dihabiskan, dong. Nah ini pakaian sepupunya Lina. Coba kamu ganti di kamar mandi. Semoga muat."

Dito tergagap. "I--ibu tidak perlu. Disuruh masuk dan minum teh hangat saja sudah cukup."

"Baju kamu itu basah. Nanti masuk angin. Jangan jadi orang nggak enakan. Ini ambil. Santai saja. Nggak usah dikembalikan. Namanya sesama manusia wajib saling tolong menolong apalagi kamu temannya Lina, itu malah harus. Ayo pakai, " desak Ibu Riri menyerahkan pakaian tadi ke pangkuan Dito.

Tak enak menolak kebaikan hati Bu Riri, Dito menerima dengan perasaan haru. "I-iya Bu. Terima kasih."

"Lina, tunjukkan Dito kamar mandi di dapur," perintah Bu Riri yang diangguki Lina.

"Iya, Bu."

Lina bangkit diiringi Dito. Berjalan dengan Dito di belakangnya. Sampai di kamar mandi.

"Ini kamar mandinya." Lina membuka pintu kamar mandi di dekat dapur. Dito mengangguk.

Saat akan berbalik. Suara Dito menahannya.

"Terima kasih."

"Hm." Lina menggumam dengan gerakan kepala turun naik. Ia hendak pergi, tetapi urung. Ia kembali menatap Dito, lalu menghela napas, "aku bukannya tidak mau jujur. Kedua orang tuaku belum tau aku pacaran. Aku takut mereka kaget," jelas Lina mengutarakan kenapa ia tidak menyebut Dito adalah pacaranya di depan orang tuanya.

"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja," sahut Dito mengerti.

Lina lalu berjalan.

"Lina," panggil Dito.

"Ya?" Lina menoleh, menunggu ucapan Dito.

Dito membuka mulutnya, tetapi ia menutupnya kembali dan menggantinya dengan gelengan disertai senyuman, "Tidak ada."

"Ok." Lina benar-benar melangkah pergi. Tetapi, ia penasaran. Kenapa Dito memanggilnya tadi? Seperti ada yang ingin dikatakan, tetapi tidak jadi.

***

20124

Ayo tekan bintang dan komennya (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang