8.c

218 25 0
                                    

Dito mengangguk kalem. "Apa ada pesanan lainnya?" Matanya otomatis menemukan mata Lina yang terkejut di tempatnya duduk lalu bergulir ke samping kursi Lina. Seorang laki-laki dengan sebelah tangan melingkar di atas punggung kursi Lina.

"Nggak ada sih," nadanya mengalun tenang. Dagunya berpangku dengan sebelah tangan sambil meneliti penampilan Dito dari atas ke bawah lalu ke sekitar.

"Kau jadi waiters di sini?"

"Tidak, aku mencuci piring. Ini hanya membantu temanku soalnya lagi banyak pesanan dan waiters lainnya sedang ngambil cuti." Dito memasukkan kembali notes tadi ke saku, "Jika tidak ada lagi, saya permisi ke belakang."

"Silahkan, semangat ya cari uangnya."

Dito mengukir senyum tipis lalu berbalik.

"Putri, berhenti mengejek orang. Gini-gini juga rasanya nggak baik tau. Dito kan nggak pernah jahat ke kita." Viona mencoba memperingatkan Putri, yang menurutnya tingkah barusan agak tidak sopan.

"Aku nggak ngejek kok, cuma kasih semangat. Di mana salahnya? Kalian terlalu sensitif. Dito aja nggak apa-apa tuh."

"Lina, kau pulangnya bareng Arga ya?" Putri mengalihkan pembicaraan.

Dito yang masih berjarak beberapa langkah ikut menoleh. Mata mereka bertatapan. Lina disergap gugup, seolah telah melakukan kesalahan.

"Nggak mungkin sama Gina, Rama bawa motor. Kalau Viona dan aku masing-masing naik mobil, tapi nggak tau apa dibolehkan sama pacar kami."

Meski kedua pacar mereka kompak tidak merasa keberatan, tapi Lina yakin seratus persen Viona dan Putri sangat keberatan jika dia ikut nebeng pulang. Bakal canggung dan mengganggu. Lagipula, ia juga tidak mau berada di tengah-tengah mereka.

"Pulangnya bareng aku aja. Sampai selamat di depan rumah," ujar Arga sekali lagi, "Lina nggak mungkin mau jadi nyamuk, kan?" Arga tersenyum menatap Lina.

Lina menunduk, memperhatikan jemarinya.

"Ok, selesai ya. Nanti Lina pulangnya bareng Arga." Itu Putri yang memutuskan sepihak sebelum Lina mengangkat suara.

Lina diam. Ia melirik dari ujung matanya Dito menjauh.

Saat di parkiran, Lina ragu mengambil helm Arga.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?"

"A-ayah aku jemput."

Arga menaikkan satu alisnya. Ia turun dari motor dan mendekatkan tubuhnya ke samping Lina sehingga bahu mereka bersentuhan. Untuk menunduk ke arah ponsel Lina.

"Handphone kamu aja mati." Arga mendongakkan kepala. "Kamu bohong." Senyumnya bermain di ujung bibir. Ia dengan cekatan memasang helm ke kepala Lina saat Lina ingin mencari pembelaan.

"Ayo naik." Tangannya menarik Lina ke arah motornya. "Kamu kesusahan naik atau mau kubantu naik juga?"

Cepat-cepat Lina menggeleng dan naik ke belakang jok.

"Mana tanganmu?"

"Buat apa?"

"Pegangan, kamu mau jatuh?"

"Aku sudah pegangan ke baju kamu."

Arga menghela napas dengan santainya ia menarik kedua tangan Lina untuk melingkari pinggangnya. Lina sempat menolak. Namun, urung karena Arga mengancam akan mengebut di jalan.

Tepat keluar gerbang parkiran, Lina berpapasan dengan Dito yang habis membuang sampah. Cowok itu sempat menghentikan langkahnya. Dan Lina sangat yakin, Dito tidak menghakiminya dengan tatapan marah tapi justru matanya berhenti lama pada pinggang Arga. Tepat di mana tangan Lina melingkar.

Lina menarik tangannya namun secepat itu pula di tahan Arga.

"Jangan lepas, nanti kita jatuh."

***

"Kamu udah sampai?"

Lina terhenyak. Ia memeriksa ponselnya lagi. Itu suara Dito. Ia memastikan melirik jam lalu jendela. Masih petang. Ya, itu Dito yang sedang menelponnya di jam petang hari. Yang biasanya tengah malam.

"Iya," jawab Lina nyaris seperti bisikan. "Aku sudaj sampai rumah."

"Lagi apa?"

"Aku habis mandi, ini lagi sisiran."

Terdengar gumaman. Lalu hening.

"Ini... nomor kamu?"

"Bukan, aku pinjam ponsel ke temanku. Ingin tau kalau pacarku sudah sampai rumah atau belum."

Jantung Lina berdetak mendengar nada kepemilikan itu. Dito tidak pernah seperti ini. Dia jarang marah. Tapi, nggak tau kalau sekarang. Lina tau ia suka kelewatan dan sabar Dito sangat panjang.

"Kamu... marah?"

"Marah untuk apa?"

"Karena aku... pulang bareng Arga."

"Oh, nama laki-laki itu Arga."

"Kamu marah?"

Kali ini jedanya lebih lama.

"Dia yang narik tangan aku. Sebenarnya aku memegang bajunya. Pas mau kulepas, dia ngebut."

"Oh."

Fiks, marah kayaknya.

"Dia teman kalian?"

"Dia teman Putri. Putri ajak Arga ke ulang tahunnya."

"Yang lainnya bawa pasangan?"

"Iya."

"Tapi, aku nggak tau kalau disuruh bawa pasangan. Mereka nggak cerita apa-apa. Putri juga baru cerita kalau makannya di restoran Maringgi."

"Iya, aku percaya. Sekarang sudah sisirannya?"

"Eh, bentar, aku selesaikan dulu." Lina bergegas menyisir kilat rambutnya.

"Kamu udah makan siang?"

"Sudah."

Dan obrolan itu berlangsung panjang, Dito tampak seperti dirinya yang biasa. Kalem dan santai.

***
31124
Ayo tekan bintang dan komennya (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Bab 11, 12, 13, 14 sudah ada di karyakarsa (。•̀ᴗ-)✧

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang