"Hai, Rina." Dia menghubungi kontak handphone yang lain.
"Siapa?"
"Ya, ini aku. Lina." Lina berusaha ceria.
"Oh Lina jurusan ekonomi itu ya?"
"Iya, kita kan selalu duduk bersebelahan," jawab Lina mengingatkan.
Lalu suara Rina menjadi hangat dan heboh, "Apa kabar? Aku suka lupa akhir-akhir ini. Kerjaan sungguh banyak dan pindah tugas kesana-kemari jadi lupa kota sendiri."
"Aku baik. Bagaimana kabarmu?" Lina mengukir senyum meski Rina tidak melihatnya. Ia merasa diterima. Rina masih sebaik dulu.
"Baik juga. Ada apa menelpon?"
Lina menggunam dan mengusap tengkuknya, "Apa kau punya waktu minggu ini?"
"Aku sedang bertugas di Aussie. Belum tau kapan akan pindah lagi ke Indonesia."
Lina seketika diam. Matanya turun memandangi sepatunya. Sekalinya bertemu yang baik, malah sangat jauh. Lalu ia menggelengkan kepala sambil tersenyum sedih, "Oh kau sedang di luar negeri ya. Maaf, aku tidak tau."
"Tidak apa-apa. Justru aku yang merasa tidak enak. Kita sudah lama tidak kumpul bareng-bareng. Jadi budak kapitalis ini membuatku hampir lupa jadi manusia hahaha... Nanti ku kabari kalau aku di Indonesia."
"Hahaha iya, jaga kesehatan."
"Kau juga."
Klik. Lina menarik napas dan menghembuskannya. Baik, satu lagi.
"Hai, Viona. Ini aku Lina teman SMAmu."
"Oh Lina! Astaga sudah lama tidak bertemu! Apa kabar~"
Dia masih seheboh dan sepolos dulu ya.
"Baik. Bagaimana kabarmu?"
"Tidak begitu baik. Karla sedang demam. Aku juga tengah mengandung enam bulan. Jadi, kepalaku rasanya ingin pecah. Ternyata begini menikah di usia muda. Oh, kau mau bertanya apa?"
Lina teringat, Viona sudah menikah. Bahkan waktu Viona mengundang, ia tidak datang karena malu akan keadaannya. Jadi, ia hanya mengirim hadiah sederhana saja.
Walau begitu, Viona tetap membalasnya dengan ucapan terimakasih yang hangat. Dia menikah karena perjodohan. Sama-sama kaya. Dan kau, Lina, berpikir dengan piciknya mau pinjam uang setelah lama menghilang...
Lina tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "... Tidak ada. Cuman menanyakan kabar. Semoga sehat sampai lahiran."
"Aamiin. Terimakasih ya. Kalau aku syukuran nanti ku undang. Jangan lupa datang ya. Ajak pasanganmu juga nggak apa-apa."
"Ah iya."
Klik. Lina menghela napas. Ia menatap satu nama kontak. Baik, ini terakhir.
"Hai, Putri. Ini Lina. Ingat nggak? Sahabatmu berempat. Gina, Viona, aku dan kau. Kau apa kabar?"
"Oh, Lina. Aku baik. Ada apa?"
Nadanya datar dan terkesan terganggu, apa karena ia telepon? Atau dirinya terlalu peka?
Sebenernya Lina agak ragu menghubungi Putri. Tapi, karena tidak punya pilihan ia mencoba.
"Apa kau sibuk waktu minggu ini?"
Tut. Lina menatap layarnya yang padam.
Maaf, Lina. Jaringannya buruk. Aku juga tengah sibuk. Nanti ku kabari kapan-kapan.
Begitu pesan yang Lina terima kemudian. Ia menghela napas. Menaruh handphonenya di sisinya. Menggigit bibir ketika merasakan rasa panas di kedua matanya.
Jangan menangis. Jangan menangis. Jangan menangis. Pasti ada jalan. Pasti ada jalan. Pasti ada jalan.
Dan telinga Lina mendengar pintu terbuka. Suaranya dari arah bawah. Muncul sosok Dito. Kemeja putih yang sudah tidak serapih pagi tadi. Dasi yang longgar. Jas tersampir di bahu. Kepulan asap di sekitar mulutnya dan kedua jari menjepit sebatang rokok menyala.
Pria itu belum menyadari Lina yang duduk di puncak tangga. Berdiri menghadap kaca yang menampilkan kondisi lalu lintas kota yang sibuk sambil terus menghisap rokoknya.
Dia merokok.
Baiklah, itu bukan hal aneh Lina. Hampir seluruh mahluk bernama pria merokok. Yang harus kau lakukan sekarang pergi darisini sebelum dia sadar. Jadilah Lina berdiri dengan meminimalisir suara-suara dari gerakannya. Mengambil handphone pelan-pelan, dan mengenakan sepatunya lagi yang sempat ia lepas karena frustasi. Namun na'as ketika mengenakan sebelah sepatu yang lain malah justru jatuh dan berguling ke bawah hingga berhenti di dekat sepatu mengkilat Dito.
Crap!
***
18324
Ayo tekan bintang dan komennya (。•̀ᴗ-)✧
Di karyakarsa sudah tamat ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)
Romance*Seluruh hak cipta karya ini dilindungi undang-undang Lima tahun yang lalu, Dito adalah siswa miskin di kelasnya dan Lina adalah anak berkecukupan. Masalahnya, Dito sudah memendam lama perasaannya pada Lina. Berkat suruhan Gina -temannya- dan kasiha...