31

265 36 8
                                    

Tidak ada yang menolak para pelayat yang datang. Termasuk Lina. Dia membiarkan Dito, Fiana, dan beberapa orang kantor datang ke rumahnya. Ibunya tampak tegar menyambut mereka sebagai teman anaknya. Mempersilahkan tamu dan menyiapkan perbekalan. Dito bahkan membantu pengurusan jenazah Pak Arman. Menyiapkan papan, dan nisan.

Lalu Gina dengan rekan kantor lain ke rumah RT untuk mengurus berkas yang diperlukan.

Lina dalam balutan pakaian serba hitam, mata sembab, dan pucat. Melihat para lelaki mulai mengangkat keranda yang berisi ayahnya. Ibunya setia memeluk tubuhnya. Jika tidak ada ibunya, mungkin ia sudah menangis dengan raungan yang keras. Ia memeluk erat bingkai foto Ayahnya dalam dadanya.

Dan hari itu itu juga, ada yang tidak bisa ia hindari. Kedatangan Arga. Ia tidak menyangka Arga akan datang dan darimana dia tau informasi ayahnya meninggal ataupun rumah di kampung ini.

Ia begitu was-was menatap Arga yang masuk dari pintu. Dengan senyum sedikit diujung bibirnya ia menyalimi beberapa tamu di dekatnya. Lina sangat bersyukur ibunya sedang keluar membeli sesuatu di pasar.

"Kamu tidak diterima di sini," ucap Gina saat Arga menghampiri Lina.

Gina menatap dengan benci. Sebagai sahabat yang hampir mengetahui kehidupan Lina dan dirahasiakannya dari orang lain, Gina tau bagaimana brengseknya laki-laki ini.

Arga lantas tertawa kecil. "Santai saja, aku tidak akan lama di sini. Tempat ini terlalu kecil dan sesak."

"Aku hanya ingin melayat dan berbelasungkawa." Arga mengeluarkan dompetnya. Dikeluarkannya segepok uang dan di arahkan ke Lina yang sejak tadi menatap hampa. "Maaf aku lupa membeli amplop."

"Simpan uangmu kembali. Kumohon pergi dari sini, Arga. Setidaknya jika kau tidak jadi laki-laki, maka jadilah manusia dan menghormati kesedihan orang lain!"

Arga berdecak menatap Gina kesal. "Aku ingin bicara dengan Lina bukan denganmu! Menyingirlah." Arga mendorong bahu Gina dan kini berhadapan dengan Lina.

Di seberang lain, Dito yang tadi mengamati dalam posisi duduk. Kini mulai menghampiri. Ia mencium akan ada keributan dan tidak ingin orang-orang yang sedang khuyuk membaca yasin terganggu karena kehadiran pengganggu ini.

Arga meletakkan uang itu ke tangan Lina. "Aku turut bersedih atas meninggalnya ayahmu Lina. Seandainya kau tidak lari dari perjanjian kita, ayahmu pasti masih hidup. Tapi, kau lebih mementingkan egomu. Sayang sekali."

Lina memandang mata Arga dengan lemah. Haruskah orang-orang menambah garam di lukanya?

"Apa maksudmu? Janji apa?"

Dito menengok ke belakang. Fiana yang bertanya yang ternyata mengirinya dari belakang.

"Arga, sebaiknya kita bicarakan di luar. Hormati tamu-tamu yang datang." Dito menatap tajam. Ia mengambil lagi uang di tangan Lina dan memasukkannya saku baju Arga.

Arga tersenyum culas melihat kehadiran Dito. Ia tertawa geli lalu melirik Lina yang diam kemudian ke Dito yang berpandangan keras.

Arga melipat kedua tangannya di depan dada. Memandang angkuh dengan dagu yang terdongak tinggi. "Mantanmu menawarkan seratus juta untuk tubuhnya padaku."

Dito menutup bibirnya. Ia tau.

Gina memeluk lengan Lina.

Fiana berujar lebih dulu dan menatap tidak suka pada ucapan Arga, "Anda tidak boleh berkata begitu. Itu sangat kasar. Walaupun anda sudah menjadi mantannya harusnya anda menghargai dirinya. Anda harus ingat, dulu anda mencintainya. Dan menjaga privasi kalian. Yang anda lakukan pada Lina itu jahat. Bagaimana seorang laki-laki hanya mengambil yang manisnya saja dan membuang ketika sudah tidak dibutuhkan lagi? Anda itu manusia. Ibu anda wanita. Meskipun anda dan Lina pernah melakukannya saat dulu, tapi menghina wanita dengan mengumbar itu didepan umum adalah tindakan pengecut."

Arga mengerutkan dahi. Alisnya bertaut bingung. "Apa yang kau katakan? Kami tidak pernah melakukannya. Baik dulu maupun sekarang. Meski yang terakhir kali hampir. Aku hanya mengatakan hal fakta. Ia datang padaku untuk meminta uang pengobatan ayahnya dengan jaminan tubuhnya. Justru aku yang merasa dibohongi, aku yang setuju untuk membantunya malah dia yang pergi. Untung aku tidak memberi uang dimuka lebih dulu."

Fiana menatap berapi-api, "Jangan memutar fakta. Karena terdesak, kau ingin memfitnah Lina!"

"Tanya saja pada orangnya."

Fiana mengerjakan mata melihat reaksi Arga yang tenang. Ia berbalik ke Lina. "Apakah itu benar?"

Lina membeku di tempatnya. Mulutnya kaku. Pandangan mata yang tertuju padanya terasa menghakimi atau hanya ketakutannya sendiri? Ayahnya baru saja di kebumikan. Air mata belum kering dari wajahnya namun masalah seakan tak mengenal jeda. Ia terpaku tak mampu menjawab. Mengatupkan bibir dengan pandangan ke arah lantai.

Terdengar helaan napas keras Dito. Ia menarik pergelangan tangan Fiana agar mundur ke belakang. "Hentikan. Apa itu pantas untuk dibahas sekarang? Keluarga sedang berkabung jadi hormatilah." Suara Dito menajam dan tatapan memperingati yang ja tujukan untuk Arga. Tubuh besarnya seakan menjadi benteng supaya Arga mundur dan laki-laki itu tanpa sadar sudah di dekat pintu.

Gina memeluk lengan Lina menuntunnya untuk masuk ke dalam kamar.

Fiana menatap wajah Dito lalu berganti pada raut sinis Arga.

Pria itu berlalu pergi melewati mereka. Meninggalkan kekacauan yang ditinggalkannya.

"Fiana, ayo." Ajak Dito pada Fiana yang masih memandangi ke luar pintu tempat Arga berlalu.

"Iya, aku hanya tidak menyangka sikapnya begitu... " Gumamnya mengalun dengan tatapan masih melamun.

"Abaikan saja dia."

"Tapi, Lina pasti sakit hati di ingatkan dengan cara seperti itu. Aku masih tak habis pikir dengan Arga. Kenapa dia---" Fiana menghentikan ucapannya karena mendengar suara keras dan tidak senang Dito yang baru pertama kali di dengarnya.

"Sudahlah, Fiana. Jangan mengatakannya lagi. Kita cukup membantu Keluarga Lina."

***

"Kenapa Arga bisa-bisanya berkata seperti itu dua hari yang lalu? Itu hal pribadi dalam hubungan. Kenapa dia mengumbarnya begitu? Bikin kesal saja. Dasar laki-laki brengsek! Mau enaknya saja," Fiana menghempaskan map yang ia bawa ke meja. Terbawa emosi. Lalu ia menatap Lina hati-hati.

Tidak ada suara yang menyahutinya. Kedua sosok di belakangnya kompak diam. Dito fokus pada handphone dan Lina mengamati sepatunya.

Lagi-lagi Pak Adam meninggalkannya dengan dua orang ini.

"Memangnya itu benar, Lina?" Sepertinya ia masih penasaran, "aku tidak bermaksud untuk mengungkit kejadian kemarin dan membuka lukamu. Tapi, kau tau, aku terus berpikir dan menemukan kebuntuan karena hanya tau dari satu pihak. Aku tidak mau berpikir buruk tentangmu namun ucapan Arga mengusikku. Kalau aku berpikir begini pasti orang lain yang di sana ikut berpikir demikian. Apa kau tidak mau mengonfirmasikannya pada yang lain agar orang-orang tak salah paham?"

"Itu benar. Dan ... " Genggaman Lina mengerat pada dokumen yang di pegangnya, "tidak perlu di konfirmasi. Nantinya juga akan berlalu."

Fiana langsung memegang lengan Lina. Memberikan rasa simpati dan keprihatinan. "Kau tau, kita teman. Teman Dito adalah temanku juga. Kalau ada apa-apa, aku akan membantumu. Jangan berpikir sendirian."

"Terimakasih."

"Dito, kamu juga, kan?"

Tatapan Lina membeku. Terdengar hening agak lama. Lalu disusul jawaban pelan Dito.

"... Ya."

Rembulan Yang Tertinggal Di Wajahmu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang