7.c

202 23 3
                                    

"... hadiahnya?"

"Lina," panggil Dito mendayu untuk membuat Lina sadar dari lamunannya.

Merasakan sentuhan di dahinya yang disentil lembut. Lina refleks mengangkat wajah. Melihat Dito terkekeh.

"Kamu bayangin apa?" bibirnya terselip tawa. Matanya melengkung hangat.

"Nggak bayangin apa-apa, kok." Lina melarikan pandangannya, segera bertanya hal lain, "kamu tadi ngomong apa?"

Dito mengambil tempat di sisi Lina. Kursi yang di duduki Lina adalah kursi panjang kayu seperti tempat kursi warteg. Jemari tangan mereka saling bersisian. Dito terasa gatal ingin menyentuh jemari mungil kemerahan yang bisa ia bayangkan kelembutannya. Tapi, tidak boleh. Mereka masih SMA. Kau harus memiliki pengendalian Dito.

"Kamu sudah menerima hadiah?"

"Hadiah apa?"

"Waktu di mall ketika aku menyuruhmu menunggu, aku membeli hadiah untukmu."

"Oh," Lina mengerjab. Kepalanya berproses cepat, yang tadinya memikirkan hal kotor kembali ke waktu kemarin. Alasan ia ngambek beberapa waktu ini dan berbicara kembali seperti biasa hanya karena Dito mengaitkan tali sepatunya.

Dito berbicara lagi, "Aku menitipkannya pada Gina. Soalnya dia melihatku agak kesulitan membawanya."

"Nanti aku tanya pada Gina, mungkin dia lupa memberitahuku."

Hadiah apa? Tapi, Lina merasa ... takut menyakiti hati Dito jika menanyakan apa itu? Atau sebenarnya ia takut berekspektasi terlalu tinggi?

Dia tau, saat berpacaran dengan Dito berarti jangan berkeinginan tinggi. Dia diajarkan untuk memahami penderitaan anak-anak lain oleh ibunya, kadang-kadang sewaktu kecil saat dia mogok makan.

"Aku harap kamu suka."

"Iya, aku akan menjaganya." Dia tidak tau, tapi kalimat ini paling aman.

"Ayo," Dito bangkit berdiri dan menawarkan tangannya.

Lina menatap tangan Dito lalu ke wajahnya. Ia meletakkan tangannya ke atas tangan laki-laki itu. Mempercayakan keselamatan pada laki-laki di sampingnya ikut berdiri dan bertanya, "Pulang?"

"Hm... " Dito menghentikan langkahnya. Ia menghadap Lina. Dalam jarak sedekat ini, aroma tubuh dan panas yang tiba-tiba menyergap pipinya membuat Dito meneguk ludah. "Kalau jalan-jalan sebentar... nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa," Lina langsung menjawab cepat dan mengangguk. Ia terlihat antusias. Oleh karena itu Dito terkekeh dan menatao gemas.

"Sudah hubungi orang tuamu?"

"Harus ya?"

"Iya, nanti mereka khawatir."

"Baiklah." Lina membuka ponselnya pasrah. Ia mengetik secepat kilat dan menutupnya kembali, "sudah. Orang tuaku tidak akan khawatir."

"Hanya dua jam, setelah itu kita pulang."

"Cuma dua jam?"

"Tentu, soalnya aku pinjam motor Farhan selama dua jam. Lalu memulangkan kamu dengan motor juga."

"Emang nggak apa-apa... pinjam motor?"

"Kubayar dengan bensin seliter," jawab Dito tertawa.

"Kerjaan kamu ... gimana?"

"Nggak apa-apa."

"... Ok."

Dito menurunkan pijakan kaki terlebih dahulu baru naik ke motor. Ia menuntun tangan Lina memegang bahunya untuk naik ke jok belakang. Lina memegang ujung seragam Dito di kanan dan kirinya.

"Sudah?"

"Iya."

Motor melaju. Mereka mengitari danau kecil yang berjarak satu kilometer dari sekolah. Bercakap-cakap di atas motor melawan suara bising mesin. Membeli es kelapa yang dijajakan di sana. Lalu naik lagi ke motor, melaju mengitari tempat-tempat yang biasa mereka lalui sepulang sekolah.

Sampailah Dito menghentikan mesin motor di sebuah taman pinggiran kota. Di sana masih sepi karena ini hari biasa bukan seperti hari minggu yang akan ramai. Namun, masih ada penjaja kaki lima yang jualan dengan motor atau sepeda seperti siomay, batagor, cilok, dan es sachet.

Lina mengambil tempat duduk di belakang pohon, dengan beberapa jarak di depannya ada rimbunan bunga mawar batik dan kembang sepatu yang menjadi pemandangan indah. Dito menyusul setelah membeli batagor untuk mereka berdua.

"Haus?" tawar Dito menyodorkan air mineral kemasan.

Lina mengangguk dan segera meneguk minuman karena kepedasan.

Selepas makanan habis, mereka pun diam. Lina mengamati kelopak bunga yang bergoyang tertiup angin, sementara Dito berusaha mencari pembahasan dalam otaknya untuk mencairkan suasana. Lalu matanya tak sengaja melirik ke pasangan lainnya yang jauh dari mereka sedang berfoto berdua di hadapan bunga-bunga.

"Lina," panggil Dito yang membuat Lina menoleh.

"Mau foto?" tanya Dito.

Dito memperhatikan bagaimana kelopak mata Lina mengerjab, bulu matanya yang lentik turun, dan iris matanya membesar setelah memahami perkataannya.

"Oh," Lina mengeluarkan handphonenya. Telepon lipat yang memang ada kameranya. Lalu menyerahkan ke tangan Dito. "Kamu yang foto." Kepalanya menatap tangan Dito dengan rona panas merayap di pipinya.

Dito menyanggupi. Ia mungkin memang tidak punya handphone, tapi ia sering di mintai tolong untuk memfoto teman-teman sekelasnya. Baik itu Farhan, cewek-cewek di kelas, atau guru. Jadi, Dito berdiri diikuti Lina.

"Di depan bunga-bunga ini kayaknya bagus."

"Oke." Suara Lina mengalun pelan. Masih canggung dan kaku. Ia mengikuti saja intruksi Dito yang menyuruhnya berdiri di belakang rumpun bunga-bunga.

Ketika melihat Dito di hadapannya yang sedang memfoto. Mau tak mau alis Lina naik. "Hanya aku?"

Dito menurunkan kamera, menatap Lina. Berpikir. Ia lalu menggaruk tengkuknya dan kemudian menyengir. Melangkah pelan hingga berdiri bersebelahan dengan Lina.

Mereka berselfie berdua dengan mimik yang gugup.

***
26124
Ayo tekan bintang dan komennya (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang